Rabu, 6 November 2024

Lima Hari Di Dili, Seperti Di Negeri Sendiri

Oleh : Nurely Yudha Sinangrum*

Taxi itu berjalan di tengah kegelapan. Di luar udara dingin terasa karena aku membuka sedikit kaca jendelanya.  Tak sampai satu jam taksi sudah tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Saat itu waktu menunjukan angka  03.20 WIB.

Ternyata baru aku yang sampai di Bandara, kepagian rupanya. Tak lama kemudian aku melihat Victor yang mengantar Pak Utomo dan Fitri Nganthi Wani ke bandara. Selang 15 menit kemudian Wilson dan Affandi datang bersamaan dalam satu taxi.  Mereka berdua datang bersama karena rumahnya berdekatan. Tak berapa lama kawan-kawan lain berdatangan seperti Danial Indra Kusuma dan istrinya, serta Dita Indah Sari.

Kami semua akan terbang bersama menuju Dili untuk menerima penghargaan dari Asosiasi Brigada Negra. Kami semua yang dulu bergabung dengan  Partai Rakyat Demokratik (PRD), diapresiasi   berjasa dalam  perjuangan kemerdekaan Timor Leste. 

Aku sendiri mewakili suamiku Petrus Hariyanto. Dia adalah mantan Sekjen PRD. Berhalangan datang karena harus cuci darah seminggu dua kali, sehingga tidak mungkin berpergian  ke luar kota dalam waktu lama.

Pak Utomo mewakili Bimo Petrus, yang sampai hari ini masih hilang. Fitri Nganthi Wani mewakili bapaknya Widji Thukul yang juga masih hilang. Affandi mewakili istrinya, Frasiska Ria Susanti. Bimo Petrus dan Widji Thukul adalah anggota PRD.  Keduanya korban penculikan yang dilakukan aparat militer, saat Soeharto masih berkuasa. Sampai saat ini mereka berdua belum dipulangkan oleh penculiknya.

“Naning, bagaimana kabar Petrus?” tanya Danial Indra Kusuma kepadaku.

“Ya begitu. Dia tidak mungkin terbang ke Dili. Apalagi sejak delapan bulan yang lalu dia terkena stroke,” jawabku kepadanya.

“Dirimu sendiri gimana? Lama kita tak jumpa,” tanyaku juga ke dia.

Danial yang sering kupanggil Roy itu tampak lebih kurus dibandingkan dulu. Rambutnya panjang. Wajahnya terlihat lebih tua. Tampaknya dia sedang sakit. Dia didampingi istrinya yang bernama Sarinah.

“Tak beda dengan Petrus, aku juga sakit. Aku lemah Jantung karena listrik jantungku mengalami gangguan. Aku sering mengalami pingsan,” ujarnya dengan pelan.

Roy  adalah senior kami semua. Jauh sebelum PRD berdiri  dia telah menjadi aktivis. Angkatan dia di bawah satu tingkat  dengan Hariman Siregar. Roy pendiri PRD yang paling senior.

Bagi pejuang  kemerdekaan Timor Leste yang di Jawa tahun 90-an, dia adalah guru dan panutan. Kawan-kawan Timor leste banyak belajar darinya bagaimana melakukan taktik klandestin di kota-kota besar  di Jawa?

Pukul 05.45 WIB kami memasuki pesawat. Budiman Sudjatmiko, Jakobus Eko Kurniawan dan Eko Sulistyo, dari Kantor Staff Kepresidenan datang pada detik-detik akhir. Budiman Sudjatmiko  dengan senyum khasnya menyapa kami semua yang sudah terlebih dahulu duduk di pesawat.

Sambutan Hangat

Sekitar pukul 13.00 WIB, pesawat mendarat di Bandar Udara Internasional Presidente Nicolau Lobato. Nama bandara itu diambil dari nama Presiden pertama mereka,   sebelum negeri itu menjadi koloni Indonesia.

Kedatangan kami disambut sejak di lapangan pemberhentian  pesawat. Beberapa kawan Timor Leste langsung menyalami kami dan beberapa dari mereka berpelukan dengan Wilson, Budiman dan Jakobus. Mungkin mereka sudah saling kenal pikirku.

“Silahkan bapak dan ibu, paspornya  kami yang akan urus,” Ujar perempuan cantik itu kepada kami semua

Kami tidak perlu antri di bagian imigrasi mereka. Sudah ada yang mengurus. Tinggal melenggang menuju ruang tunggu VVIP bandara.

Di ruang tunggu VVIP bandara ternyata panitia telah menyambut. Ada sekitar lima belas orang. Aku hanya mengenal tiga orang. Aquita,  pernah ke Semarang ke Markas SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi)  Semarang, sekitar tahun 1995. Yang paling kuingat cara bicaranya. Sering terbalik menyebut malam dan Malang. Malam dia ucapkan malang, sedang kota Malang dia sering ucapkan malam.

Kalau Puto pernah kutemui di markas PRD di Kebon Baru, sekitar tahun 1995. Sekarang sudah gemuk. Dulu kurus, rambutnya kribo, makanya dipanggil Golkar.

Suamiku pernah bercerita kalau dia, Wilson, Puto  memimpin aksi lompat pagar ke Ke Dutaan Besar Belanda. Saat itu aku ikut yang ke Kedubes Rusia tapi tertangkap sebelum melompat. 

Sedangkan Safe’i sangat kuingat sekali. Dia dulu aktif di SMID  Cabang  Surabaya. Dia sih orang Lamongan. Karena kulitnya hitam kupikir dia anak Timor Leste.

Wilson yang paling kenal dengan mereka semua. Wajar saja karena dia  dulu pimpinan SPRIM (Solidaritas Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Maubere). Dan ini adalah kedatangannya kesekian kali  ke Dili. Semua diajaknya bicara, dan pembicaraan berjalan  begitu hangat dan bersahabat.

Setengah jam setelahnya, kami dibawa ke hotel. Ada beberapa iring-iringan mobil dan dikawal oleh Polisi Timor Leste. Di hotel kami disambut beberapa kawan Timor Leste dan seorang kawan dari Indonesia Selma Widhi Hayati namanya sering aku dengar dari kawan-kawan tapi baru hari itu aku bertemu dengan beliau

Setelah kami istirahat sejenak di hotel. Sorenya diantar Bung Safe’i dan Bung Laka kami mengunjungi Christo Rei. Christo Rei ini adalah perlambang Timor Leste. Kita menaiki bukit dimana Patung Jesus Christus sangat besar berada di puncak bukit. Menjelang matahari terbenam kawan kami Selma datang menyusul, kemudian kami turun bersama kembali ke hotel.

Malam harinya kami dijamu makan malam secara informal oleh Menteri Sekretaris Negara, Avelino Maria Coelho da Silva. Wajahnya brewokan,  seingatku pernah bertemu  dia di ruang bezukan LP Cipinang. Saat itu, wajahnya masih  belum ditumbuhi brewok setebal sekarang.

Hari pertama di Dili, bagiku sangat berkesan. Terutama sambutan mereka yang ramah dan hangat. Mereka sangat menghargai dan menghormati perjuangan PRD dalam membantu  merebut kemerdekaan Timor Leste.

Bapakku

Hotel ini sungguh luar biasa. Ketika jendela kubuka,  aku disuguhi pemandangan pantai yang begitu menawan. Hotel itu memang berdiri di tepi laut.

Suasana indah  ini membuatku melamun. Ternyata, di keluargaku  ada dua  yang pernah ke Dili. Selain aku,  ayahku pernah berbulan-bulan ditugaskan di sini.

Bedanya, aku datang dengan kedamaian. Sedangkan ayahku datang dalam suasana pergolakan. Sekitar tahun 70-an ayahku berperang menghadapi Fretelin. Dia anggota Batalyon Infantri yang berkedudukan di Yogyakarta. .

“Berkali-kali aku hampir mati di sana. Waktu  terjun payung malam hari, ternyata dibawah sudah dipasang bambu runcing. Banyak temanku menyerahkan nyawanya setibanya  di tanah. Syukurlah, Tuhan masih memberi hidup buatku,” ujar ayahku bercerita kepada diriku. 

Kata ayahku, pernah tiga hari dia terjebak di sebuah jurang. Dia hanya tiarap untuk menghindari  tebakan dari atas. Dia selamat karena bala bantuan dari udara datang.

Sedangkan aku, semasa mahasiswa terlibat dalam organisasi yang memperjuangkan referendum bagi rakyat Maubere. Aku berpandangan Soeharto melakukan aneksasi ke Timtim, sedangan ayahku berpendapat Timtim adalah Propinsi ke 27.

Tetapi ayahku tidak marah kepadaku. Suatu ketika aku dan teman-temanku tertangkap dalam aksi lompat pagar ke Kedubes Rusia. Isu yang kami perjuangkan adalah kemerdekaan bagi Timor Leste. Oleh Prof. Muladi, rektor Universitas Diponegoro, nama kami semua diserahkan ke orang tua kami masing-masing. Disitulah ayahku tahu kalau aku aktivis dan pikiran politik ku  berbeda dengan beliau.

Ayahku juga tidak marah kepadaku paska “Peristiwa 27 Juli”, saat PRD dituduh sebagai dalang kerusuhan. Aku dan ayahku sampai dipanggil ke Markas Kodam VII Diponegoro. Di sana ayahku harus mengucapkan Sumpah Sapta Marga kembali oleh Jenderal Bibit Waluyo, Pangdam VII Diponegoro (waktu itu). Beberapa tahun kemudian, dia harus rela pensiunnya dipercepat sebagai anggota TNI AD yang bertugas di Kodim Pati.

Penghargaan itu

Hari kedua kami bersiap untuk menghadiri seminar. Iring-iringan mobil dengan pengawalan 2 motor polisi sudah siap menjemput kami di hotel. Setiba di gedung seminar kami masuk satu persatu di sambut oleh   Kay Rala Xanana Gusmao.  Xanana mengalungkan tais (kain asli Timor Leste)  dan memeluk kami satu persatu begitu hangat dan ramah. Kemudian seminar dimulai. 

Ruang itu begitu hening. Tatap mata semua  orang tertuju kepada Nganti Wani yang sedang membacakan puisi ayahmya berjudul “Kita Satu Ibu”.

 

……kita tidak sendirian

kita satu jalan

tujuan kita satu ibu : pembebasan…..

 

Itu penggalan syair  yang ditulis Widji Thukul. Ditulis khusus untuk perjuangan di Timor Leste.  Sangat mengharukan,  membuat hampir semua orang di ruangan itu menangis. Tanpak Petinggi  Militer dan Pejabat Tinggi Timor Leste mengusap air matanya.

Bukan hanya syairnya yang menyentuh, mungkin juga karena sosok  Widji Thukul  hadir di ruang itu. Dan tentu saja karena Fitri Nganthi Wani membacakannya dengan apik. Dia sendiri turun dari pangung dengan mata  basah.

Pembacaan puisi Widji Thukul itu terjadi di sela-sela seminar yang mengangkat tema “Batas Laut Timor Leste dengan Australia”.

Situasi mengharukan kembali terjadi ketika Fitri Nganthi Wani berorasi di panggung.

“Saya sudah mencari ayah saya bertahun-tahun. Sampai saat ini dia belum kembali. Saya tidak tahu di mana ayah saya. Di negara saya,  ayah saya kurang mendapat apresiasi. Justru di negeri ini, ayah saya mendapat penghargaan. Saya juga terharu atas penyambutan kami semua,” ucapnya dengan berlinang air mata.

Ketika Fitri Ngathi Wani akan turun dari pangung, Kay Rala Xanana Gusmao berdiri dan menyambut Wani. “Bapak mu ada di sini,” ucapnya sambil menunjuk tangannya di dada.

Xanana memeluk Wani. Xanana juga memberinya bunga. Saat Wani berorasi, mata Xanana sudah berkaca-kaca.

“Tadi maksudnya apa ya Mbak Naning, kok Xanana bilang bapak mu  ada di sini,” tanya Wani ke aku setelah dia duduk.

“Dia ingin menjadi  bapakmu juga,” ucapku mantap.

Upacara penghargaan terjadi paling akhir setelah seminar dan peluncuran buku Wilson tentang Kay Rala Xanana Gusmao selama di LP Cipinang. Ketika nama Petrus Hariyanto disebut aku langsung bangkit berdiri. Rasanya berat berjalan menuju ke depan. Teringat suamiku di Jakarta. Tentu dia sangat bangga menerima penghargaan ini.

Bila dia datang sendiri tentu bertambah  senang, karena di sini akan bertemu dengan teman-temannya dari Timor Leste. Saat Soeharto dan Orba berkuasa, mereka bergandeng tangan melakukan perlawanan. Tidak Ada demokrasi tanpa kemerdekaan rakyat Maubere, tidak ada kemerdekaan rakyat Maubere tanpa ada demokrasi di Indonesia.

“Mohon maaf, Petrus tidak bisa datang ke acara ini. Dia titip salam ke Bapak,” ucapku kepada Xanana.

“Oh tidak apa-apa,” jawabnya

Xanana langsung memeluk saya. Pelukannya demikian erat dan hangat, Rasanya,  ia ingin memberi dukungan moril kepadaku.

“Salam buatnya. Tetap semangat,” ucapnya dengan penuh kebapakan kepadaku.

Kay Rala Xanana Gusmao adalah   orang penting di negeri ini. Dia pernah menjadi Presiden dan Perdana Menteri. Bahkan  sekarang ini pendapatnya sangat didengar oleh pejabat dan pemimpin di Negara Timor Leste ini.

Bagi Petrus, Xanana Gusmao  adalah teman lama. Hampir dua tahun Petrus dan Xanana Gusmao menjalani hidup di LP Cipinang. Aku sendiri sering berjumpa dengannya di ruang bezukan. 

Bertemu Kawan Lama

Mobil yang kami tumpangi itu melaju dengan kencang walau jalan berliku-liku. Jalan yang kami lalui adalah jalan perbukitan dengan melalui pedesaan dan pemandangan yang indah karena dari atas bukit ini kami bisa melihat kota Dili dari atas dan hamparan laut yang indah. Hampir satu jam kami sampai di atas bukit. 

Di  atas bukit itu juga terhampar nisan-nisan. Di sana tempat bagi pejuang Timor Leste dibaringkan selamanya. Ya tempat itu adalah Taman Makam Pahlawan.

Kami spesial mengunjungi makam Fernando de Araujo. Dia adalah pemimpin gerakan mahasiswa Timor Leste di Jawa yang paling terkemuka, saat Timor leste dalam genggaman Indonesia.

Ketika sudah menjadi negara merdeka, Fernando pernah menjadi Presiden Parlemen Timor Leste. Sebelum meninggal dia menjabat sebagai Menteri Pendidikan.

Fernando, bagi Wilson, Petrus, Budiman, Yokobus  mempunyai kenangan tersendiri. Mereka berjumpa di dalam penjara LP Cipinang. Sama-sama menjadi tahanan politik Soeharto.

“Bung dapat salam dari Petrus. Dia berpesan kalau aku ke Dili harus mampir ke tempat istirahatmu. Salam kangen dari Petrus,” ucapku di makam Fernando.

Aku, Wilson, dan Pak Utomo datang ke sini diantar Laka, Jil dan Diaz. 

Selain Laka, Jil, Aquita, Safe’i dan Diaz, ada teman dari Indonesia yang sudah lama tinggal di Dili. Mereka adalah Selma Widhi Hayati, Mindo Rajaguguk dan Nug Katjasungkana. Mereka dengan ringan tangan mengajak kami berkeliling di kota Dili dan sekitarnya. Bahkan Selma menemani aku di hotel dua hari menjelang aku pulang ke Indonesia

Rasanya, tinggal di Dili sama saja dengan tinggal di Indonesia. Di sini bisa berjumpa dengan banyak  orang yang kita kenal dengan dekat. 

Sayang, hari kelima aku harus pulang. Sementara yang lainnya masih tertinggal untuk turut aksi menentang Australia atas klaim batas lautnya dengan Timor Leste.

Selamat jalan kota Dili. Selamat jalan Timor Leste.  A Luta Continua !

 

* Penulis adalah  Anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD), Istri Petrus Hari Hariyanto, Mantan Sekjen PRD

 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru