Kamis, 14 November 2024

Menanti Keruntuhan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut

Oleh: Laksada TNI (Purn) Soleman B. Ponto. ST, SH.

HASRAT kekuasaan mengalir deras di Bakamla. Untuk memuaskan hasratnya, tidak malu-malu lagi, kewenangan orang lain pun ditabrak. Tidak hanya itu, aturan perundangan bahkan sampai UUD 45 pun dilanggarnya. Semua hal itu dilakukan hanya untuk mengejar kekuasaan yang bukan miliknya sendiri.

Untuk memuaskan hasratnya itu, UU 32/2014 tentang Kelautan kembali diajukan untuk direvisi. Hasil revisi itu yang perlu mendapat tanggapan, karena hal tersebut bagaikan tindakan bunuh diri sendiri. Dunia Pelayaran Indonesia akan mati secara perlahán, karena Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) yang berwenang mengurus dunia Pelayaran Indonesia, kewenangannya dirampas, sehingga menjadi mandul. Sedangkan Bakamla sendiri tidak punya kompeten untuk melaksanakan kewenangan hasil rampasan itu.

Tanggapan atas dilakukannya revisi UU 32/2014 tentang Kelautan adalah adalah sebagai berikut. Perampasan kewenangan melalui revisi UU 32/2014 tentang Kelautan dapat dilihat dari beberapa pasal yang direvisi adalah sebagai berikut :

1. Pasal 63A UU 32/2014 tentang Kelautan

(1) Penyidik badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) berasal dari penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran, Personel Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, dan Personel Kepolisian

Artinya UU 32/2014 tentang Kelautan ini TIDAK PUNYA PENYIDIK, karena para penyidiknya BERASAL dari penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran, Personel Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, dan Personel Kepolisian.

Artinya lagi bahwa UU 32/2014 tentang Kelautan ini TIDAK MEMILIKI ATURAN ATAU KETENTUAN PIDANA YANG MELARANG ATAU MEWAJIBKAN aturan-aturan yang perlu diawasi oleh penyidiknya. Karena tidak punya aturan yang harus ditegakkan, atau diawasi maka TIDAK DIPERLUKAN PENYIDIK. Akan terapi tetap saja mau mengatur bahwa penyidiknya berasal dari PPNS instansi lain, Polri dan TNI AL.

Penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran adalah PPNS HUBLA yang bertanggung jawab langsung kepada Dirjen Hubla untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana pelayaran sebagaimana yang diatur pada pasal 284-345 UU 17/2008 tentang Pelayaran. Ditjen Hubla adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung untuk menegakan aturan baik itu larangan atau kewajiban yang diatur oleh UU 17/2008 tentang Pelayaran.

Penyidik Polri bertanggung jawab langsung kepada Kapolri untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana yang diatur oleh KUHP.

Penyidik Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut bertanggung jawab langsung hanya kepada KSAL atas tindak pidana yang diatur oleh UU 34/2004 tentang TNI.

Dengan demikian para penyidik itu tidak dapat bekerja untuk Bakamla.

2. Pasal 72A UU 32/2014 tentang Kelautan diusulkan berbunyi sebagai berikut :

Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan Pasal 1 angka 59, Pasal 276, Pasal 277, Pasal 278, Pasal 279, Pasal 280, Pasal 281, dan Pasal 283 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2OO8 tentang Pelayaran (l,embaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 1 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dan peraturan pelaksanaannya, dicabut dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 283 UU 17/2008 tentang Pelayaran adalah kewenangan dari PPNS Hubla untuk memeriksa tindak pidana Pelayaran atau memeriksa pelanggaran atas aturan yang diatur oleh UU 17/2008 tentang Pelayaran. Kalau pasal ini dicabut, artinya Penyidik PPNS tidak lagi punya kewenangan untuk memeriksa dan menegakan aturan Pelayaran, artinya Ditjen Hubla bubar, dunia Pelayaran tidak punya lagi aturan yang harus dipatuhi.

Selanjutnya pasal 72 B berbunyi :

Tugas, fungsi dan kewenangan lembaga Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) dan Kesatuan Peniagaan Laut dan Pantai dialihkan.

Pasal 64 ayat (1a) dan (1b) UU 13/ 2022 tentang Perubahan kedua atas UU 12/ 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan berbunyi :

(1a) Penyusunan rancangan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat menggunakan metode omnibus.

(1b) Metode omnibus sebagaimana dimaksuud pada ayat (1a) merupakan metode penJrusunan Peraturan Perundang-undangan dengan:

a. memuat materi muatan baru;

b. mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai Peraturan Perundang- undangan yang jenis dan hierarkinya sama; dan/atau

c. mencabut Peraturan Perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama,dengan menggabungkannya ke dalam satu Peraturan Pemndang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu.

Mengalir dari Pasal 64 ayat (1a) dan 1b) UU 13/ 2022 tentang Perubahan kedua atas UU 12/ 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sangat jelas mengatur bahwa untuk menghapus, mengubah materi dan menggabungkannya menjadi satu itu haruslah sejenis dan memiliki keterkaitan.

Ketentuan Pasal 1 angka 59, Pasal 276, Pasal 277, Pasal 278, Pasal 279, Pasal 280, Pasal 281, dan Pasal 283 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2OO8 tentang Pelayaran (l,embaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 1 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) semuanya mengatur tentang kapal, Pelabuhan, Keselamatan dan keamanan Berta Perlindungan lingkungan maritim yang diatur Oleh UU 17/2008 tentang Pelayaran. Sedangkan UU 32/2014 tentang Kelautan itu hanya mengatur tentang Permukaan Laut, Kolom Air, dasar laut dan Tanah dibawanya saja. Ini sebagai bukti bahwa tidak ada kaitannya antara UU 32/2014 tentang Kelautan dan UU 17/2008 tentang Pelayaran.

Jadi revisi UU 32/2014 tentang Kelautan itu malah menghasilkan masalah baru, karena pelanggaran atas aturan yang menyangkut kapal tidak ada yang mengurusnya, sehingga kapal yang berlayar bisa berlayar sesuka hati sehingga sangat rawan terjadinya kecelakaan seperti tabrakan kapal yang dapat merusak lingkungan.

3. Kalau hanya untuk membentuk Sea and Coast Guard tak perlu harus merevisi undang-undang UU 32/2014 tentang Kelautan, tetapi gunakan saja UU no. 17/2008 tentang Pelayaran sebagai dasar hukumnya.

Mengapa mesti UU 17/2008 yang harus dijadikan dasar hukum nya, karena UU yang dibuat untuk membentuk Coast Guard adalah UU 17/ 2008 tentang Pelayaran. Dan hal itu dapat ditemukan pada paragraf 14 Penjelasan UU 17/2008.

Revisi kali ini menjadi sangat luar biasa, karena tidak hanya merevisi UU 32/2014 tentang kelautan saja, tetapi juga membatalkan beberapa pasal yang ada pada UU 17/2008 tentang Pelayaran, lalu kemudian pasal itu dimasukan kedalam UU 32/2014 yang akan dilaksanakan oleh Bakamla.

Selanjutnya bila jika pasal 278 UU 17/2008 tentang Pelayaran itu tidak berlaku, maka Hubla akan runtuh. Pasal 278 UU 17/2008 tentang Pelayaran ini memberikan status PPPNS bagi ASN Hubla agar berwenang untuk memeriksa, memberhentikan dan menyidik pelanggaran pidana pelayaran yang diatur pada pasal 116 UU 17/2008.

Nah bila pasal ini tidak berlaku, maka ASN Kemhub dhi Dirjen Hubla tidak berwenang lagi menyidik semua pelanggaran terhadap pasal tindak pidana yang ada di dalam UU 17/2008 tentang Pelayaran. Kalau begitu untuk apa ada Ditjen Hubla ?. Pencabutan pasal 278 UU 17/2008 ini pada dasarnya sama saja dengan membubarkan Ditjen Hubla.

Perlu diketahui, juga bahwa pejabat tertinggi dalam UU 32/2014 tentang Kelautan, yang melaksanakan amanat UU adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, bukan Kepala Bakamla. Sehingga kepala Bakamla tak memiliki kewenangan untuk mengangkat penyidik, apalagi untuk melakukan penyidikan pidana sebagaimana terjadi pada pelanggaran UU 17/2008 tentang Pelayaran. Sedangkan pejabat tertinggi UU 17/2008 tentang Pelayaran adalah Mentri Perhubungan.

4. Pasal 17 UUD 1945.

Pasal 17/UUD 1945 selengkapnya berbunyi

(1) Presiden dibantu oleh Menteri-menteri Negara.

(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

(3) Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan.

Menteri Perhubungan memimpin Kementrian Perhubungan untuk menegakan aturan yang diatur oleh UU 17/2008 tentang Pelayaran, sedangkan Menteri Kelautan dan Perikanan memimpin Kementrian Kelautan dan Perikanan untuk menegakan aturan yang diatur oleh UU 32/2014 tentang Kelautan.

Oleh karena itu maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Bahwa revisi UU 32/2014 tentang Kelautan itu bertentangan dengan kompetensi absolut UUD 1945

2. Bahwa revisi UU 32/2014 tentang Kelautan itu bertentangan dengan UU kompetensi absolut UUD 1945

3. Bahwa mengalir dari Pasal 64 ayat (1a) dan 1b) UU 13/ 2022 tentang Perubahan kedua atas UU 12/ 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan bahwa penggabungan kedua UU itu bertentangan dengan kompetensi Menteri Perhubungan yang memimpin Kementrian Perhubungan untuk menegakan aturan yang diatur oleh UU 17/2008 tentang Pelayaran, dan juga bertentangan dengan kompetensi Menteri Kelautan dan Perikanan yang memimpin Kementrian Kelautan dan Perikanan untuk menegakan aturan yang diatur oleh UU 32/2014 tentang Kelautan.

4. Bila proses revisi ini dibiarkan, maka Direktorat Perhubungan Laut terancam mengalami keruntuhan.

*Penulis Laksada TNI (Purn) Soleman B. Ponto. ST, SH, Kabais TNI 2011-2013

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru