JAKARTA- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), menganggap aborsi bagi korban tindak pidana perkosaan merupakan hak yang dimiliki oleh korban. Namun penerapannya harus dilakukan secara cermat.
“Penerapannya harus dilakukan secara cermat,” ujar Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (18/8).
Aborsi lanjutnya dapat diberikan terhadap korban perkosaan sepanjang aborsi tidak membahayakan jiwa korban. Menurutnya keselamatan korban harus menjadi proritas utama termasuk terkait aborsi ini.
“Harus jelas dokter mana yang bisa diberikan wewenang untuk melakukan tindakan tersebut,” katanya.
Untuk menghindari penyalahgunaan peraturan, Edwin menilai perlu ada pembuktian hukum yang kuat bagi pihak-pihak yang akan melakukan aborsi.
“Peran aparat penegak hukum sangat menentukan proses ini,” terangnya.
Selain itu, LPSk menilai aborsi juga perlu mempertimbangkan ajaran agama.
“Jika korban beragama Islam, maka disarankan mengikuti pula arahan dari MUI terkait aborsi ini”, ujar Edwin.
Namun pada akhirnya, keputusan untuk melakukan aborsi harus ditentukan oleh korban itu sendiri. Apabila korban tidak menghendakinya, maka tindakan ini tidak boleh dilakukan. Sebaliknya jika memang dikehendaki, maka tindakan ini bisa diambil.
Seperti diberitakan Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Dimana dalam PP tersebut, dilegalkan aborsi bagi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan.
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi sebelumnya menjelaskan tentang Peraturan Pemerintah (PP) 61/2014 Tentang Kesehatan Reproduksi atau dikenal dengan PP Aborsi bisa dipakai untuk kedaruratan medik dan pemerkosaan.
Nafsiah menjelaskan seorang wanita yang diperkosa lalu hamil seperti sebuah hukuman. Pasalnya, wanita yang diperkosa harus mengandung 9 bulan dari bukan suaminya, pria yang dia benci karena melakukan kekerasan terhadap dia.
“Dipaksakan wanita itu harus mengandung 9 bulan. Dan setelah 9 bulan, dia harus menghidupi dan masyarakat akan mencerca dia karena dia melahirkan anak tanpa suami, beratnya luar biasa. Jadi wanita ini akan dihukum bertubi-tubi,” katanya.
Nafsiah menjelaskan, Aborsi bisa dilakukan bila bayi yang dikandung seseorang menjadi racun. Selain itu, aborsi yang masih dianggap tabu bisa saja dilakukan bila seseorang diperkosa. Tentunya itu harus dibuktikan lewat proses penyidikan di kepolisian.
Menkes menjelaskan bahwa pembicaraan mengenai aborsi sudah melibatkan kepolisian, Ikatan Dokter Indonesia, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). (Enrico N. Abdielli)