Oleh : Winarso
JAKARTA- Pemilu 2014 adalah catatan buruk dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemilu 2014 jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 (asli), karena pemilu kali ini benar-benar telah mengadopsi demokrasi liberal dengan begitu vulgar.
Di berbagai daerah, perselisihan dalam Pemilu kali ini berubah menjadi kekacauan massa, bentrok fisik bahkan berujung pada proses hukum hingga pengadilan.
Kekacauan yang terjadi akibat pemilu Liberal, sebenarnya sudah bisa diprediksi. Karena sejak awal, proses penyelenggaraan Pemilu 2014 sarat dengan rekayasa. Dimulai dengan carut marutnya DPT, Penyelenggaraan Pemilu ulang di 23 Propinsi, 90 Kabupaten/kota, 770 TPS, hingga pemecatan 17 Komisioner KPUD oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu [DKPP] karena ketahuan melakukan kejahatan dalam proses Pemilu. Selain itu, juga ditemukan banyaknya Form C-1 ganda, Pengurangan dan Penggelembungan Suara yang dilakukan oleh KPU beserta jajarannya di tingkat bawah.
Namun demikian, ada kesalahan yang sangat mendasar yang terjadi di masyarakat, dengan menggambarkan bahwa yang terjadi hanyalah merupakan pelanggaran atau kecurangan pada proses penghitungan suara yang hanya masuk pada wilayah hukum perdata, sehingga harus melalui jalur “Mahkamah Konstitusi”.
Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah kejahatan. Yang terjadi adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu. Baik berupa tindakan pidana umum: pemalsuan – membuat akta/dokumen palsu dengan masih banyaknya perbedaan suara antara C-1, D-1, DA-1, DB-1 dan DC-1, maupun tindak pidana Pemilu itu sendiri sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012.
Ironisnya, kita sebagai masyarakat yang sadar hukum dan politik, membiarkan “kejahatan pemilu” itu terus berlangsung dan terus terjadi didepan mata kita secara massal. Bahkan di backup oleh aparat hukum. Padahal dalam pasal 309 UU No. 8 Tahun 2012 jelas disebutkan bahwa :
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp. 48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah)”
Maka sesungguhnya, setiap warga Negara berhak menangkap pelaku kejahatan Pemilu yang diduga dilakukan oleh KPU dan jajarannya untuk kemudian menyerahkan ke POLRI untuk segera bisa diproses secara hukum. Karena secara factual, banyak sekali terjadi perselisihan dan sengketa tentang pemilu yang tidak selesai di tingkat daerah hingga nasional. Artinya, dapat disimpulkan bahwa data hasil penghitungan yang dilakukan oleh KPUD Kabupaten/Kota, Propinsi dan KPU Nasional masih bermasalah dan berisi data-data palsu hasil pencurian dan penggelembungan suara caleg/partai tertentu yang merupakan Kejahatan Pemilu.
Untuk itu Koalisi Nasional Penyelamatan Kedaulatan Rakyat (KN-PKR) menyerukan agar seluruh rakyat Indonesia menolak hasil pemilu 2014. Upaya tangkap para penyelenggara Pemilu yang terbukti melakukan kejahatan Pemilu dan menyerahkannya ke Polriuntuk diproses hukum adalah keharusan. Hasil Pemilu yang diraih dengan kejahatan, menjadi tidak layak untuk membentuk Pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Sebagai jalan keluar, KN-PKR memandang perlu untuk segera mengadakan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat- Sementara sesuai dengan Pancasila dan UUD 45 (asli).
Sangat tidak masuk diakal apabila, bangsa ini menikmati sistim demokrasi liberal yang bertentangan dengan cita-cita proklamasi, Pancasila dan Undang-undang Dasar ’45 yang asli. Adalah aneh jika aparat hukum tidak menindak lanjuti semua laporan masyarakat tentang kejahatan Pemilu legislatif 2014 lalu. Adalah aneh jika, masyarakat masih menerima hasil Pemilu legislatif 2014 yang penuh kejahatan. Lebih aneh lagi jika hasil Pemilu legislatif 2014 yan gpenuh kejahatan dijadikan landasan untuk Pemilu Presiden 2014 yang akan datang.
*Penulis adalah Koordinator Komite Nasional-Penyelamat Kedaulatan Rakyat (KN-PKR) Surakarta