JAMBI- Pemerintahan Joko Widodo lebih mudah memberikan ijin pengolahan atas tanah dan hutan ketimbang memberikan akses pada rakyat tani dan suku anak dalam mengelola lahan untuk kehidupan keluarga. Ini tidak mungkin terjadi kalau Presiden RI Joko Widodo tetap memegang ajaran Tri Sakti sebagai panduan melaksanakan negara. Hal ini diungkapkan oleh Sekwil Komite Pimpinan Wilayah Serikat Tani Nasional (STN) Jambi, M. Soleh kepada Bergelora.com di Jambi, Kamis (9/4).
“Tak heran indikasi sekarang menunjukkan bahwa pembagian tanah untuk rakyat dihambat oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Contoh yang dialami oleh petani Kunangan Jaya II Batanghari dan Petani Sarolangun Jambi yang berkonflik dengan HTI PT. Agronusa Alam Sejahtera (AAS),” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa pada 30 Januari 2013 sudah disepakati oleh Menteri Kehutanan sebelumnya, Zulkifli Hasan konflik diselesaikan dengan Pola Hutanan Tanaman Rakyat (HTR) dan sudah ditindaklanjuti dengan surat rekomendasi HTR dari Bupati Batanghari dan Bupati Sarolangun kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI diawal tahun 2015 yang lalu.
“Tapi sampai sekarang belum ada realisasi dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya,” tegasnya.
Menurutnya, ini artinya pemerintah mudah memberikan ijin kepada pemodal, sementara rakyat justru dihambat untuk mendapatkan akses tanah.
“Semua ini tidak perlu terjadi andaikata Presiden Joko Widodo punya komitmen yang jelas untuk menjalankan Trisakti,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa, Proklamator Kemerdekaan, Bung Hatta pernah menghendaki dijalankannya ‘agrarische wetgeving’, yakni pengelolaan agraria yang demokratis dimana rakyat didahulukan, dan bukan sebaliknya, pemodal asing menjadi raja diatas bumi dan harta rakyat Indonesia.
“Namun semua cita-cita pendiri bangsa memang sudah ditinggalkan oleh semua rezim dari rezim diktaktor sampai rezim populis seperti Jokowi. Semuanya palsu,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa saat ini Indonesia memiliki 136,5 juta hektar kawasan hutan dengan hutan produksi 81,8 juta hektar dan hutan lindung 31 juta hektar. Para pemilik modal telah menguasai 41 persen kawasan hutan produksi.
Pemerintah telah menerbitkan 304 unit izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK)-hutan alam atau dikenal sebagai HPH (Hak Pengelolaan Hutan) pada 25 juta hektar lahan kepada perusahaan. Sebanyak 9,3 juta hektar ditetapkan sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk 236 unit perusahaan.
“Sebanyak 9,2 juta hektar perkebunan sawit namun lebih dari 75 persennya dimiliki oleh perusahaan bukan rakyat,” jelasnya.
Sementara itu menurutnya, 33 ribu desa di dalam kawasan hutan setiap saat tanahnya dapat dirampas atas nama Undang-undang karena pemberian izin-izin HTI, pertambangan, HPH, hingga perkebunan sawit.
Sebelumnya Menteri Kehutanan Zulkifli Hassan sepakat untuk penyelesaian konflik petani Kunangan Jaya II Batanghari dan Petani Sarolangun yg berkonflik dengan PT. Agronusa Alam Sejahtera (AAS) dan PT. Wanakasita Nusantara (WN) adalah dengan Pola HTR seperti yang tertuang dalam surat bernomor:
S.92/VI – BUHT/2013 tertanggal 30/1/2013
Surat Menteri Kehutanan itu ditindaklanjuti dengan surat Bupati Sarolangun Tanggal. 22 Oktober 2014, Nomor: 522/719/PKBHKA/disbunhut/2014. Juga surat Bupati Batanghari Tanggal 10 Desember 2014, Nomor: 522/438/Dishut (Mawardi)