Minggu, 20 April 2025

Memuliakan Kembali Lima Mutiara Pancasila

Ditengah Penjajahan Kolonialisme Belanda pada 6 Juni 1900, seorang perempuan, Ida Ayu Nyoman Rai, yang sehari-hari dipanggil Nyoman, melahirkan seorang putra bernama Soekarno. Pada 1 Juni 1945, dihadapan Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Soekarno, pertama kali berpidato tentang Pancasila yang selanjutnya menjadi dasar Ideologi Negara Republik Indonesia. Sehingga Setiap 1 Juni dikenal sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Ia menjadi menjadi Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang berdiri pada 17 Agustus 1945. Pada 22 Juni 1966 Soekarno dipaksa meletakkan jabatan lewat penolakan oleh MPRS atas Pidato Pertanggung Jawaban Presiden Soekarno,–setelah sebuah kudeta militer yang didukung Amerika Serikat pada 30 September 1965.  Presiden Soekarno meninggal dunia di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta pada 21 Juni 1970. Sebagai penghormatan terhadap Bulan Bung Karno, selama sebulan Bergelora.com akan menurunkan berbagai tulisan tentang Bung Karno.

 

 

DR. Ir. Yuke Ardhiati*

… Aku ingin membentuk satu wadah jang tidak retak, jang utuh,

jang mau menerima semua masjarakat Indonesia jang beraneka-aneka itu dan

jang masjarakat Indonesia mau duduk pula didalamnja,

jang bisa diterima oleh saudara-saudara jang beragama Islam,

jang beragama Keristen Katholiek,

jang beragama Keristen Protestan,

jang beragama Sjiwa Budha,

jang bisa diterima oleh saudara-saudara jang beragama Hindu-Bali, dan

oleh saudara-saudara jang beragama lain,

jang bisa diterima oleh saudara-saudara jang adat-istiadatnja begitu,

dan

jang bisa diterima oleh sekalian saudara…

(Kutipan dari : Apa Sebab Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pantja-Sila? Amanat Presiden Soekarno di Kongres Rakjat Djawa Timur 24 September 1955 di Soerabaja)

Yang tercitra dari kutipan di atas, sebuah upaya maha keras Sukarno dalam proses mengkualitasnya mencari perekat bangsa yang plural di awal berdirinya republik ini. Diperkenalkan olehnya 5 butir mutiara yang lalu disebut pancasila sebagai usulan dasar Negara. Pancasila sebuah hasil kedalaman kontemplatif terkristalkan melampaui proses yang tidak mudah. Sukarno ‘dijemput oleh Sejarah’ sebagai sosok yang Multikultur sejak dari lahirnya. Ayah- Bunda yang Jawa-Bali, mengenali Islam-Hindu, Bumiputera diantara masyarakat Eropa, berpindah-pindah pulau pengasingan, mengenal Kristen, Katholik serta berbagai budaya nusantara.

Sukarno mencatat, di bawah pohon sukun di pusat Kota Ende merupakan ruang kontemplatif outdoor yang memberi keluasan pandang batinnya sambil memandang Laut Flores yang lepas. Kedalaman batinnya mengeksplorasi sumber-sumber spirit local khas nusantara menjadikan sebuah perekat bangsa menjadi kenyataan dalam Sejarah. Agar perekat tersebut bertahan lama,  diperlukan sebuah maha karya tanpa nama, akan tetapi digali dari kekayaan sejarah negeri ini. Kutipan Sukarno, tentang hal terkait dengan harapan lestarinya Pancasila dapat dicermati sebagai berikut.

Aku tidak mentjipta Pantja Sila saudara-saudara,

Sebab sesuatu dasar Negara tjiptaan tidak akan tahan lama. Ini adalah satu adjaran jang dari mula-mulanja kupegang teguh. Djikalau engkau hendak mengadakan dasar untuk sesuatu Negara, dasar untuk sesuatu wadah – djangan bikin sendiri, jangan anggit sebdiri, djangan karang sendiri. Selamilah se-dalam-dalamnja lautan dari pada Sedjarah. Gali sedalam-dalamnja bumi dari pada sedjarah! Aku melihat masjarakat Indonesia, sedjarah rakjat Indonesia. Dan aku menggali lima mutiara jang terbenam didalamnja, jang tadinja lima mutiara itu tjemerlang, tetapi oleh karena pendjadjahan asing jang 350 tahun lamanja, terbenam kembali di dalam bumi bangsa Indonesia ini.

Semasa Sukarno, sebagai way of life, Pancasila teruji sejak 18 Agustus 1945 termuat dalam UUD 1945. Ketika negeri berubah menjadi RIS, Pancasila tetap diadopsi sebagai Dasar Falsafah dalam Mukadimah UUD RIS. Ketika Indonesia menjadi NKRI, Pancasila tetap menjadi way of life. Begitupun pada masa Suharto. Upaya-upaya pelestarian Pancasila sebagai Dasar Negara digerakkan sebagai doktrin. Lalu, pada masa Presiden berikutnya, Habibi, Gusdur, Megawati dan SBY, Pancasila memang masih lestari sebagai dasar bernegara. Akan tetapi, masihkah butir-butir Pancasila tersebut menjiwai setiap warga bangsa Indonesia?

Indonesia di Abad Chaos

Salah satu wajah peradaban Abad Chaos tercitra di wajah Ibukota RI.  Barangkali diikuti pula oleh kota-kota besar lainnya. Jakarta kini, beraut wajah peradaban Chaos. Peradaban ini sebagai sebuah bertemunya berbagai peradaban sebelumnya, ditambahkan oleh peradaban yang diperoleh dari intervensi, interaksi, kontaminasi, kooptasi dengan berbagai kultur, termasuk kemajuan teknologi informasi.

Penanda Abad Chaos berupa merebaknya gedung jangkung yang rapat dan semrawut dengan atribut jaringan teknologis mendominasi ruang kota. Gedung pencakar langit, menara pemancar, satelit dan sebagainya adalah ekspresi arketipe ke- 7 dari teori  Mimi Lobell dan Anders Sandberg disebut Spatial Archetype. Melaluinya peradaban manusia dapat dilacak dengan mencermati model-model artifak yang tertinggal secara tumpang-tindih.

Peradaban ke-7 sebagai bentukan arketype The network: World of the Infonaut, setara dengan sebutan Peradaban Chaos, Serba Kacau. Berlambang Gerak Brownian-gerak acak.  Sebagai sebuah peradaban, Chaos adalah citra ketidakseimbangan hampir  dalam setiap lini kehidupan  sebagai dampak Jaringan komunikasi global.

Perekonomiannya didasarkan pada pertukaran informasi, baik generalis maupun spesialisasi. Pusat perkotaan menjadi penting sebagai tempat pertemuan, geografi kehilangan pentingnya akibat transportasi global yang serba cepat. Terjadi penurunan jumlah buruh dalam pabrik, dan tapi layanan informasi menjadi penting. Masyarakat bekerja melalui jaringan internet.

Politik menjadi polisentris. Pusat-pusat kekuasaan lama kehilangan sebagian kekuasaannya seiring dengan adanya dimensi kekuatan baru. Budaya berserikat  menjadi budaya alternative. Kreativitas marak dieksplorasi. Nilai-nilai kehidupan dipengaruhi media, yang bergerak seperti gerakan Brown. Postmodern dan filsafat transmodern hidup berdampingan. Informasi, kompleksitas dan evolusi menjadi paradigma bagi sains, ekonomi dan humaniora.

Waktu menjadi divergen. Masa depan berpeluang menjadi berbagai kemungkinan. Ketika dunia teknologi informasi semakin marak dan bersinggungan antara hackerprogrammer-perangkat lunak-pengguna, maka timbul Spirit in the Machine, The Conspiracy, the Global Brain akibat dari jaringan – Network.  Yang berbahaya adalah dampaknya, berupa stagnasi psikologis.

