Selasa, 11 Februari 2025

Marhaenisme, Pemikiran Bung Karno, dan Kontradiksi Para Penafsir

Ditengah Penjajahan Kolonialisme Belanda pada 6 Juni 1900, seorang perempuan, Ida Ayu Nyoman Rai, yang sehari-hari dipanggil Nyoman, melahirkan seorang putra bernama Soekarno. Pada 1 Juni 1945, dihadapan Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Soekarno, pertama kali berpidato tentang Pancasila yang selanjutnya menjadi dasar Ideologi Negara Republik Indonesia. Sehingga Setiap 1 Juni dikenal sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Ia menjadi menjadi Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang berdiri pada 17 Agustus 1945. Pada 22 Juni 1966 Soekarno dipaksa meletakkan jabatan lewat penolakan oleh MPRS atas Pidato Pertanggung Jawaban Presiden Soekarno,–setelah sebuah kudeta militer yang didukung Amerika Serikat pada 30 September 1965.  Presiden Soekarno meninggal dunia di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta pada 21 Juni 1970. Sebagai penghormatan terhadap Bulan Bung Karno, selama sebulan Bergelora.com akan menurunkan berbagai tulisan tentang Bung Karno.

 

Oleh: Pandu Yuhsina Adaba

Di tengah hiruk-pikuk suasana pemilihan umum 2014 kemarin, Marhaenisme kembali disebut-sebut. Pengamat Sejarah, JJ Rizal yang mencoba mengkritisi Ahok (Basuki Tjahja Purnama-Wagub DKI 2012-2017) dinilai tak pantas memberi penilaian mengenai kadar ke-Marhenis-an seseorang. Bukan tanpa sebab, sebagai orang yang pernah mengeluarkan peryataan bahwa para pemrotes kebijakan pemprov DKI adalah komunis, Ahok dinilai mengidap penyakit komunisto-phobi, sebuah istilah yang digunakan Soekarno untuk menghardik lawan-lawan politiknya yang anti pandangan marxian. Anti komunis berarti anti marhaenis, pandangan yang tak kurang penentang. Ahok sendiri dalam berberapa kesempatan sering mengaku bahwa dirinya seorang marhaenis.

Tak sulit ditemui pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa marhaenisme bukanlah marxisme. Wisnuwardhana dan Prof Wuryadi yang merupakan tokoh sepuh marhaenis di Yogyakarta menyusun materi pelatihan metode berpikir marhaenis yang di dalamnya menyatakan: marhaenisme menggunakan metode berpikir dialektik seperti ajaran Karl Marx, namun menolak filsafat materialisme.

Usep Ranawijaya sebagai bekas pimpinan PNI dalam sebuah kesempatan bahkan pernah menyatakan bahwa

”Persatuan Nasional Indonesia memiliki semangat Marhaen, itu bukan Marhaenisme yang Marxistis, melainkan Marhaenisme menurut versi sidang Majelis Permusyawaratan Partai (MPP) PNI. Yakni, “Marhaenisme dalam arti membela kepentingan rakyat kecil yang tertindas”. (Majalah Berita Mingguan Gatra Edisi 11 November 1995 -No.52/ I ) 

Menolak materialisme berarti menghilangkan salah satu pondasi dasar dari marhaenisme itu sendiri. Mengapa? Karena jika kita menengok kembali penjelasan Bung Karno dalam “Shaping and Reshaping Indonesia” (Bung Karno; 1964, Depenprop PNI).  maka kita dapati fakta bahwa untuk mepelajari marhaenisme kita perlu mengenal dua hal yaitu Pemahaman mengenai marxisme dan Pemahaman mengenai situasi dan kondisi Indonesia.

Dari kombinasi kedua poin tersebut kita bisa melihat bahwa sejatinya Marhaenisme itu secara sederhana adalah marxisme yang diterapkan dalam situasi dan kondisi di Indonesia. Marxisme itu sendiri ditopang oleh berapa ajaran pokok diantaranya adalah pendekatan materialisme dialektik. Namun justru menjadi ambigu ketika eksponen-eksponen marhenis sendiri pernah menyusun sebuah silabus kaderisasi yang menyatakan bahwa marhaenisme adalah Marxisme tanpa filsafat Materialisme. Pernyataan itu dengan sendirinya menyangkal keberadaan diri karena tanpa materialisme, maka marxisme itu sendiri menjadi tidak lengkap.

Kongres PNI ke 10 tahun 1963 di Purwokerto secara resmi menerima tafsiran Marhaenisme sebagai Marxisme yang diterapkan dalam sikon Indonesia (dalam istilah Bung Karno : is het in Indonesia toegepaste Marxisme). Surachman (Sekjend PNI 1963) yang mendorong tafsiran itu kemudian tewas di Blitar ketika Orde Baru mengerahkan tentara untuk melakukan pembersihan terhadap sisa-sisa PKI yang kemudian dikenal dengan nama Operasi Trisula.

Konsep Marhaen diperkenalkan Bung Karno tahun 1923 dalam 9 tesis Partindo. Marhaen diartikan sebagai kaum melarat. Marhaen juga meliputi unsur-unsur pemilik faktor produksi dalam jumlah kecil seperti tani, nelayan, tukang becak, tukang sayur, dan lain-lain. Hal inilah yang kemudian memunculkan bahwa analisis marhaenis adalah analisis yang kontradiktif. Pemisahan kelas berdasarkan analisis Marxian adalah dengan melihat kepemilikan faktor produksi, sementara Marhaen seolah tidak setegas itu dalam mendikotomi elemen penyusun masyarakat. Maka jika dilihat dari sudut pandang ini, pemikiran Bung Karno,— yang dalam beberapa tulisannya mengakui dirinya adalah seorang pengagum pemikiran Karl Marx,— seolah mengandung kontradiksi yaitu :

1.         Marhaenisme adalah marxisme (salah satu poin penting marxisme adalah analisa kepemilikan faktor produksi) yang diterapkan dalam sikon Indonesia

2.         Marhaen bisa punya alat produksi, tapi proletar (yang tidak punya alat produksi)  termasuk marhaen.

Sampai hari ini, ketidakjelasan pada dua poin tersebut masih menjadi kerisauan para pengkhotbah ajaran marhaenisme. Namun sungguh disayangkan, belum pernah ada upaya serius untuk menemukan jawaban yang valid mengenai,— seperti apa (sesungguhnya-red) marhaenisme memandang kepemilikan alat produksi?

Selain pandangan terhadap kepemilikan alat produksi, seringkali pemikiran Bung Karno direduksi sebatas pada slogan/jargon nasionalisme.  Marhaenisme dipahami sebatas soal nasionalisme, padahal marhaenisme seharusnya jauh lebih luas dari pemikiran mengenai teritori. Penafsiran sempit atas marhaenisme  ini berpotensi menimbulkan kesalahan chauvinistic,— yaitu pembelaan membabi buta terhadap segala sesuatu yang berbau “nasional” termasuk kapitalis nasional maupun komprador dari kalangan pribumi.

Seringkali kesalahan chauvinistik seperti ini berakhir pada slogan kosong semacam “NKRI Harga Mati” yang jika ditarik ke level landasan maupun definisi operasionalnya ternyata tidak ditemukan jawaban yang jelas. Resiko lain dari pandangan sempit ini adalah potensi munculnya sikap xenophobia yaitu sikap anti terhadap segala sesuatu yang berbau “asing” secara membabi-buta.

Kontradiksi seperti ditunjukkan sebelumnya seringkali, berujung tuduhan bahwa marhaenisme adalah pandangan yang kontradiktif dan inkonsisten sehingga dengan sendirinya menjadi tidak relevan untuk diperjuangkan lagi. Kegagalan para marhaenis untuk menghadapi kontradiksi penafsiran marhaenisme itu menurut saya berasal dari dua poin masalah.

Pertama adalah anggapan bahwa pemikiran Bung Karno merupakan dogma yang harus ditelan mentah-mentah serta tidak boleh ditambah maupun dikurangi. Kesalahan ini menyebakan adanya kesalahan kedua yaitu : Kegagalan  memberikan tafsir kreatif terhadap pemikiran Soekarno. Akibatnya : Pemahaman  atas marhaenisme menjadi statis sehingga marhaenisme menjadi tidak up to date lagi ketika berhadapan dengan perubahan jaman.

Dari poin ke 2 itu maka kita harus menafsirkan ajaran Soekarno secara kreatif sehingga permasalahan benalu dogmatis dapat diatasi. Tafsiran yang kreatif ini tentu bukan tafsiran yang asal aneh, namun harus didasari oleh perenungan mendalam maupun pemahaman-pemahaman baru yang muncul seiring perjalanan jaman yang tentunya diikuti pula dengan beberapa perubahan sosial.

*Penulis adalah Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru