JAKARTA- Gerakan buruh menantang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa Ketua Komite Pengawas (Oversight Committee) Pelindo II, Erry Riyana Hardjapamekas. PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan juga diminta untuk memeriksa mantan Ketua KPK ini karena telah menerima sejumlah dana dari Pelindo II.
“Menerima dana dari Pelindo II dapat dikatagorikan gratifikasi. Kalau KPK konsisten, tangkap dan periksa Erry Riyana Hardjapamekas,” demikian Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN (FSP-BUMN) Bersatu, Arief Poyuono kepada Bergelora.com, Senin (7/12).
Menurut Arief Poyuono, sebagai mantan Ketua KPK tidak mungkin Erry Riyana tidak mengetahui bahwa menerima dana dari BUMN adalah gratifikasi.
“PPATK juga harus telusuri semua rekening anggota Oversight Committee karena diduga ada fee yang besar mengalir dari proses privatisasi JICT (Jakarta International Container Terminal),” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa, jabatan Erry Riyana sebagai anggota Oversight Committee yang tugasnya menilai proses Privatisasi Pengoperasian JICT selama 20 tahun kedepan kepada Pihak Huthchinson Port Holding merupakan jabatan yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai pemegang saham 100 persen PT Pelindo II dan pemilik 100 persen Saham JICT.
“Karenanya kerja Oversight Committee haruslah independen dalam menilai dan mengawasi jalannya privatisasi JICT kepada Hutchinson Port Holding,” ujarnya.
Menurutnya, dengan pernilaian terhadap Price Book Value ( PBV ) terhadap JICT oleh Bahana Securitas, FRI dan Deutch Bank telah diduga terjadi penggelapan saham oleh Pelindo II yaitu sebesar +/- 23 Saham. sehingga yang seharusnya dengan PBV JICT sebesar 784 US dollar dan dana yang disetor oleh HPH hanya 215 US Dollar maka Saham HPH hanya 26 % di JICT untuk jangka 20 tahun ke depan yaitu 2019 – 2039.
Ia mengingatkan agar KPK tidak pilih-pilih dalam pemberantasan korupsi untuk menegakkan keadilan dan pembersihan dalam Pelindo II. KPK juga harus periksa Lino dan seluruh pihak yang terkait dalam Privatisasi JICT.
“Termasuk Menteri BUMN, Rini Sumarno yang secara ceroboh menyetujui proses Privatisasi JICT yang ilegal dan melawan hukum,” tegasnya.
Oversight Committee Ilegal
Sebelumnya, mantan Komisioner KPK RI, Erry Riyana Hardjapamekas, turut dipanggil oleh Pansus Pelindo II DPR RI bersama dengan jajaran yang dibawa Dirut Pelindo II, RJ Lino. Kapasitas Erry adalah sebagai anggota Oversight Committee (OC).
Sebenarnya, di OC itu, selain Erry, ada juga nama lain seperti Faisal Basri dan Lin Che Wei. Namun hanya Erry Riyana yang datang mendampingi Lino. Di dalam rapat Pansus Pelindo, di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (4/12), Erry dan OC-nya itu menjadi bulan-bulanan anggota Pansus. Bahkan para anggota lembaga itu disebut telah menerima uang haram, sebab tidak jelas dasar pembentukan OC oleh Lino.
“Gaji yang didapatkan Ketua Committee adalah haram. Harap dikembalikan ke negara,” tegas Wakil Ketua Pansus Pelindo II, Desmond Junaedi Mahesa.
Erry sempat protes terhadap pernyataan itu. Sebab baginya, OC bukanlah lembaga yang ilegal karena direksi BUMN diberi kewenangan membentuk committee.
“Saya tidak terima ada tuduhan ilegal,” kata Erry.
Komisaris Utama PT Pelindo II yang juga mantan Komisioner KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, ketika diminta pendapat oleh Pansus, menyatakan OC mungkin dibutuhkan direksi Pelindo II untuk melakukan pengkajian sebelum berinvestasi. Baginya, itu yang menjadi alasan direksi Pelindo II membentuk OC.
Namun, para anggota Pansus tak terima begitu saja. Sukur Nababan dari Fraksi PDI-P bahkan menyindir Erry Riyana tak perlu lagi bicara di Pansus karena kapasitasnya jadi tak jelas.
Menurut Sukur, berdasarkan Peraturan Menteri BUMN, yang berhak membentuk lembaga semacam OC adalah komisaris BUMN, bukan direksi. Maka itu, keberadaan Erry sebagai bagian dari OC dianggapnya tak jelas.
“Anda pernah di KPK, anda pasti paham bahwa segala sesuatu ada alas hukumnya. Tapi anda tak perlu jawab saya, karena saya tak akui OC,” tegas Sukur Nababan. (ZKA Warouw)