Perlu kehati-hatian mengatasi konflik di dalam negeri sendiri dengan memberikan label apapun dan penugasan TNI di masa damai perlu pertimbangan yang bijak, cermat dan saksama. Ambassador Freddy Numberi, mantan Gubernur Papua dan Founder Numberi Center menuliskannya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Ambassador Freddy Numberi (Founder Numberi Center)
SAMUEL HUNTINGTON pada tahun 1992 menulis buku The Clash of Civilization and the Remaking of World Order. Huntington menganalisis bahwa konflik di era globalisasi dewasa ini tidak lagi berupa perang antar bangsa-bangsa atau antar negara, namun lebih bersifat intra-nation atau intra-state (konflik dalam suatu negara).
Kita berhadapan dengan apa yang disebut benturan peradaban, lebih khusus lagi bagi negara yang memiliki suku, agama, ras dan bahasa yang sangat beragam seperti Indonesia. Perekat bangsa dewasa ini menurut penulis utamanya adalah kesejahteraan, keadilan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia bagi seluruh rakyat yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara tercinta.
Pada era globalisasi, Indonesia dihadapkan dengan menguatnya primordialisme, bukan lagi karena patriotisme. Wujud nyatanya dewasa ini di Nusantara tercinta ini adalah berupa populisme, konservatisme, fundamentalisme dan radikalisme.
Dengan adanya tragedi-tragedi seperti Bosnia (1991), tragedi Amerika 11 September 2001 (09/11), Bom Bali di Indonesia (2005), Kosovo (2008), Mali (2019) dan New Zealand (2019), mengindikasikan bahwa benturan antar peradaban di masa depan akan semakin kuat manakala dipicu oleh pemahaman-pemahaman yang ekstrim dalam berbangsa dan bernegara.
Indonesia dewasa ini tidak dapat mengelak dari gejolak itu, khususnya di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat).
Demokrasi dan reformasi yang kita gulirkan sejak 1998 dihadapkan dengan benturan-benturan sosio-kultural di dalam negeri sendiri.
Politik rasial menyesaki ruang publik di negeri tercinta dan menimbulkan polarisasi politik yang begitu dahsyat. Polarisasi itu kian mengencang, manakala jurang kemiskinan, kemarjinalan, keterlantaran akibat pembangunan yang ada tidak menyentuh masyarakat di akar rumput sebagai pemegang kedaulatan di negara ini.
Kita bertanya ”Terus militer kita mau dikemanakan?”, dalam hal seperti ini. Karena apapun alasan kita dalam diri militer itu bersemayam filosofi bernegara.
Dengan demikian cara mendudukan militer dan cara kita memperlakukan serta menempatkan diri mereka harus terhormat dengan cara-cara profesional dan proporsional sesuai dengan keahlian mereka.
Kita tidak bisa menggunakan militer kita, karena kita haus kekuasaan, atau mencari panggung politik dll. Kedudukan militer itu sangat penting dan terhormat, karena tanpa militer suatu negara pasti ambruk.
Rangkuman Khusus
Dengan kehilangan Timor Timur seharusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita, Bangsa Indonesia.
Dengan masuknya Interfet (International Forces For East Timor) 20 September 1999, empat hari kemudian tanggal 24 September 1999 militer Indonesia mulai ditarik mundur dan pada tanggal 31 Oktober 1999 seluruh pasukan Indonesia meninggalkan Timor Timur.
Alasan utamanya karena ada pelanggaran HAM yang disimpulkan oleh Dewan Keamanan PBB sebagai genosida karena terbunuhnya masyarakat sipil yang tidak berdosa.
Konflik-konflik dalam intra-state Indonesia, baik sebelum reformasi maupun sesudah reformasi memiliki ragam dan bentuknya sendiri, antara lain: (1) konflik-konflik sumber daya; (2) konflik horizontal dan terorisme; (3) konflik politik dalam Pemilu dan Pilkada; (4) konflik-konflik elite politik.
Khususnya di Tanah Papua, dengan adanya ketidakpuasan masyarakat selama ini, maka pemerintah memberikan Otonomi Khusus bagi Papua dan penerapan operasi keamanan untuk mengatasi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang sangat mengganggu keamanan di Papua.
Otsus dinilai belum berhasil, karena tidak mensejahterakan masyarakat akar rumput di Papua. Eskalasi kekerasan terus meningkat terutama di daerah pegunungan tengah yang mengakibatkan baik aparat keamanan yang gugur maupun rakyat tidak berdosa juga ikut meninggal.
Dengan diberi label teroris terhadap KKB harapan pemerintah dapat menumpas KKB sampai ke akar-akarnya.
Efek Psikologis bagi KKB adalah bila dibunuh, akan menjadi “martir” dalam pelanggaran HAM. Ini pasti dilaporkan oleh siapapun dengan kecanggihan teknologi dewasa ini untuk mengekspose pelanggaran tersebut keluar serta mendapat perhatian baik nasional maupun internasional.
Operasi Militer dalam Undang Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI disebut sebagai Operasi Militer Selain Perang (OMSP), khususnya di Papua belum bisa diterapkan. Alasannya bahwa kondisi di Papua belum memenuhi syarat-syarat untuk diberlakukannya Hukum Humaniter.
Suatu konflik bersenjata internal suatu negara dianggap layak untuk dilakukan operasi militer jika telah memenuhi tiga syarat (Soleman B. Ponto, ST, MH, 2014 : hal. 184), yaitu:
Pertama, pihak yang terlibat konflik memiliki organisasi dengan struktur hierarki yang jelas (organized armed group).
Kedua, menguasai wilayah-wilayah tertentu (control a part of territory).
Ketiga, dapat melakukan serangan dengan tingkat intensitas yang tinggi (high level of intensity).
Ketiga syarat tersebut diatas bila di analisis secara bijak dan cermat, tidak terpenuhi di Papua apalagi di labeli teroris, dengan demikian operasi militer belum dapat dilakukan di Papua. Dengan kondisi seperti itu, apabila OMSP tetap dilaksanakan, maka akan terjadi pelanggaran HAM dan sebagai bangsa harus kita hindari dengan pengalaman Timor Timur di masa lalu.
Bagi KKB yang telah melakukan pembunuhan keji itu, satu-satunya tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah hanya berupa Penegakan Hukum dan pemulihan ketertiban oleh Polri. Hal ini sesuai arahan Presiden, yaitu membasmi KKB sampai ke akar-akarnya.
Operasi Militer oleh TNI, melalui OMSP, beresiko terhadap adanya tuduhan pelanggaran HAM oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa dimana Indonesia adalah bagian daripada organisasi dunia ini.
Bila eskalasinya meningkat dan di formulasikan sebagai pasukan pem-bangkang (dissident armed forces), maka militer dalam hal ini TNI dapat ditugaskan mengatasi konflik tersebut, karena hal itu memenuhi Hukum Humaniter yang sudah diratifikasi Indonesia.
Penutup
Masih ada harapan ke depan untuk melakukan evaluasi kembali dengan pola pendekatan kesejahteraan seperti yang terjadi di masa lalu ketika TNI melakukan operasi bhakti membantu masyarakat membangun desa, memberikan air bersih, dan lain-lain sehingga terjalin keakraban dengan masyarakat setempat. Upaya ini harus didukung oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten) agar dilakukan secara bersama-sama dengan dukungan biaya dari negara untuk meningkatkan ketahanan wilayah di seluruh Indonesia, salah satunya adalah di Tanah Papua.
Perlu kehati-hatian mengatasi konflik di dalam negeri sendiri dengan memberikan label apapun dan penugasan TNI di masa damai perlu pertimbangan yang bijak, cermat dan saksama.
“In the end we will remember not the words of our enemies, but the silence of our friends (pada akhirnya kita tidak akan mengingat kata-kata musuh kita, tetapi keheningan teman-teman kita)”. (Sumber: dimodifikasi dari Zulfa Simatur, Kata-kata yang Mengubah Dunia, 2013: hal. 356)