Dimasa pandemi ini kabar duka silih berganti di media sosial. Kematian menjadi biasa. Tiada yang mampu menghentikan. Hasan Aoni dari Omah Dongeng Kudus menuliskannya di akum Facebooknya dan dimuat ulang untuj pembaca Bergelora.com,–untuk mengingatkan,– betapa hidup sehat sangat penting dan berarti. (Redaksi)
Oleh: Hasan Aoni
BEGITU banyak berita kematian di dinding sosial media teman dalam setahun terakhir ini. Seorang teman bercerita, sehari lalu ia menyapa temannya yang terjangkit Covid-19, lalu mereka saling berdoa dan menguatkan. Sehari berikutnya ia menerima kabar temannya meninggal. Seorang teman lain bercerita, ia merasa gembira karena akan bertemu dengan sahabat lamanya. Janji itu tak pernah ditepati, karena dua hari kemudian sahabatnya meninggal.
Begitu singkat waktu berlalu seolah nyawa di masa pandemi tergantung di tubir tenggorokan. Batas waktu antara menggelantung dan terlepasnya tak pernah bisa dikendalikan. Bergantian peristiwa kematian kemudian terjadi: sebulan lalu tetanggaku, kemarin sore sahabatku, hari ini keponakanku, di waktu yang lain jangan-jangan giliranku?
Sejak pandemi, berita kematian sering terdengar dari sumber manapun termasuk dari toa masjid, yang sehari bahkan bisa berkumandang lebih dari lima kali adzan. Berita duka itu sesuatu yang lazim dilakukan masyarakat muslim di perdesaan atau pinggiran kota di waktu umum. Ia selain berita, juga nasihat.
Namun, tidak bagi yang terjangkit Covid-19. Lengking toa itu terdengar mencekam. Apa yang lazim dianggap sebagai kabar berubah menjadi teror. Suara itu seolah sedang mengingatkan: “Sebentar lagi giliranmu!” Kematian menjadi semacam kocokan arisan yang setiap orang akan mendapatkan giliran.
Suasana mencekam itu dirasakan terutama oleh orang yang sedang terjangkit, sampai bahkan penyintas, yang tinggal dalam lingkungan super pandemik. Bagi mereka, orang-orang di sekelilingnya adalah zombie. Kegelisahannya sampai pada tingkat tanatofobia. Sebentuk kecemasan dan ketakutan akan kematian.
Agak mengherankan awalnya ketika menyaksikan seorang teman yang sangat taat agama, patuh kepada orangtua, hidup surplus amal dan selalu tenang menghadapi setiap inci cobaan, ketika terjangkit Covid sangat takut menghadapi kematian. Sepanjang seminggu sebelum akhirnya meninggal, ia tak pernah bisa tidur. Baginya, kantuk dan tidur adalah 𝘢𝘱𝘱𝘦𝘵𝘪𝘻𝘦𝘳 dari kematian.
Kecemasan yang disebut oleh para ahli sebagai 𝘥𝘦𝘭𝘪𝘳𝘪𝘶𝘮 menjangkiti para pasien Covid dan hampir luput dari perhatian para ahli setelah sepanjang tahun berkonsentrasi mencermati dampak paru akibat virus. 𝘋𝘦𝘭𝘪𝘳𝘪𝘶𝘮 adalah kondisi ketika virus sudah menyerang otak. Membuat pengidap merasa cemas berlebihan sampai halusinatif.
Tetapi, seberapa panjang seorang ahli menjelaskan, kematian dan cara menyapanya masih tetap akan menjadi misteri yang tak terungkapkan.
Tiga teman penyintas Covid yang menceritakan pengalamannya kepada saya mengemukakan hal itu. “Banyak nasihat agar saya tidak mengalami stres. Tapi, bagaimana cara mengatasinya tidak ada panduannya. Kami melakukan isolasi mandiri dan semua keluarga terkena. Lingkungan kami sangat tidak mendukung. Saat itu rasanya saya akan mati,” ungkap salah seorang teman.
“Saya dan isteri saya melakukan isolasi mandiri. Kami hidup di perumahan. Semua penghuni perumahan rasanya seperti menunjuk hidung kami sebagai biang keladi dan kami merasa dikucilkan. Ketika membaca berita kematian teman, rasanya kematian akan datang saat itu,” kata teman lain yang tinggal di Bekasi.
Keadaan berbeda dialami teman yang satu lagi. Ia pulang ke kampung halaman isterinya di Pati saat wilayah ini diterpa zona merah. Di sana mereka terjangkit Covid. Semua keluarga dan saudaranya mendukung sampai mereka berhasil melewati fase yang paling kritis dan sembuh.
Satu kesamaan yang dialami ketiganya adalah rasa dihantui kematian. Mereka merasa kesulitan membangun dan mengendalikan 𝘴𝘦𝘭𝘧-𝘩𝘦𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨. Tidak jelas apakah virus sialan itu sudah menyerang ke bagian otak atau karena perasaan psikologis yang berlebihan. Salah seorang dari mereka berterus terang, berita kematian teman di sosial media, bahkan pengumuman dari toa masjid itu, turut membangun rasa takut akan mati.
Di tengah berseliwerannya berita kematian itu, kita yang masih terhindar dari serangan Covid-19 ini masih diberi kesempatan untuk menjaga diri agar tetap sehat dan berikhtiar. Apapun, kematian pada akhirnya akan datang, entah di masa pandemi atau nanti, dan kita masih punya kesempatan menyongsongnya dengan lebih baik. Merencanakannya dengan sangat indah seperti filsuf Jerman Heidegger menyerunya sebagai “vor laufen”, (mari) berlari menjemput kematian!
Rasanya sudah waktunya kita mulai belajar mengkrabi kematian seraya berdoa, “𝘠𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘬𝘦𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘢𝘯 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘣𝘢𝘨𝘪𝘬𝘶, 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘵𝘪𝘢𝘯 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘣𝘢𝘨𝘪𝘬𝘶.” (HR. Al-Bukhari-Muslim).
Sebab, sebagai yang hidup, “𝘒𝘦𝘮𝘢𝘵𝘪𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘭𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘮𝘶𝘪𝘮𝘶…” (al-Jumuah: 8), dalam sepi, menyapamu sendirian, dan satu-satunya teman adalah amal.