Oleh : Andi Arief
Mengapa Pilpres kali ini seperti dalam bayang-bayang pemilu 2004 putaran kedua antara koalisi kebangsaan yang gemuk dimotori PDI-P dan koalisi kerakyatan yang ramping dimotori Partai demokrat?
Situasi ini harus dijelaskan latar belakang persoalan yang sesungguhnya. Perseteruan tajam ini tidak perlu terjadi kalau tidak ada keretakan hubungan antara partai yang sama-sama memilih menjadi partai oposisi tahun 2009-2014 yaitu PDI-P, Gerindra dan Hanura
Turunnya suara Partai demokrat dan tidak munculnya figur yang elektabilitasnya mampu bersaing dengan figur oposisi Jokowi dan Prabowo membuat Partai Demokrat dan Sekretariat Gabungan (Setgab) termasuk Golkar menjadi tidak banyak pilihan.
Satu-satunya harapan itu, jika Partai yg tergabung dalam setkab menempati suara kedua terbanyak pilpres 2014 memberikan beberapa opsi pencapreskan kadernya yang dipasangkan dengan salah satu peserta konvensi atau setgab lainnya sebagai cawapres,– berdasarkan survey berpeluang melawan figur dari partai oposisi (PDI-P, Gerindra).
Namun Partai yang tergabung dalam setgab memiliki mekanisme tersendiri yang tidak bisa diintervensi sebagaimana partai lain, dan itu harus dihormati.
Jika disimpulkan, mengapa Pilpres jadi seperti ini, karena keretakan dalam partai oposisi di saat dipercaya masyarakat di saat-saat penting menjelang masa pencoblosan Pemilu legislatif. Akibatnya Partai oposisi yang retak hubungannya mengajak partai pendukung pemerintah karena kekuatan suaranya tidak cukup untuk mencalonkan sendiri capres dan wapresnya. Ini satu fase yang harus dilewati karena inilah realitasnya.
Sikap netral Partai Demokrat setelah partai-partai dalam setgab tak menimbang usulan perubahan opsi, adalah pilihan yang rasional dan tidak akan mengambil keuntungan atas situasi seperti ini.
Sudah tepat momentumnya berkonsentrasi pada pembangunan partai yang sesungguhnya. Karena itu dapat dipahami posisi politiknya yang netral. Artinya memang tidak ada pilihan lain kecuali menjadi oposis,i tidak berfihak pada dua pasangan yang sedang berkompetisi dan menawarkan satu etika berpolitik: kapan harus berkuasa atau ikut dalam kekuasaan dan kapan harus berada di luar kekuasaan.
Namun bukan berarti secara individu kader dan simpatisan harus Golput. Tapi dibebaskan memilih presiden dan wakilnya dari pilihan yang ada. Ini untuk mematuhi etika politik yang tak tertulis yang menyelamatkan sistim presidensial dalam sistem multi partai.
Penulis Adalah Staff Khusus Presiden