Timbulnya rasa kebingungan akibat informasi yang berlebihan dan tak berakar. Terjadi krisis identitas, sebagai dampak pemahaman psikologis yang seolah-olah terjadi dialog antara individu dan bagian dari Jaringan. Manusia seolah bisa berperan menjadi pencipta dari realitas diri sendiri dengan kemampuan diri sendiri.

Pola ruang arsitektural – wilayah menjadi acak juga. Pemisahan wilayah bisa terjadi dari waktu ke waktu, dari konteks ke konteks. Ruang sosial menjadi kurang penting, karena perencanaan kota berbasis infrastruktur yang didominasi menara-menara provider. Ketidakseimbangan di semua lini terjadi di peradaban ini. Ini juga sebuah ekspresi dari praktik bernegara yang mulai melonggarkan jiwa Pancasila, falsafah yang sudah disepakati sejak 1945.

Pengabaian jiwa Pancasila terekam disetiap periode pemeritahan atau rezim. Bila di masa Presiden Sukarno terjadi fanatisme dari pendukungnya, menjadikan  jiwa Pancasila tidak secara utuh dijalankan. Masyarakat cenderung bersikap memuja, mengkultuskan, bersikap yes-men atau ABS-Asal Bapak Senang. Sebagai manusia, Sang Pemimpin akhirnya dapat keblinger.  Masyarakat Indonesia ketika itu cenderung mengabaikan demokrasi atau sila ke-empat yaitu Kedaulatan ditangan rakyat. Sampai-sampai ditetapkan oleh MPR,  Sukarno sebagai Presiden seumur hidup. Situasi inilah yang mengantarkan Sukarno menjabat selama 22 tahun.

Berbeda di masa Presiden Suharto. Seolah tidak diperlukan sebuah pasal untuk melanggengkan jabatannya sebagai  Presiden seumur hidup. Hanya diperlukan strategi berupa pemampatan 3 partai politik saja sebagai sebuah mesin pembangunan yang aman dari demonstrasi. Ujung-ujungnya, pengabaian demokrasi melalui sistim partai ‘terpimpin’ yang diciptakan Suharto. Sampai-sampai jabatan Presiden selama 32 tahun menjadi ‘tidak terasa’ sebagai sebuah kegagalan sebuah Negara berkedaulatan rakyat.

Ketika menjabat, Presiden BJ Habibie, dengan agenda Reformasi akhirnya memutuskan untuk tidak berkiprah lagi mencalonkan diri sebagai Presiden. Sengitnya massa yang menudingnya sebagai ‘kepanjangan tangan’ Suharto menjadikan teknokrat terbaik itu memilih lengser. Sila ke lima Pancasila terabaikan disini.

Kemudian, ketika Presiden Gus Dur berkuasa. Dengan kebesaran jiwanya Gus Dur menganjurkan Demokrasi Berpendapat. Press Berjaya. Akan tetapi, Gus Dur menuai hasil perjuangannya itu pula dengan dilengserkan oleh sekelompok massa atas nama demokrasi. Begitupula nasib putri Sukarno, Presiden Megawati. Kans menjadi Presiden sebelum Gus Dur, terpaksa ‘tertunda’  akibat ketidak-adilan demokrasi negeri ini yang belum arif menerima kemenangan seorang Presiden bergender perempuan. Kekalahan Megawati ini sebagai cerminan ketidak-adilan social.

Dan lalu, pada periode pemilihan Presiden secara langsung. Dimenangkan oleh Presiden SBY selama 2 periode, pemerintahan cenderung ‘bebersih diri’ menuai kembali fanatisme kelompok yang Berjaya. Ide-ide bertema mengusung SBY untuk periode ketiga jabatan Presiden menjadi kenaifan dalam menafsir Pancasila. Hampir dipastikan disetiap narasi besar pemerintahan NKRI ini, Pancasila pernah mengalami ujian maha berat. Sampai-sampai perlu sebuah pemaknaan baru, paska ujian pertama yang maha berat Gerakan 30 September 1965 mampu terlampaui. Disetiap tanggal 1 Oktober ditengarai sebagai hari Kesaktian Pancasila. Ini adalah ungkapan kesyukuran ‘masih sakti’nya falsafah Pancasila. Namun, masihkah Pancasila itu sakti adanya?

Memuliakan Pancasila

Paparan sekilas menunjukkan situasi pengabaian jiwa Pancasila pada pucuk pemerintahan. Kondisi serupapun terimbas hampir di semua pribadi maupun  kelompok masyarakat. Secara samar karena tidak menonjol sehingga tidak terdeteksi memang telah terjadi degradasi perilaku yang menyimpang dari falsafah Pancasila. Seharusnya Pancasila dimuliakan sebagai kode etika tertinggi, karena ia telah disahkan menjadi  the way of life dalam  berbangsa dan bernegara. Akan tetapi kondisinya cenderung mengkhawatirkan, karena telah menjadi pemandangan yang dianggap lazim. Menjadi bias antara yang lurus dan yang tidak dalam berperilaku.

Degradasi tercitra dari kesantunan dalam keluarga, pergaulan, berbusana, bertuturkata, berniaga, berbangsa, bernegara, bahkan beragama. Degradasi yang menyerobot tanpa ampun, akibat Global Brain. Ketidakseimbangan diri dalam menerima informasi global yang serba menyentak, sudah saatnya dipikirkan secara serius jalan keluarnya dan pemecahan masalahnya.

Sudah terlalu lama Pancasila merana terabaikan oleh seluruh bangsa. Baik yang terlena, terimbas maupun yang tidak peduli. Semuanya merugi dan bertanggungjawab bila masih mengharapkan hidup di bumi Indonesia. Perlu adanya usaha bersama, yang memiliki gaung secara nasional, bahkan internasional bagi masyarakat Indonesia yang telah lama dirantau di negeri orang. Kepekaan mereka terhadap degradasi Pancasila perlu disegarkan kembali. Diperlukan adanya Konsep Memuliakan ke-Lima Butir Mutiara Pancasila sebagai Jiwa Bangsa. Kelimanya harus segera diinstall ulang atau direfresh agar supaya virus serta gangguan yang melekat padanya dapat dirontokkan,dibersihkan dan segera dijauhkan dari jiwa seluruh bangsa.

Bagaimanakah cara memulai Memuliakan ke-Lima Butir Mutiara Pancasila ini?

Cara-cara praktis memuliakan Pancasila, tidak sulit bila diniatkan untuk diwujudkan dalam tindakan nyata. Diniatkan melalui cara-cara yang ikhlas, yaitu  niat me-wakaf-kan diri pribadi menjadi obyek dan subyek demi kebaikan kehidupan dunia. Memulai segala sesuatu dengan kesungguhan tanpa kompromi bagi semua ajakan keluhuran budi. Meneladani tatanan masyarakat masa lalu, yang digubah balutan modernitas yang kritis dan logis. Menengok sejarahnya, lima butir mutiara Pancasila itu, dijumput oleh Sukarno melalui eksplorasi yang penuh khidmat dan kecintaan atas nilai-nilai etika dan estetika yang terpendam di Bumi Nusantara. Semula lima mutiara itu terbenam, lalu setelah 350 tahun  berubah menjadi lima mutiara yang cemerlang. Kini, paska 70 tahun sejak lima mutiara itu cemerlang dan kita jumput sebagai the way of life,  tentu tidak akan sulit menjadikan kecerlangannya kembali.

 

*Penulis adalah seorang arsitek dan Sejarawan Muda, Peneliti dan mengajar di Fakultas Tehnik, Universitas Pancasila, Jakarta. Penulis ‘Bung Karno Sang Arsitek’

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru