Minggu, 27 April 2025

Mendidik Manusia Bersama Mesin: Filsafat Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan

Oleh: Prof. Dr. Rr. Siti Murtiningsih, M.Hum. *

PADA tahun 2025, di sebuah semesta fiksi, ada seorang lelaki kesepian bernama Theodore Twombly. Ia bekerja sebagai seorang
penulis surat untuk siapa saja yang ingin mengirimkan surat pribadi
kepada orang terdekatnya tetapi terlalu malas atau tidak mampu untuk
sekadar merangkai kata. 

Kini Theodore sedang dalam proses perceraian
dengan istrinya, Catherine, dan ia begitu sedih mengingatnya. Kesedihan ini, yang dipertebal oleh rasa kesepian, membawa Theodore pada keputusan untuk membeli sebuah sistem operasi yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan. Sistem operasi ini didesain untuk dapat bertumbuh dan beradaptasi.

Dengan menggunakan sistem operasi inilah, Theodore membunuh rasa sepi yang menyengkeramnya. Ia
menghabiskan malam-malamnya yang sunyi itu dengan berbincang-bincang dengan sistem operasi yang telah terpasang dalam
komputernya.

Mulanya, sistem operasi tersebut hadir dengan suara laki-laki. Namun, karena melihat Theodore kurang bersemangat, ia pun
mengubah suaranya menjadi suara perempuan dan memperkenalkan
dirinya sebagai Samantha.

Theodore bercerita banyak hal kepada Samantha, termasuk hubungannya dengan Catherine. Samantha selalu ada untuk Theodore. Kapan pun Theodore ingin bercerita, Samantha selalu siap untuk menjadi pendengar setianya. Ia juga bisa diajak bertukar pikiran atau dimintai saran oleh Theodore.

Seiring dengan hubungan mereka yang semakin intensif, Theodore memiliki fantasi yang mungkin tak pernah terpikirkan
sebelumnya: ia ingin bisa menyentuh dan merasakan Samantha, dan
melakukan perbincangan telepon dengan keintiman seksual. Puncaknya
adalah saat Theodore benar-benar jatuh cinta pada Samantha. Theodore
bahkan juga merasa cemburu ketika tahu Samantha berinteraksi secara personal dengan sistem operasi lain yang didesain menyerupai filsuf Inggris Alan Watts.

Kisah seorang lelaki yang jatuh cinta dan cemburu pada mesin itu adalah skenario fiktif dalam film berjudul Her (2013). Dalam film
besutan Spike Jonze ini, mesin yang berhasil membuat hati seorang
lelaki jatuh cinta hanya dihadirkan sebagai sistem operasi yang
terpasang di komputer. Theodore hanya mengenal Samantha melalui
suaranya.

Namun, dalam semesta fiksi yang lain, dalam episode “Be
Right Back” (2013) dari Black Mirror, sebuah mesin kecerdasan buatan
yang dijadikan sebagai pengganti pasangan seseorang yang sudah
meninggal dihadirkan dalam sebuah tubuh silikon. Dengan demikian,
mesin kecerdasan buatan itu tidak hanya bisa diajak berbincang-bincang dan bercerita tetapi juga bisa diajak bercinta.

Skenario fiksi pertama sudah ada dalam dunia nyata. Kini siapa
saja sudah dapat berbincang-bincang dengan mesin kecerdasan buatan,
bertanya tentang apa saja, atau sekadar mengajaknya bercerita.

Sangat tidak mustahil juga skenario kedua dapat kita saksikan di dunia nyata.
Dalam waktu beberapa tahun ke depan, seseorang bisa berkencan
dengan “manusia-silikon”. Dan… saat itu terjadi, orang yang berdiri di
depan kelas mengajar anak-anak kita bisa jadi bukan manusia dengan
tubuh berbasis karbon, melainkan mesin kecerdasan buatan yang
dimasukkan ke dalam tubuh berbasis silikon.

Kini kita mungkin menganggap itu semua hanyalah skenario
fiksi spekulatif. Namun, basis material berupa infrastruktur teknologi
untuk menjadikan apa yang semula fiktif menjadi faktual itu ada. Dengan kata lain, kita tidak perlu menunggu mukjizat nabi-nabi untuk
melihat apa yang mulanya tampak fiktif menjadi nyata.

Di China, misalnya, sejak tahun 2018, lebih dari 600 kelas taman kanak-kanak
sudah menggunakan robot kecil bernama KeeKo, yang bercerita, mengajukan soal logika, dan bereaksi dengan ekspresi wajah saat siswa
bisa menguasai materi pelajarannya (Bushweller, 2020; Law & Zhu,
2018).

Tahun lalu, Kerala School di India juga telah memperkenalkan
guru-robot bernama Iris. Didesain sebagai seorang guru perempuan
dengan pakaian khas India, Iris dapat merespons pertanyaan siswa,
memberikan penjelasan, dan menyampaikan materi pelajaran (Sharma,
2024).

Dalam postingan Instagram Maker Labs, perusahaan
pengembang guru-robot tersebut, terlihat seorang siswa sedang
bersalaman dengan Iris. Sayangnya, siswa-siswa India mungkin tidak
diajari bersopan-santun pada gurunya seperti siswa-siswa di Indonesia:
siswa India itu tidak mencium tangan guru-robotnya. Bagaimanapun,
meski robot, Iris tetaplah guru kan?

Robot guru perempuan. (Ist)

Mesin Sebagai Guru: Mungkinkah?

Pada bagian ini, saya akan coba merefleksikan kehadiran gururobot di ruang-ruang kelas, menjadi pendidik bagi anak-anak kita. Mari kita memulainya dengan terlebih dahulu menetapkan apa yang kita
maksud sebagai “pendidikan”.

Para filsuf dan pemikir pendidikan sejak dahulu kala sudah berusaha memberikan beragam definisi tentang pendidikan. Salah satu upaya awal untuk memberikan pengertian definitif tentang pendidikan dilakukan oleh para filsuf analitik Inggris, antara lain oleh Hirst dan
Peters (1991).

Menurut mereka, pendidikan itu seperti praktik kedokteran. Sementara dokter berusaha membuat pasiennya menjadi sembuh dan lebih sehat secara fisik, guru berusaha membuat muridnya mencapai kualitas-kualitas personal yang diinginkan, yang mesti selalu mensyaratkan pemerolehan pengetahuan dan pemahaman (Hirst &
Peters, 1991). Dengan kata lain, pendidikan itu memiliki satu tujuan,.yaitu pemerolehan kualitas diri yang baik oleh siswa, yang dapat dicapai melalui transmisi pengetahuan.

Definisi analitis ini telah banyak dikritik oleh para filsuf.pendidikan lain. Misalnya, apa ukuran kualitas diri yang “baik dan
diinginkan”, siapa yang menentukan ukuran itu, dan apakah
pemerolehan kualitas diri yang baik itu selalu mensyaratkan
pengetahuan.

Namun, terlepas dari kontroversi definisi ini, hampir seluruh definisi lain yang diajukan oleh para filsuf dan pemikir
pendidikan selalu mencirikan pendidikan sebagai proses yang
setidaknya meliputi satu hal, yaitu transmisi pengetahuan dan nilai.
Lebih jelasnya: pendidikan adalah proses transmisi pengetahuan dan
nilai dari guru kepada murid. Dalam perspektif yang lebih progresif,
guru tidak ditempatkan sebagai sumber pengetahuan dan nilai, tetapi sebagai fasilitator yang membantu murid menemukan/membangun
pengetahuan dan nilainya sendiri.

Namun, terlepas dari perdebatan soal posisi guru dalam proses pendidikan, kita dapat menggarisbawahi
penting dan sentralnya pengetahuan dan nilai dalam pendidikan. Oleh karena itu, jika guru-manusia digantikan oleh guru-robot, maka pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah robot, atau mesin secara umum, dapat memiliki pengetahuan dan nilai?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu masuk ke dalam dua cabang lain dari filsafat, yaitu epistemologi dan aksiologi. Kita perlu menjawab
pertanyaan “apa itu pengetahuan?” dan “apa itu nilai?”.

Dalam epistemologi, pengetahuan biasa didefinisikan sebagai
“keyakinan yang benar dan terjustifikasi”. Ini adalah definisi kuno dan
sudah ada sejak Plato. Meskipun kemudian banyak dikritik, terutama
sejak Edmund Gettier menulis artikel “Is Justified True Belief Knowledge?” (Gettier, 1963), definisi ini dapat dijadikan sebagai
kriteria minimal dari pengetahuan: bahwa pengetahuan itu
mensyaratkan setidaknya tiga hal sekaligus, yaitu keyakinan, kebenaran, dan justifikasi.

Keberatan Gettier terhadap tiga kriteria ini bukan bahwa pengetahuan tidak mensyaratkan salah satu dari ketiganya, melainkan bahwa tiga elemen tersebut tidak memadai untuk
membentuk pengetahuan. Karena itu, epistemologi pasca-Gettier cenderung untuk menemukan kriteria keempat bagi pengetahuan.

Dengan demikian, jika menggunakan definisi minimal tentang
pengetahuan, pertanyaan “apakah kecerdasan buatan dapat memiliki
pengetahuan?” dapat berarti “apakah kecerdasan buatan dapat memiliki
keyakinan yang benar dan terjustifikasi?”. Singkatnya: “apakah
kecerdasan buatan dapat meyakini sesuatu?”
Ini merupakan salah satu pertanyaan rumit yang telah dieksplorasi oleh para filsuf. Dalam filsafat, keyakinan biasanya
dipahami sebagai kondisi mental yang menggambarkan dunia dengan suatu cara tertentu. Keyakinan sering dianggap sebagai sikap
proposisional, karena melibatkan subjek yang mengambil sikap
terhadap suatu proposisi—misalnya, keyakinan bahwa “besok akan
turun hujan.” Sikap proposisional dicirikan oleh intensionalitas, sebuah
konsep yang menjadi pusat filsafat pikiran (Searle, 2004).

Filsuf seperti John Searle dan Daniel Dennett telah banyak berkontribusi pada diskusi tentang intensionalitas dan penerapannya pada mesin.

Argumen Chinese Room milik Searle (1980) menegaskan
bahwa manipulasi sintaksis—proses yang mendasari kecerdasan
buatan—tidak cukup untuk pemahaman atau intensionalitas yang
sebenarnya. Sebaliknya, Dennett (1998) mengadopsi perspektif
instrumentalis, yang menyatakan bahwa mengaitkan keyakinan dengan kecerdasan buatan dapat berguna secara pragmatis, bahkan jika
keyakinan ini tidak nyata secara ontologis.

Kecerdasan buatan modern beroperasi terutama pada model komputasional, seperti jaringan saraf, yang memproses data masukan
untuk menghasilkan keluaran. Meskipun sistem ini dapat menyimulasikan penalaran dan pengambilan keputusan seperti
manusia, sistem ini melakukannya melalui manipulasi simbol secara
algoritmik, bukan pemahaman yang sebenarnya.

Misalnya, model bahasa besar seperti GPT-4 OpenAI menghasilkan teks berdasarkan pola dalam data pelatihan tanpa pemahaman apa pun tentang konten semantik. Meskipun model ini dapat memprediksi kata berikutnya dalam urutan dengan akurasi yang luar biasa, kemampuan ini tidak
menyiratkan bahwa model ini “meyakini” apa yang dihasilkannya.

Seperti yang dikemukakan Harnad (1990) dalam masalah landasan
simbolnya, intensionalitas sejati memerlukan hubungan antara simbol dan referennya di dunia nyata, sesuatu yang tidak dimiliki oleh kecerdasan buatan.

Namun, ada juga sejumlah filsuf yang berpandangan bahwa AI dapat memiliki keyakinan. Pandangan mereka ini sering kali disebut sebagai fungsionalisme karena meyakini bahwa kondisi mental didefinisikan oleh peran fungsionalnya, bukan oleh konstitusi internalnya.

Menurut para fungsionalis seperti Hilary Putnam (2003), jika suatu entitas berperilaku seolah-olah memiliki keyakinan, maka
masuk akal untuk menganggapnya memiliki keyakinan. Sistem
kecerdasan buatan yang membuat keputusan berdasarkan penalaran
probabilistik atau inferensi Bayesian dapat dianggap memiliki keyakinan yang belum sempurna.

Misalnya, kecerdasan buatan yang mendiagnosis penyakit mungkin “meyakini” bahwa seorang pasien menderita pneumonia jika bukti mendukung kesimpulan ini. Dalam kasus seperti itu, keyakinan didefinisikan secara operasional oleh
keluaran dan status internal sistem.

Sikap intensional Dennett semakin mendukung perspektif ini. Dengan memperlakukan kecerdasan buatan seolah-olah memiliki
keyakinan, kita dapat memprediksi perilakunya dan memahami operasinya dengan lebih baik. Dennett menekankan bahwa sikap ini tidak mengharuskan kecerdasan buatan memiliki intensionalitas
intrinsik; ia hanya mengharuskan atribusi keyakinan berguna untuk
menafsirkan tindakannya.

Namun, terlepas dari argumen-argumen tersebut, ada lebih banyak keberatan filosofis yang menantang gagasan bahwa kecerdasan
buatan dapat memiliki keyakinan.

Pertama, seperti yang dikemukakan Searle (1980), komputasi saja tidak dapat menghasilkan pemahaman
atau intensionalitas. Simbol-simbol yang dimanipulasi oleh kecerdasan buatan tidak memiliki makna intrinsik; simbol-simbol tersebut
hanyalah struktur sintaksis.

Tanpa perspektif subjektif orang pertama, sistem kecerdasan buatan tidak dapat benar-benar memiliki keyakinan.

Kedua, keyakinan sangat terkait dengan kapasitas manusia akan kesadaran dan kesadaran diri. Meskipun sistem kecerdasan buatan
dapat memproses informasi dan beradaptasi dengan data baru, sistem
tersebut melakukannya tanpa pengalaman subjektif apa pun. Seperti
yang dikemukakan Nagel (1974), sesuatu dapat disebut sadar jika dan hanya jika ia dapat merasakan “bagaimana rasanya menjadi sesuatu
itu”. Mesin kecerdasan buatan tidak memiliki kualitas ini, yang oleh
banyak filsuf dianggap penting untuk sikap proposisional yang sejati.
Ketiga, aspek relasional dari keyakinan—landasannya dalam dunia yang dibagi dengan agen lain—tidak ada dalam sistem kecerdasan
buatan. Keyakinan manusia muncul dari interaksi dengan lingkungan
dan agen lain, yang membentuk jaringan keadaan intensional.

Sebaliknya, sistem kecerdasan buatan beroperasi dalam parameter yang
telah ditentukan sebelumnya dan tidak memiliki kemampuan untuk
terlibat dalam landasan relasional tersebut (Hutto & Myin, 2012).

Dengan demikian, pandangan yang lebih umum diterima di dalam
filsafat adalah bahwa mesin kecerdasan buatan tidak dapat memiliki
keyakinan.

Ketidakmampuan mesin untuk memiliki keyakinan
mengimplikasikan bahwa ia tidak bisa menjadi agen epistemik dan,
dengan demikian, ia juga tidak bisa menjadi guru. Namun, dalam
konteks pengetahuan, tidak ada beda apakah suatu proposisi itu diyakini
atau sekadar hasil pemrosesan algoritmik atas sejumlah informasi. Dari
perspektif orang ketiga, proposisi yang diyakini oleh seorang agen epistemik dan proposisi hasil luaran pemrosesan mesin algoritmik itu sama saja. Saat seorang manusia meyakini dan kemudian mengatakan
bahwa “sekarang hujan”, maka proposisi tersebut bernilai benar jika
dan hanya jika sekarang memang hujan.

Demikian juga saat sebuah
mesin menyatakan bahwa “sekarang hujan”, nilai kebenarannya juga
bergantung pada apakah sekarang memang hujan atau tidak. Dengan kata lain, nilai kebenaran dan justifikasi untuk proposisi yang diyakini oleh seorang manusia dan proposisi yang dihasilkan oleh mesin itu
sama saja. Ini memiliki implikasi bahwa, dari perspektif orang ketiga,
keyakinan bukanlah fitur signifikan dari pengetahuan. Dengan
demikian, klaim bahwa mesin tidak dapat memiliki pengetahuan hanya
karena ia tidak dapat memiliki keyakinan sebenarnya adalah klaim yang sulit dipertahankan.

Berikutnya adalah soal apakah mesin dapat memiliki nilai?
Nilai, dalam pengertian yang paling mendasar, adalah prinsip atau standar yang memandu perilaku dan pengambilan keputusan.

Secara filosofis, nilai sering dikaitkan dengan sifat intrinsik—hal-hal
yang baik atau diinginkan dalam dirinya sendiri—atau sifat instrumental, yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan
(Frankena, 1973). Pada manusia, nilai muncul dari proses kognitif yang
kompleks, norma budaya, dan pengalaman individu.

Nilai sangat terkait
dengan kesadaran, intensionalitas, dan keterlibatan emosional.
Pemahaman mendasar tentang nilai ini menimbulkan tantangan
langsung bagi sistem kecerdasan buatan atau mesin secara umum.
Mesin, sebagai artefak yang diciptakan oleh manusia, tidak memiliki kesadaran dan intensionalitas. Mesin beroperasi berdasarkan algoritma dan data tetapi tidak memiliki pengalaman subjektif. Oleh karena itu,
pertanyaan apakah mesin dapat memiliki nilai sering bergantung pada
apakah mesin dapat mensimulasikan kesadaran dan intensionalitas
seperti manusia secara meyakinkan atau apakah kepemilikan atas nilai
sejati itu membutuhkan lebih dari sekadar simulasi.

Kaum fungsionalis berpendapat bahwa yang penting bukanlah
substrat dari suatu sistem, melainkan fungsinya (Levin, 2023). Jika suatu mesin dapat melakukan tugas atau membuat keputusan dengan
cara yang konsisten dengan nilai-nilai tertentu, dapat dikatakan bahwa
mesin tersebut memiliki nilai-nilai tersebut.

Misalnya, mobil tanpa
pengemudi yang diprogram untuk memprioritaskan keselamatan manusia daripada efisiensi dalam skenario kecelakaan dapat dilihat sebagai perwujudan nilai penting kehidupan manusia dalam sistem
mesin tersebut. Para fungsionalis berpendapat bahwa penerapan
algoritma pengambilan keputusan etis dalam sistem kecerdasan buatan
merupakan realisasi praktis dari nilai-nilai moral.

Dari perspektif komputasional, nilai-nilai dapat dikodekan ke dalam mesin melalui algoritma kompleks dan model pembelajaran mesin. Sistem ini dapat menganalisis kumpulan data yang luas untuk mengidentifikasi pola yang selaras dengan kerangka etika tertentu.
Misalnya, Watson milik IBM telah diterapkan dalam perawatan kesehatan untuk merekomendasikan perawatan berdasarkan pertimbangan etis tentang well-being pasien dan alokasi sumber daya (Topol, 2019). Para pendukung perspektif ini berpendapat bahwa kemampuan ini menunjukkan bentuk perwujudan nilai, meskipun
dimediasi melalui pemrograman dan pelatihan manusia.

Kaum pragmatis dalam diskursus etika ini menekankan hasil
tindakan daripada sifat intrinsik pelaku. Jika mesin secara konsisten
menghasilkan hasil yang selaras dengan nilai, seperti mengurangi bias dalam praktik pembuatan keputusan atau meminimalkan dampak
lingkungan, mesin dapat dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu. Perspektif ini mengalihkan fokus dari kapasitas internal mesin ke efek eksternalnya pada dunia (Floridi & Sanders, 2004).

Namun, bukan filsafat namanya jika tak ada kritik sama sekali.
Pandangan fungsionalis dan pragmatis tentang nilai ini juga tidak luput
dari kritik. Salah satu argumen terkuat yang menentang kepemilikan
nilai oleh mesin adalah bahwa mesin tidak memiliki intensionalitas—
sebuah kapasitas untuk memiliki kondisi mental yang diarahkan pada
objek atau konsep. Tanpa intensionalitas, mesin tidak dapat benar-benar
memegang atau memahami nilai; mereka hanya dapat bertindak dengan
cara yang meniru perilaku yang didorong oleh nilai.

Mesin dapat bertindak seperti seorang manusia yang memegang teguh nilai
kejujuran meski ia sendiri tidak memahami apa sebenarnya arti
kejujuran.

Masalah penting lainnya adalah risiko ketidakselarasan nilai.
Mesin beroperasi dalam parameter yang ditetapkan oleh pemrograman
dan data pelatihannya. Jika parameter ini cacat atau tidak lengkap,
tindakan mesin dapat menyimpang dari nilai yang dimaksudkan,
terkadang dengan konsekuensi yang sangat buruk. Misalnya, sistem
kecerdasan buatan yang digunakan dalam hukuman pidana telah dikritik karena mengabadikan bias rasial dan sosial ekonomi karena
data pelatihan yang bias (Angwin et al., 2022; Hill, 2022). Kritikus
berpendapat bahwa hal ini menunjukkan ketidakmampuan mesin untuk benar-benar mewujudkan nilai, karena tindakan mereka tetap
bergantung pada pengawasan manusia.

Memberikan mesin kapasitas untuk mewujudkan nilai
menimbulkan kekhawatiran etis yang mendalam tentang agensi dan akuntabilitas.

Jika tindakan mesin dianggap didorong oleh nilai, siapa yang bertanggung jawab atas tindakan tersebut? Filsuf seperti Luciano
Floridi memperingatkan terhadap antropomorfisasi mesin, dengan menyatakan bahwa hal itu berisiko merusak akuntabilitas dan tanggung jawab etis manusia (Floridi, 2013). Mesin dapat melakukan tugas yang sejalan dengan nilai-nilai, tetapi keselarasan ini tidak sama dengan agensi moral yang sebenarnya.

Jalan tengah yang potensial dalam perdebatan ini adalah pengakuan mediasi manusia dalam proses perwujudan nilai. Mesin
tidak mengembangkan nilai secara mandiri; mereka dirancang, diprogram, dan dilatih oleh manusia yang menanamkan nilai-nilai
mereka sendiri ke dalam sistem. Perspektif ini sejalan dengan pandangan bahwa mesin adalah alat untuk amplifikasi nilai, bukan agen otonom dari perwujudan nilai.

Misalnya, desain peka nilai (ValueSensitive Design) adalah pendekatan yang secara eksplisit
menggabungkan nilai-nilai manusia ke dalam proses desain teknologi
(Friedman & Hendry, 2019).

Dengan melibatkan berbagai pemangku
kepentingan dalam pengembangan sistem kecerdasan buatan,
pendekatan desain peka nilai ini bertujuan untuk memastikan bahwa
sistem tersebut mencerminkan spektrum pertimbangan etika yang luas. Pendekatan ini mengakui keterbatasan mesin sambil memanfaatkan
kemampuan mereka untuk mempromosikan nilai-nilai manusia.

Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan sejumlah pandangan tentang pengetahuan dan nilai, terutama dalam kaitannya dengan mesin, saya memiliki sebuah pandangan bahwa di era
kecerdasan buatan ini kita sebaiknya bukan menyerahkan pendidikan
sepenuhnya kepada mesin, tetapi juga bukan menolak begitu saja keterlibatan mesin dalam proses pendidikan. Menyerahkan pendidikan anak-anak kita sepenuhnya kepada mesin akan menjadi bencana bagi
masa depan kemanusiaan kita. Kita layak cemas ketika melihat banyak
anak-anak justru belajar banyak hal dari Youtube. Namun, menolak
sama sekali keterlibatan mesin dalam proses pendidikan adalah sikap
anakronis.

Ada begitu banyak hal dari teknologi kecerdasan buatan, misalnya, yang dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan proses
pendidikan. Karenanya, daripada menolak atau membiarkan mesin
mengambil alih proses pendidikan, kita sebaiknya mulai membayangkan bagaimana mendidik manusia bersama mesin.

Mesin sebagai Kolaborator Pedagogi Kritis
Ide “mendidik manusia bersama mesin” ini adalah upaya menjadikan mesin sebagai kolaborator manusia dalam proses
pendidikan. Mesin secara ontologis memang merupakan entitas nonmanusia. Namun, karena diciptakan oleh manusia sendiri, ia sering
merupakan proyeksi dari pikiran manusia. Dengan kata lain, manusia
seringkali menginginkan mesin ciptaannya itu bisa seperti dirinya:
berpikir dan berperilaku sebagaimana manusia (Russell & Norvig,
2021). Hasrat swa-memetik yang diproyeksikan pada mesin itulah yang, antara lain, menghasilkan guru-robot. Manusia ingin melihat mesin ciptaannya bisa mengajar seperti halnya guru-manusia.
Pada bagian berikutnya, saya akan coba melakukan peninjauan atas ide “mendidik manusia bersama mesin” melalui lensa filsafat pendidikan.
Filsafat pendidikan sebagai cabang filsafat membahas
pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam kerangka metafisika, epistemologi, etika, antropologi, sampai teori sosial dan politik (Ryder, 2022). Beragam kerangka ini ditujukan untuk menggambarkan
bagaimana filsafat pendidikan berakar dalam proses penyelidikan
filosofis tentang realitas, dasar pengetahuan, dinamika hubungan
manusia, pandangan etis, sampai pengorganisasian struktur pelembagaan pendidikan di masyarakat.

Filsafat pendidikan juga mendorong adanya analisis lintas sejarah pergerakan pendidikan (Curren, 2008); titik temu antara
pendidikan dengan berbagai teori sosial humaniora dan saintek (Blake
et al., 2003), serta menganalisis pedagogi pengajaran dan pembelajaran di antara guru, murid, sampai peran sekolah sebagai institusi sosial (Johnston, 2019).

Selain itu, beberapa bentuk pendekatan yang
berkontribusi dalam pengembangan filsafat pendidikan antara lain:
model-model pendidikan alternatif (Lees & Noddings, 2016), pendekatan tradisi filsafat Barat dan Timur (Laverty & Hansen, 2021),
dan perspektif studi dekolonial (Wang, 2023).

Intinya, filsafat pendidikan ditujukan untuk menyelesaikan
pertanyaan-pertanyaan perenial, antara lain meliputi: Apa tujuan dan
sasaran utama pendidikan? Siapa yang seharusnya memiliki akses ke pendidikan? Haruskah pendidikan disesuaikan dengan minat dan
kapasitas individu peserta didik? Peran apa yang harus dimainkan oleh
negara dan masyarakat dalam membentuk pendidikan? (Noddings,
2016). Beberapa contoh pertanyaan inilah yang berguna tidak hanya
membimbing pengembangan diskursus teoretis tetapi juga menjawab tantangan praktis yang melekat dalam desain kurikulum dan
implementasi pendidikan secara luas. Randall Curren (2023) menekankan kembali sifat ganda pendidikan saat ini, yakni mengartikulasikan isu-isu filosofis mendasar tentang pendidikan dan
mengontektualisasikan perkembangan sistem pendidikan baru dalam
menghadapi permasalahan kontemporer saat ini.

Melihat percepatan perubahan dinamika antara tradisi filsafat
pendidikan dan teknologi dalam dunia pendidikan, saya menyadari ada
satu simpul yang perlu untuk ditegaskan kembali, yakni: a) membicarakan filsafat pendidikan di masa depan, atau b) merefleksikan
kembali model pendidikan (tentang) masa depan atau education of future. Kedua hal tersebut yang akan mendasari saya menelaah
beberapa tawaran dalam filsafat pendidikan yang dimungkinkan untuk
membaca isu-isu kontemporer pendidikan kita hari ini, salah satunya
adalah disrupsi teknologi pendidikan yang didominasi oleh kecanggihan kecerdasan buatan.
Pendidikan hari ini sedang mengalami perubahan dramatis akibat adanya kecerdasan artifisial (AI) dan otomatisasi teknologi.

Saat ini, teknologi masih memiliki peran sebagai alat bantu bagi para
pendidik untuk meningkatkan kapasitas diri dan menyelesaikan tugastugas yang lebih kompleks. Alih-alih menggantikan manusia atau
pendidik dalam menjalankan tugasnya, kecerdasan artifisial masih
terbatas dalam membentuk kecerdasan emosional dan mengembangkan cara berpikir kritis. Namun, tantangan disrupsi teknologi di masa depan adalah sejauh mana kita mendefinisikan konsep swa-pembelajaran
(self-learning) yang mengandalkan alokasi pengetahuan dan
otomatisasi kecerdasan artifisial. Apakah mungkin kecerdasan artifisial
ini akan menggantikan dan mengambil peran guru secara tradisional?

Sampai sejauh mana kecerdasan artifisial akan menjadi asisten pengajar
sehingga memungkinkan guru untuk mengalokasikan lebih banyak waktu untuk pengajaran inovatif dan membangun koneksi lebih dalam dengan siswa. Namun, di balik semua kemajuan yang dihadirkan oleh kecerdasan artifisial di bidang pendidikan, juga ada tantangan yang tak
dapat dihindari, termasuk kebutuhan pelatihan guru, etika penggunaan
teknologi kecerdasan buatan, privasi data, sampai masalah kesenjangan
akses digital yang setara bagi semua siswa.

Integrasi kecerdasan buatan semakin menekankan pergeseran ini, menawarkan cara-cara transformatif untuk menyampaikan materi
pendidikan selama periode perubahan sosial dan budaya yang cepat.
Namun, adopsi teknologi baru dalam pendidikan bukanlah tanpa preseden, atau tanpa resistensi. Misalnya, pengenalan papan tulis di ruang kelas setelah tahun 1801 mendapat skeptisisme, karena siswa
yang terbiasa dengan metode hafalan menolak metode instruksi visual
baru ini.

Demikian pula, pada abad ke-19, universitas ragu untuk mengadopsi “lentera ajaib”, perangkat proyeksi awal, dengan menganggapnya sebagai alat hiburan daripada sumber daya pendidikan
yang sah (Hutson et al., 2022). Konteks historis ini menyoroti bahwa
meskipun kemajuan teknologi memiliki janji besar untuk membentuk
kembali pendidikan, implementasinya sering menghadapi resistensi
awal dan membutuhkan waktu untuk diterima (Hutson et al., 2022).

Berdasarkan konteks sejarah ini, kita dapat melihat bahwa revolusi
teknologi pendidikan yang menjanjikan selalu mengalami dinamika
penolakan dan penerimaan yang beragam. Meskipun kemajuan AI seperti ChatGPT-4 menunjukkan
kemampuan revolusioner dalam hal mengotomatisasi tugas, meningkatkan produktivitas, dan mendukung pendidikan dan
penelitian, hal ini juga menimbulkan risiko tersembunyi (FernándezGarcía et al., 2023). Risiko tersembunyi ini biasanya dikaitkan dengan wacana sains fiksi seperti kerentanan eksistensial dan kekhawatiran akan potensi pengikisan pemikiran kritis saat batas antara keahlian
manusia dan pengetahuan yang dihasilkan oleh mesin semakin kabur.

Istilah ini sering disebut sebagai epistemological nightmare atau mimpi
buruk epistemologis (Peterset al., 2024). Oleh karena itu, kita
hendaknya perlu untuk memahami kembali batasan keduanya, untuk
mengembangkan kembali pemikiran kritis dan mengurai nilai-nilai
kemanusiaan yang lebih bermartabat bersamaan dengan mesin. 

Menyeimbangkan potensi transformatif AI dengan risiko etika, epistemologis, dan keamanannya tetap menjadi tantangan mendesak.

Melihat masalah disrupsi teknologi, saya merasakan ada satu teori filsafat teknologi yang baik untuk menjelaskannya, yakni
pedagogi kritis ala Paulo Freire. Seorang filsuf sekaligus pendidik
bernama Paulo Freire (1921-1997) di tahun 1968 menyelesaikan karya
seminalnya berjudul “Pedagogy of the Oppressed” atau lebih dikenal di
Indonesia sebagai Pendidikan Kaum Tertindas. Motivasi etis Freire
menerbitkan karya ini disebabkan oleh usahanya untuk membangun
model pendidikan pembebasan di bawah tekanan rezim diktator militer di Brazil selama tahun 1964-1980. Seusai menerbitkan karya
monumentalnya, orientasi filsafat pendidikan global mengalami palingan ke arah gerak kajian baru, yang kemudian dikenal sebagai
pedagogi kritis.

Pedagogi kritis, secara singkat, bertujuan untuk
melahirkan kesadaran kritis bahwa kondisi sosial, politik, dan budaya
selalu mempengaruhi proses pendidikan. Siswa bukan lagi agen yang
pasif, namun ia harus senantiasa aktif dalam memahami, menganalisis,
dan mengubah realitas sosial yang mereka hadapi.
Mengapa saya memilih Paulo Freire? Dalam trajektori pemikiran saya di bidang filsafat pendidikan, Paulo Freire sedikit
banyak mempengaruhi cara pandang saya terhadap dunia pendidikan
hari ini.

Saya tertarik dengan pemikiran Paulo Freire sudah sejak masih
mahasiswa sarjana. Skripsi dan tesis saya mendedah pemikiran Freire tentang pendidikan, dan buku pertama saya juga tentang teori pendidikan radikalnya Freire (Murtiningsih, 2004).

Kedekatan Freire
dalam menginterpretasikan filsafat pendidikan dengan semangat perjuangan kelas dan dunia pasca-kolonial telah membuat saya
menyadari bahwa ada beberapa hal yang perlu dibangun untuk
menjembatani masalah-masalah disrupsi teknologi di masa depan.
Sejenak kita dapat melihat kembali bagaimana semangat pedagogi kritis bekerja. Intinya, filsafat pendidikan Freirean mencoba untuk berani melampaui zamannya.

Menurut Schugurensky & Bailey (2014), Freire adalah sosok pemikir yang tidak ingin gagasannya hanya
diikuti tanpa dikritisi kembali. Freire pernah berseru, “please do no follow me; reinvent me”. Artinya, kita harus berani melampaui warisan
pemikiran Freire, tidak terjebak pada glorifikasi ide-idenya. Seruan
Freire ini menandakan agar setiap pendidik dan peserta didik tidak terjebak pada dogma yang tertutup, pikiran-pikiran yang hanya
mendukung status quo kekuasaan tanpa berani untuk mengembangkan
laku kritis emansipatoris.

Kontribusi utama pedagogi kritis ala Freire adalah kritiknya terhadap konsep pendidikan gaya bank (banking education concept).
Layaknya perbankan, hubungan murid dan guru sebatas transaksional,
guru mengembalikan “deposito pengetahuan” kepada muridnya yang
pasif. Lebih lanjut, konsep ini mengacu pada metode pendidikan

tradisional di mana guru berperan sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan, sementara murid dianggap sebagai wadah kosong yang
hanya menerima informasi tanpa berpikir kritis. Hubungan antara guru
dan murid sangatlah pasif, tanpa dialog, apalagi partisipasi untuk
mengembangkan nalar kritis (Beckett, 2013). Oleh karena itu, Freire
mengusulkan pendidikan dialogis atau pendidikan liberasi yang lebih
membebaskan dalam arti mendorong pemikiran kritis, demokratisasi
pengetahuan, dan menempatkan murid sebagai agen pembelajar aktif.

Tujuan utama pendidikan menurut Paulo Freire (2014b, p. 120)
adalah menghilangkan pendidikan monologis, guru sebagai satusatunya pusat pengetahuan, sampai struktur hirarkis antara guru dan murid. Pedagogi kritis menjadi mungkin ketika institusi pendidikan
mulai memperkenalkan ruang-ruang dialogis berbasis pada refleksi
kritis dan pemecahan masalah. Dalam rangka meradikalkan konsepnya,
Freire (2014b, p. 84) menambahkan palingan dua langkah: “melihat ke
masa lalu untuk pemahaman masa kini sehingga mampu mengantisipasi
kesalahan di masa depan”. Melalui semangat masa depan yang
evolusioner (revolutionary futurity), secara praktis, Paulo Freire
menitik-beratkan pada penguatan kapasitas pendidikan yang ada.
Freire menyintesiskan antara pendidikan tradisional dengan
pendidikan kritis tanpa sepenuhnya menolak pentingnya peran intruksi
antara guru dan murid. Peran guru adalah otoritatif tanpa terjebak
menjadi otoriter dalam proses pedagogi kritis (Roberts, 1996). Selain
itu, Mayo (2007) menekankan bentuk pedagogi Freirean harus selalu relasional dan politis dalam artian selalu membawa kritik terhadap bentuk-bentuk “kesadaran penindas” (oppressor consciousness) yang
terjadi dalam dunia pendidikan maupun masyarakat secara umum.
Semangat futurisme menurut Paulo Freire (2014b, p. 84) menempatkan
pendidikan yang berani menjangkau masa depan dengan penuh kebijaksaan.
Sudut pandang pedagogi kritis Paulo Freire melihat hubungan
dialogis yang tetap perlu untuk dipertimbangkan kembali jika kita ingin
mengintegrasikan antara kecerdasan artifisial dalam pendidikan. AI sendiri sebenarnya telah menawarkan potensi besar untuk merevolusi
pendidikan dengan memungkinkan pengalaman belajar yang
dipersonalisasi, mendemokratisasi akses ke pengetahuan, dan bahkan
mendukung pembelajar dengan para penyandang disabilitas (Baskara,
2024; Garg & Sharma, 2020). ChatGPT juga menunjukkan potensi dalam pendidikan ketika ia mampu untuk mengotomatisasi
penyampaian informasi, memfasilitasi refleksi, dan memberikan umpan
balik secara langsung (real time) (Bearman & Ajjawi, 2023). Namun, pedagogi Freirean mengkritik model pendidikan gaya bank yang
mungkin terjadi ketika pembelajaran selalu bergantung pada mesin.
Kritik ini menyoroti keterbatasan teknologi seperti ChatGPT yang
kurang mendorong proses dialog transformatif dan emansipatoris bagi
peserta didik (Alm & Watanabe, 2023). Mereka diperlakukan hanya
sebagai penerima pengetahuan yang pasif, tetapi tidak pernah terlibat
langsung pada proses dialogis dan partipatif agar melatih nalar kritis
mereka (Medrado & Verdegem, 2024). Meskipun ChatGPT sangat efisien dalam menyebarkan informasi yang terstruktur, tetapi masih belum mampu mereplikasi aspek-aspek afektif dan relasional dalam
dunia (Markov & Volkova, 2020).

Selain itu, ketergantungannya pada
algoritma berbasis data menimbulkan juga kekhawatiran etis tentang
dampak kesenjangan digital, ketidaksetaraan akses, terutama bagi mereka yang memiliki ‘hak istimewa’ (Sidorkin, 2024).

Pandangan Freire tentang keadilan distribusi pengetahuan dalam proses integrasi AI dan pendidikan patut untuk menjadi prioritas utama, terutama dalam hal literasi digital kritis, sehingga mendorong
peserta didik untuk mempertanyakan, menganalisis, dan menantang struktur sosial-politik yang tertanam dalam teknologi tersebut (Sari et al., 2024). Para pendidik juga harus dilatih untuk memahami keterbatasan AI sambil memanfaatkan potensinya sebagai alat pendukung, bukan sebagai pengganti.

Freire juga memperhatikan ide tentang upaya meretas teknologi yang lebih menekankan pada praktik
transformatif yang berpusat pada peserta didik. Pendidik yang terampil  adalah kunci dari perubahan ini.

Teknologi dilihat seperti kuda troya (trojan horse) seperti yang dibayangkan oleh Freire, bahwa teknologi tidak hanya untuk efisiensi tetapi juga menciptakan ruang kritis baru pada level konseptual dan afektif tanpa meninggalkan peran pendidik yang membebaskan. (Blikstein, 2018).

Hal tersebut ditunjukkan untuk mengantisipasi risiko
ketergantungan berlebihan terhadap ChatGPT sehingga merusak pemikiran kritis, mengaburkan batas antara keahlian manusia dan
pengetahuan yang dihasilkan oleh mesin, serta mengurangi peran
pendidik sebagai fasilitator pembelajaran mendalam dalam proses dialog emansipatoris (Peters et al., 2024). Agar sejalan dengan visi pedagogis Freire, AI harus difungsikan sebagai katalis untuk keadilan
sosial dan kesetaraan, tidak hanya memberikan akses ke informasi tetapi juga mengembangkan kesadaran kritis dan partisipasi aktif dalam konstruksi pengetahuan kolektif.

Pelibatan mesin dalam proses pendidikan sejatinya lebih banyak memberikan peluang model-model pembelajaran baru yang lebikreatif, menawarkan pula pengalaman pembelajaran yang lebih
dipersonalisasi sesuai dengan kebutuhan guru dan murid, dan bahkan
hasil pembelajaran yang diperoleh dapat menjadi bagian dari analisis
data yang lebih inklusif (Churi et al., 2022).

Mendemokratisasi
pendidikan artinya menjadikan pendidikan lebih inklusif. Inklusivitas
dapat dimulai dengan menghentikan proses sistem pendidikan kapitalistik yang hanya mengkomodifikasi pengetahuan dan
menjadikan siswa hanya sebagai konsumen konten data digitial tanpa
menjadikannya sebagai alat untuk membebaskan peserta didik. Jika hal
itu terjadi kembali, maka apa yang dibayangkan oleh Freire tentang pendidikan gaya bank akan tetap ada, bedanya teknologi lebih banyak berperan untumempertahankan status quo kekuasaan.
Apa yang ditawarkan oleh Freire pada proses pedagogi kritis dalam menganalisis kerangka kerja-kerja mesin dalam dunia pendidikan adalah dengan cara menekankan kembali proyeksi pembelajaran kolektif. Pembelajaran kolektif yang dimaksudkan adalah merancangkan keterlibatan AI agar mendorong interaksi yang lebih bermakna antara guru dan murid. Literasi digital, literasi kecerdasan
artifisial, dan etika penggunaan mesin dalam dunia pendidikan perlu
ditinjau kembali dan masuk dalam kurikulum pendidikan baru. Kebijaksaan ini diperlukan untuk menangani masalah etis, menghindari
praktik data yang invasif, dan menolak komodifikasi pendidikan ‘gaya bank’.

Pada akhirnya, disrupsi teknologi dapat diminimalisir dengan
menempatkan teknologi sejalan dengan visi Freire tentang pendidikan
sebagai kekuatan pembebasan.mempromosikan kesadaran kritis dan
transformasi sosial daripada mempertahankan ketidaksetaraan yang ada
atau memperkuat sistem pendidikan yang hanya digerakkan oleh
kapitalisisasi pengetahuan semata.

Pada bagian akhir ini, saya ingin mengajak Bapak/Ibu semua luntuk merefleksikan kembali pandangan Paulo Freire tentang kondisi
dunia pendidikan kala itu. Dalam edisi pertama Pedagogy of Hope (1992), Freire menyadari perlunya panduan kritis untuk membangkitkan rasa ingin tahun yang besar, yang bahkan mampu
memicu beragam pembacaan dan interpretasi baru. Ia bahkan menganjurkan kepada siapa pun untuk selalu mengkritisi pemikirannya.
Alih-alih menolak kritik, Freire justru memanfaatkan perdebatan tersebut sebagai kesempatan untuk merefleksikan dan bertumbuh, menyadari bahwa kritik merupakan bagian dari konteks ideologis, historis, dan sosial tempat buku itu diterima. Dengan menempatkan
kritik-kritik tersebut dalam dinamika sosial-politik Eropa yang sedang
bergolak, Freire.menegaskan keyakinannya pada pentingnya dialog
serta potensi transformatif gagasan, bahkan ketika gagasan tersebut
memancing resistensi atau penolakan (Torres, 2019). Keterbukaan terhadap kritik ini menjadi wujud pendekatan pedagogisnya, yang menghargai pertukaran ide sebagai sarana untuk membangun
pemahaman dan kemajuan.
Freire mengidentifikasi dehumanisasi sebagai realitas ontologis
sekaligus historis yang muncul dari struktur-struktur penindasan yang
membuat individu selalu teralienasi dari kemanusiaannya. Konsep dehumanisasi menurut Freire bersifat timbal balik dan relasional (Dale
& Hyslop-Margison, 2011). Kelas penindas yang selalu menormalisasi tindakannya mendehumanisasi kaum tertindas juga akan kehilangan kemanusiaannya sendiri. Perspektif ini memperluas kritik moral dan
eksistensial terhadap penindasan, dengan menekankan bahwa
penindasan tidak hanya merugikan mereka yang ditundukkan, tetapi
juga merusak kemanusiaan mereka yang melakukan penindasan (Freire, 2014, p. 89).

Pernyataan Freire “Aku tidak ada, aku tidak menjadi, kecuali
kamu ada, kecuali kamu menjadi,” menyoroti adanya saling
ketergantungan eksistensial antara manusia sekaligus menekankanimplikasi etis terhadap kemanusiaan. Lebih lanjut, Freire menempatkan
penyelesaian dehumanisasi dalam agensi dari mereka yang tertindas. Ia
berpendapat bahwa saat yang tertindas berjuang untuk kemanusiaan
mereka, mereka secara bersamaan memulihkan kemanusiaan yang hilang dari para penindas. Proses transformasi ini berakar pada kemampuan mereka yang tertindas untuk berani merebut kembali
kekuasaan dan keadilan, bukan untuk kembali mendominasi, tetapi
untuk menghancurkan struktur penindasan. Dalam konteks harapan (hope) sebagai kebutuhan pandangan ontologis, Freire
mengontraskannya dengan fatalisme, yang ia kritik sebagai kekuatan
yang mengasingkan individu dan menghambat tindakan transformasi.
Dengan menegaskan kemungkinan perubahan, Freire menempatkan
harapan sebagai elemen penting dalam perjuangan untuk humanisasi.

Selain itu, analisis Freire melampaui tindakan penindasan individu untuk mengkritik sistem dan struktur yang lebih luas yang mempertahankan dehumanisasi. Pengenalan Freire terhadap sifat
timbal balik dari dehumanisasi menjadi seruan untuk solidaritas dan aksi kolektif, karena humanisasi sejati hanya dapat terjadi ketika baik
penindas maupun yang tertindas melampaui peran mereka dan merebut
kembali kemanusiaan bersama mereka. Perspektif ini mendasari filosofi pedagogis Freire yang lebih luas, yang bertujuan untuk
memberdayakan individu dalam mengubah masa depan dunia dan
menolak sistem dominasi.
Dalam meradikalisasi ‘harapan’ itu sendiri, kita harus mengintegrasikan pedagogi harapan dengan upaya keadilan sosial dalam pendidikan kontemporer. Model pedagogi harapan ini menjadi sangat penting dalam konteks saat ini yang ditandai dengan
ketidakpastian, ketidakamanan, dan meningkatnya kecemasan tentang masa depan, terutama di kalangan generasi muda. Sejalan dengan visi asli Freire, ia menekankan kekuatan transformasi pendidikan untuk menantang penindasan, membangun kesadaran kritis, dan
menginspirasi aksi kolektif. Oleh karena itu, harapan bukanlah sesuatu
yang pasif atau abstrak, melainkan kebutuhan ontologis yang aktif—
sebuah kekuatan yang mendorong individu untuk membayangkan dan
bekerja menuju dunia yang lebih baik (Bourn & Tarozzi, 2024).

Dalam konteks pendidikan di era kecerdasan buatan ini, harapan adalah fitur kemanusiaan yang harus selalu diaktifkan dalam relasi pedagogis antara manusia dan mesin. Mesin mungkin memiliki
pengetahuan—meski tanpa keyakinan—dan mungkin juga dapat mewujudkan sejumlah nilai—meski dalam pengertian pragmatis dan fungsional. Namun, bagaimanapun, mesin tak akan pernah punya
harapan sebab harapan adalah tentang sesuatu yang tidak ada—lebih tepatnya: belum ada. Mesin tidak dapat berpikir dalam kerangka yangbelum-ada. Ia hanya bisa berpikir dalam kerangka yang-telah-ada. Jikapun ia dapat berbicara tentang yang-belum-ada, maka ia membicarakannya sebagai sebuah kemungkinan dari yang-telah-ada—artinya: sebuah prediksi. Dengan kata lain, mesin hanya dapat menghadirkan yang-belum-ada yang masih terkooptasi oleh yang telah-ada.

Ketidakmampuan mesin untuk menanamkan harapan, untuk
menghadirkan yang-belum-ada, pada diri siswa membuatnya tak
memadai sebagai jangkar utama pedagogi kritis. Model pedagogi kritis
ala Freire tetap membutuhkan kehadiran manusia sebagai pendidik
sebab pendidikan tidak hanya harus menyampaikan pengetahuan, tetapi
juga harus menumbuhkan empati, solidaritas, dan komitmen kolektif
terhadap keadilan sosial dan ekologis. Para pendidik, oleh karena itu,
memegang peran penting sebagai fasilitator, pendorong energi, dan
inspirator, dengan menanamkan optimisme sekaligus keterampilan
praktis kepada para pembelajar untuk membayangkan dan menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan. Mesin, dalam konteks pedagogi kritis, berperan sebagai kolaborator manusia dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang interaktif dan dialogis guna
mengaktifkan harapan-harapan akan yang-belum-ada atau yangtampak-mustahil-ada.
Dalam istilah Freirean, gagasan tentang “yang-belum-ada”,
sebagaimana dibahas oleh Roberto Poli, sangat selaras dengan proses pedagogis menuju humanisasi.

Pedagogi Freire berakar pada keyakinan
bahwa manusia adalah makhluk yang belum selesai, selalu berada
dalam proses menjadi (Poli, 2019). Ini mencerminkan pandangan Poli bahwa keberadaan itu tidak lengkap dan bersifat terbuka, memerlukan
antisipasi serta keterlibatan kritis dengan masa depan. Bagi Freire, keterlibatan antisipatif ini didorong oleh harapan—sebuah kekuatan
yang berpandangan ke depan, menolak fatalisme, dan memberdayakan
individu untuk membayangkan masa depan yang lebih adil dan setara. Dengan cara ini, pendidikan menjadi ruang tempat peserta didik dan
pendidik secara kolaboratif mengeksplorasi dan membangun kemungkinan, yang didasarkan pada realitas masa kini sekaligus
aspirasi masa depan.
Antisipasi, sebagaimana dijelaskan oleh Claudia Luchetti (2019), lebih lanjut selaras dengan penekanan Freire pada praksis—refleksi dan tindakan yang bertujuan untuk mentransformasi dunia.
Antisipasi bukanlah sesuatu yang abstrak atau terlepas dari konteks; ia.terhubung secara mendalam dengan kondisi material dan sosial saat ini, sambil membuka ruang bagi masa depan. (Freire, 2014, p. 91).

Pedagogi Freire, dengan cara yang serupa, mengadvokasi pendidikan
yang berakar pada pengalaman hidup peserta didik. Upaya ini
menekankan pengalaman tersebut sebagai landasan untuk membayangkan dan mewujudkan masa depan alternatif. Penekanan
pada antisipasi ini menggeser tujuan pendidikan dari sekadar mencapai cita-cita utopis yang statis menjadi mendorong proses perubahan yang
berkesinambungan dan iteratif. Pendekatan ini mengakui bahwa masa
depan bukanlah tujuan yang tetap, melainkan perjalanan yang terus
berkembang dan dibentuk oleh agen kolektif individu serta komunitas.

Namun, meskipun Freire mengedepankan harapan dan transformasi, pedagoginya juga menekankan pentingnya mendasarkan
aspirasi tersebut pada kesadaran kritis—analisis yang mendalam
terhadap realitas sosial, historis, dan politik. Kebutuhan akan koherensi dan landasan empiris ini memastikan bahwa visi transformasi pendidikan tetap aspiratif sekaligus praktis. Hal ini sejalan dengan komitmen Freire untuk memberdayakan peserta didik agar secara kritis memeriksa dunia mereka dan mengambil tindakan yang terinformasi
serta disengaja menuju perubahan. Pada titik inilah, peran mesin sebagai kolaborator manusia menjadi sangat signifikan.

Mesin
kecerdasan buatan memiliki kapasitas tiada tanding untuk menganalisis
data dalam jumlah besar dengan kecepatan amat dahsyat. Dengan

demikian, dalam kerangka pedagogi kritis Freirean, mendidik manusia
bersama mesin berarti menumbuhkan harapan dan kesadaran kritis
dengan basis analisis empiris yang kuat.

Akhiran
Tesar et al. (2022) berpandangan bahwa kita perlu mengulang
pertanyaan tentang, “seperti apakah masa depan dari filsafat pendidikan?” Bagi saya, jawabannya adalah mempertimbangkan
keterlibatan mesin dalam proses pendidikan. Bentuk-bentuk
keterlibatan seperti apa yang etis dan tepat secara politis? Pertanyaan
ini akan menjadi tantangan dunia pendidikan ke depan. Model pedagogi kritis Freirean diantaranya telah memberikan jawaban bahwa keterlibatan mesin dalam proses pendidikan adalah sebagai kolaborator
manusia dalam menumbuhkan harapan dan kesadaran kritis melalui
basis data empiris yang memadai.

“Mendidik manusia bersama mesin” menekankan dua hal
penting: (1) bahwa subjek utama pendidikan itu adalah manusia dan (2)
bahwa entitas non-manusia seperti mesin dapat dilibatkan dalam proses
pendidikan. Dua hal tersebut membuka ruang-ruang eksplorasi baru
tentang relasi manusia-nonmanusia.

Dengan demikian, cakupan filsafat pendidikan di era mesin kecerdasan buatan ini bukan hanya soal apa
tujuan pendidikan dan bagaimana seharusnya proses pendidikan dijalankan, melainkan juga soal relasi epistemik dan etis antara manusia
dan agen non-manusia. Itulah masa depan filsafat pendidikan.

*Artikel diambil dari pidato Prof. Dr. Rr. Siti Murtiningsih, M.Hum., yang dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Filsafat Pendidikan pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada di Balai Senat, Gedung Pusat UGM, Kamis (20/2/2025)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru