Kamis, 3 Juli 2025

Mengingatkan Ahok !

 

Oleh : Alex Tan

Belum pernah dalam rangka Pilkada, seorang calon Gubernur, menjadi rebutan para pendukungnya seperti yang terjadi pada Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Logikanya semua pendukung seharusnya bisa bersatu demi kemenangan calon Gubernurnya. Namun ternyata, menyatukan para pendukung harus melewati lika-liku politik seusai dengan tarik menarik kepentingan.

Seminggu terakhir ini polemik Politik Pilkada terjadi antara Ahok, relawan “Teman Ahok” dan PDI-Perjuangan. “Teman Ahok” tetap menginginkan Ahok maju lewat jalur  perorangan, karena satu juta KTP pendukung telah terkumpul. Sementara PDI-Perjuangan menginginkan Ahok untuk maju atas nama partai itu.

Memang, untuk kedua kalinya, politik relawan berhasil menunjukkan kekuatannya dalam pertumbuhan demokrasi Indonesia. Yang pertama kali,– sudah berhasil dalam pencalonan Joko Widodo merebut Kepresidenan pada tahun 2014. Akankah politik relawan mengulangi keberhasilannya lagi dalam mengusung Ahok?

Konsolidasi relawan non partisan yang tergabung dalam “Teman Ahok” memang telah berhasil menjadi poros politik yang mendorong percepatan roda politik ibukota. Salah satunya adalah kecepatan dalam pengumpulan KTP pendukung Ahok. Walau menghadapi berbagai rintangan, justru semakin mempercepat pengumpulan. Figur kuat seperti Ahok setiap hari ada dimedia massa dengan berbagai isu ataupun intrik, baik pro maupun kontra. Tentu saja figur ini  mempermudah pengorganisasian dukungan KTP dari masyarakat ibukota untuk maju secara perorangan.

Disisi lain, politik sukarela dalam relawan “Teman Ahok” menjadi alat sosialisasi yang efektif dari RT, RW, Kelurahan bahkan nasional. Kombinasi antara keyakinan dan tanpa bayaran menjadikan Teman Ahok sebagai wadah pengorganisasian dan konsolidasi pemuda-pemudi militan dan sabar.

Dengan tehnologi informasi terbaru, Ahok dan pengumpulan KTP oleh relawan tersosialisasi lewat media sosial WhatsApp Group, facebook dan twitter dan lainnya. Berbagai media Online menjadi alat sekaligus arena pertempuran antara para pendukung berhadapan dengan para pembenci Ahok. Media sosial dan Online justru menjadi trend yang mempengaruhi pemberitaan pro dan kontra Ahok pada media cetak dan TV. Hal ini semakin memperkuat sosiasisasi figur dan program ahok jauh sebelum jadwal kampanye resmi dikeluarkan oleh KPU.

Sehingga, Partai politik Nasional Demokrat (Nasdem) lah yang pertama kali merespon atmosphere Politik pilkada DKI Jakarta yang digerakkan oleh “Teman Ahok”. Nasdem menyatakan dukungan tanpa syarat, walaupun Ahok maju sebagai calon perorangan atau independen. Dukungan tanpa syarat semacam ini diikuti oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan kemudian Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Belakangan Partai Golkar pun menyatakan dukungannya tanpa syarat atas pencalonan Ahok.

Anehnya, walaupun Ketua Umum PDI-Perjuangan, Megawati Soekarnoputri menyatakan dukungannya pada Ahok, Namun sejak awal PDI-Perjuangan DKI Jakarta menolak pencalonan Ahok. Baru belakangan PDI-Perjuangan menggiring Ahok agar mencalonkan diri lewat partai tersebut.

Peta Ketulusan

Kalau dipetakan secara ketulusan, maka pendukung Ahok terdiri atas dua jenis pendukung politik. Pertama, pendukung tanpa syarat yang terdiri dari  “Teman Ahok” dan berbagai kelompok relawan lainnya,– ditambah satu juta pendukung berdasarkan KTP,– ditambah dengan partai politik yaitu Partai Nasdem, PKB, Partai Hanura dan Partai Golkar.  Kedua, pendukung dengan syarat, yaitu, PDI-Perjuangan yang juga akan mendukung Ahok, tapi dengan syarat, harus mencalonkan diri lewat partai tersebut.

Harus diakui saat ini Pilkada DKI Jakarta merupakan pertaruhan besar baik bagi pendukung Ahok dari jalur independen yang berasal dari suara rakyat  maupun bagi pendukung dari partai politik. Apabila Ahok bisa menang lewat jalur pendukung independen maka akan menjadi contoh bagi rakyat di daerah lain untuk berjuang memilih calon pemimpin daerah masing masing secara independen.

Hal diatas tentu akan menjadi mimpi buruk bagi partai-partai politik karena perlahan lahan akan ditinggalkan rakyat pendukungnya karena menemukan cara alternatif baru untuk memilih calon pemimpin tanpa jalur partai. Maklum, sudah menjadi rahasia umum dengan partai poilitik pasti ada bargaining politik dan “penjatahan proyek” yang tentu menjadi beban bagi pemimpin kepala daerah yang menang.

Sudah banyak contoh kepala daerah ditangkap KPK karena terlibat korupsi. Yang paling menakutkan bagi elit politik terutama yang berpartai adalah,–apabila Ahok lewat jalur independen dapat meraih kemenangan, maka dalam jangka panjang partai hanya akan menjadi bangkai-bangkai konstitusi belaka. Bukan tidak mungkin akan ada perubahan dalam sistem mesin kepartaian yang sudah berjalan bertahun-tahun yang selalu mengatas namakan rakyat,– akhirnya hanya menjadi pepesan kosong.

Namun harus juga di ingat oleh Ahok bahwa, PDI-Perjuangan, walaupun menempati posisi minoritas di Parlemen DKI Jakarta, kini sedang diuji kembali kemampuannya untuk merebut kekuasaan eksekutif di ibukota. Keinginan PDI-Perjuangan adalah wajar. Walaupun tidak bisa menyediakan calon gubernur dari kader sendiri, setidaknya ada calon independen seperti Ahok yang akan dicalonkan oleh partai ini. Harapannya, kelak PDI-Perjuangan tidak saja menguasai DPRD, tapi juga menguasai eksekutif.

Bagi “Teman Ahok”,– sebaliknya ingin membuktikan suara rakyat yang non-partai bisa memimpin partai-partai politik untuk mendukung Ahok tanpa syarat yang akan menjadi beban politik seorang Gubernur DKI Jakarta. Toh, rakyat Jakarta memilih bukan karena Partai, karena selama ini “Teman Ahok” yang sudah lebih dahulu mensosialisasikan Ahok.

Tentu bagi Ahok, adalah soal bagaimana menyatukan dua kekuatan di atas. Tidak mungkin memilih salah satu dengan mengesampingkan yang lain. Ahok membutuhkan dukungan penuh dari “Teman Ahok” dan satu juga pendukung yang didapat dari pengumpulan KTP. Satu juta pendukung itu datang secara sukarela menyerahkan KTP bahkan ikut mensosialisasi ke tetangga dan teman kerjanya. Dari jumlah itu, maka sudah terbangun jaringan partisipasi rakyat untuk ikut menjaga dan mengawasi berlangsungnya Pilkada DKI Jakarta.

Kalau Ahok meninggalkan “Teman Ahok” maka sudah bisa diperkirakan blunder politik yang pertama kali terjadi adalah menguatnya isu negatif berbau SARA yang akan digunakan oleh lawan Ahok. Selain itu, tentu Ahok akan kehilangan kepercayaan setidaknya dari satu juta pengumpul KTP pendukung Ahok, yang sudah mempersiapkan struktur pengawasan Pilkada dari TPS sampai KPU.

Namun setelah menjadi Gubernur lagi kelak, Ahok juga membutuhkan dukungan penuh di parlemen yang mayoritas dikuasai oleh PDI-Perjuangan. Kalau PDI-Perjuangan tidak mendukung, maka Partai pendukung Ahok yaitu, Nasdem, Hanura, PKB dan Golkar akan berhadapan dengan PDI-Perjuangan, Partai Demokrat. PKS  dan PAN.

Jakarta adalah barometer bagi daerah lain. Bukan hanya rakyat ibukota, rakyat seluruh Indonesia juga sedang menghitung-hitung dan berpartisipasi memberikan opini dalam berbagai forum di media sosial, Online, TV dan Koran dan lainnya. Langkah Ahok akan menentukan Jakarta dan Indonesia dimasa depan.

 

*Penulis adalah pengamat sosial dan pekerja IT, tinggal di Jakarta

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru