JAKARTA- Untuk mengatasi praktik-praktik menyimpang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus permohonan pengujian undang-undang. SETARA Institute merekomendasikan agar Presiden, DPR, dan Mahkamah Konstitusi membangun konsensus ketatanegaraan yang holistik dalam rangka memperkuat kelembagaan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi yang kredibel dan berintegritas. Hal ini disampaikan Ketua Setara Insitute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (19/8)
“Praktik menyimpang oleh Mahkamah Konstitusi masih ditemukannya putusan ultra petita dan cukup signifikannya jumlah norma baru (tergolong ultra vires),” demikian Hendardi.
Menurutnya, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi menunjukkan inkonsistensi dalam menguji norma-norma yang menunjuk isu konstitusional sama. Hal ini menyebabkan kesulitan membaca arah politik hukum model apa yang sesungguhnya sedang dicetak oleh MK.
“Dalam memutus Undang-Undang Grasi misalnya, MK berbeda pandangan ketika memutuskan kebolehan PK (Peninjauan Kembali) berkali-kali. Padahal keduanya merupakan instrumen yang bisa diakses oleh seorang terpidana,” ujarnya
Sebelumnya, dalam laporan atas Kinerja Mahkamah Konstitusi 2015-2016,
SETARA Institute merekomendasikan agar MK tidak dibenarkan menguji Undang-Undang yang mengatur dirinya sendiri. Karena setiap upaya penataan terhadap MK selalu dibatalkan sendiri oleh MK.
“MK jangan menjadi lembaga yang sangat superior dalam konteks menjaga, memperluas, atau bahkan mengurangi kewenangannya sesuka hati,” ujar Inggrit Ifani, Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute.
Untuk itu menurutnya Presiden dan DPR seharusnya merumuskan ketentuan khusus mengenai kewenangan MK mengadili norma-norma terkait dengan dirinya sendiri.
“Agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan yang menguntungkan kelembagaan MK semata namun tetap berpedoman bahwa MK sebagai lembaga yang berfungsi memulihkan hak konstitusional warga negara,– harus tetap terjamin pelaksanaan fungsinya sesuai dengan fungsi kekuasaan kehakiman,” ujarnya.
Dalam isu pemberantasan korupsi, konservatisme MK begitu tampak dengan melarang Jaksa untuk melakukan PK atas putusan bebas. Padahal langkah PK yang diajukan oleh Jaksa adalah bagian dari kontrol terhadap sistem peradilan yang kemungkinkan korup, sehingga membebaskan seorang terdakwa.
“Putusan MK ini tidak berkontribusi pada pemajuan pemberantasan korupsi. MK juga memutus kesempatan Jaksa untuk mewakili aspirasi publik yang kecewa atas sebuah putusan pengadilan yang membebaskan seorang terdakwa korupsi,” jelasnya.
Ultra Petita
Dalam laporan risetnya, SETARA Institute masih menemukan putusan ultra petita. Yakni satu putusan, Putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 memohonkan uji materi Undang-Undang 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam petitum para pemohon meminta Pasal 245 Undang-Undang a quo bertentangan dengan Konstitusi dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Inggrit Ifani menyatakan bahwa pada dasarnya, undang-undang telah menentukan larangan praktik ultra petita oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, Mahkamah Konstitusi yang melakukan pengujian terhadap undang-undang yang mengatur lembaganya sendiri menentukan ketentuan ini tidak konstitusional. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa tidak ada larangan praktik ultra petita bagi Mahkamah Konstitusi.
“Namun, hal ini merupakan preseden yang buruk untuk menjamin kepastian hukum kedepan dan berpotensi menimbulkan abuse of power,” jelasnya.
Mahkamah Konstitusi juga dalam Putusan Nomor 48/PUU-IX/2011 telah menyatakan norma yang melarang MK membuat norma baru inkonstitusional. Namun Dalam sebuah putusan Nomor 84/PUU-XIII/2015 MK menegaskan bahwa “Mahkamah tidak boleh bertindak sebagai pembentuk Undang-Undang yang merumuskan suatu ketentuan atau norma hukum yang dari sebelumnya tidak ada menjadi ada (positive legislature). Fungsi MK sebagai penjaga UUD adalah memastikan bahwa Undang-Undang yang dibentuk pembentuk tidak melanggar UUD, dan tidak merancang Undang-Undang yang sesuai dengan UUD”.
“Namun Mahkamah Konstitusi masih menghasilkan norma baru dalam putusannya. Terdapat sebanyak 9 norma baru dalam 4 putusan dari 19 putusan Kabul,” paparnya. (ZKA Warouw)