Tantangan kita masa kini dan masa depan adalah Bagaimana membangun keutuhan bangsa dengan menjalin kembali ikatan bersama, baik dalam pengorbanan maupun solidaritas, sebagaimana dulu dipersyaratkan oleh Renan. Demikian juga seperti dikatakan Anderson, bagaimana mengubah nation dari hanya “imajinasi” menjadi sebuah komunitas nyata, dimana berlangsung persahabatan yang kuat dan dalam demi terwujudnya Indonesia yang aman dan damai, Indonesia yang adil dan demokratis, serta Indonesia yang sejahtera dan menghormati HAM. Ambassador Freddy Numberi, mantan Gubernur Papua dan Founder Numberi Center menuliskannya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Ambassador Freddy Numberi
Mahatma Ghandi, berkata :“Jadilah kamu manusia yang saat kelahiranmu semua orang tertawa bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis dan pada kematianmu semua orang menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum”. (Zulfa Simatur, 2012: h.301)
LIMA PULUH DELAPAN TAHUN yang lalu, tepatnya pada tanggal 1 Mei 1963, Irian Barat (sekarang Papua) secara de facto telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi secara abinitio. Sebelumnya, pada tanggal 19 Desember 1961 dikumandangkan Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno (Bung Karno) dalam sebuah Rapat Raksasa yang dihadiri oleh sejuta massa rakyat di alun – alun Utara Yogyakarta, yang berisi Tiga Komando Rakyat yaitu :
- Kibarkan Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian. Barat,
- Bubarkan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda,
- Bersiap-siap untuk mobilisasi umum.
Momentum Trikora, mengekspresikan semangat persatuan dan kesatuan menuju sebuah negara bangsa yang utuh dari Merauke (Papua) hingga Sabang (Aceh) menuju Indonesia Baru yang lebih adil, damai, demokratis, sejahtera dan menjunjung tinggi HAM.
Dalam mencari relevansi spirit dari gema Trikora itu dalam membangun keutuhan bangsa, kita harus terlebih dulu menggali dan. mengkaji akar permasalahan yang membangkitkan semangat separatisme “Papua Merdeka” selain menempatkan spirit gema Trikora dalam setting masa kekinian dan masa depan.
Wilayah Irian Barat menjadi bagian dari koloni jajahan Belanda sejak 28 Agustus 1828 melalui Proklamasi yang ditanda tangani Komisaris Van Delden mewakili Raja Belanda Willem I (sumber : Dirk Vlasblom, 2004 : h. 61).
Kemudian koloni ini dimasukan dalam kendali Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia, melalui Staats Blad Van Nederlands – Indie Nomor 2 Tahun 1885. (60 tahun sebelum Indonesia merdeka).
Proses lanjut adalah melalui PEPERA 1969 yang kemudian disahkan oleh PBB melalui Resolusi 2504 (XXIV), tanggal 19 November 1969 adalah de jure bahwa koloni Nieuw Guinea (Irian Barat) sesuai prinsip Internasional UTI POSIDETIS JURIS milik Indonesia (John Saltford, 2003 : h. 8)
Spirit Nasionalisme Lama
Menurut Ernest Renan, seorang teoritikus Perancis, dalam esainya yang terkenal “Why a Nation ?” menyebutkan, bahwa nation adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi ikatan bersama, baik dalam pengorbanan (sacrifice) maupun dalam kebersamaan (solidarity). Sementara menurut Benedict Anderson, nation didefinisikan sebagai “sebuah komunitas politik terbayang” (an imagined political community). Nation pada awalnya lebih dalam bentuk imajinasi pikiran belaka. Namun, nation kemudian terbayangkan sebagai komunitas dan diterima sebagai persahabatan yang kuat dan dalam / deep comradership, (Benedict Anderson, 2006:hal.7) Membangun ikatan nasionalisme Indonesia, adalah nasionalisme yang diciptakan (invented) oleh para Bapak Pendiri (Founding Fathers) nation Indonesia melalui Budi Utomo (1908) dan kemudian Sumpah Pemuda (1928) telah menciptakan nasionalisme yang lintas etnis, dengan symbol bendera Merah Putih dan bahasa Indonesia.
Rakyat Indonesia, seperti juga Amerika Serikat (AS), adalah masyarakat yang amat pluralistik, baik dari segi etnisitas, bahasa ibu maupun adat budayanya. Tetapi berbeda dengan masyarakat AS yang sebagian besar (kecuali native American, Indian) adalah pendatang yang dengan kemauan sendiri mendatangi benua tersebut. Suku – suku bangsa di Indonesia adalah penduduk pribumi yang sudah ribuan tahun menghuni wilayah tertentu dalam Nusantara yang kemudian menjadi Republik Indonesia, pada 17 Agustus 1945.
Perasaan menjadi pemilik yang sah dari suatu wilayah lebih kental di antara kelompok etnis di Indonesia dibandingkan dengan rakyat AS. Maka, sungguh merupakan keberhasilan yang sangat besar dari para pendiri Negara ini untuk dapat membuat mereka makin merasa, bahwa tanah air mereka adalah Indonesia, bukan hanya Jawa, Bali, Sulawesi, Papua dan sebagainya.
Pembentukan rasa nasionalisme Indonesia sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, tentu jauh lebih sulit dibandingkan dengan AS sebagai Negara continental berupa satu daratan tanpa dipisahkan oleh lautan, kecuali dengan Hawai.
Etno-Nasionalisme
Setelah Komunisme di Uni Soviet dan sejumlah negara komunis lainnya runtuh, bersamaan dengan itu, ada harapan bagi kehidupan yang demokratis. Namun, kenyataan justru menunjukkan arah sebaliknya, memicu konflik etnik berkepanjangan. Bukannya memunculkan nasionalisme demokratis, keruntuhan komunisme tersebut malah menimbulkan nasionalisme sempit.
Merujuk pemikiran Ghia Nodia, Ketua Jurusan Filsafat politik pada Institute of Philosophy di Tbilisi, Georgia, dia mengibaratkan seperti sekeping mata uang, di mana satu sisi berwajah politik dan sisi yang lain berwajah etnik. Secara substansial, baik wajah politik maupun etnik, nasionalisme tercermin dalam ide kebangsaan. Ide kebangsaan tak beda dengan kebanggaan etnik, seperti dua sisi mata uang juga yang tak terpisahkan.
Persoalannya, sisi mana yang paling menonjol. Kebanggaan etnik terhadap asal-usul keturunan, zaman keemasan, bahasa, budaya yang peduli pada hak-hak kaum minoritas, berpotensi mendorong kehidupan yang demokratis. Sebaliknya, ketidakmampuan menjinakkan aspek keetnikan tadi, bisa mengarah pada sovinisme, rasisme atau bahkan fasisme. Kebanggaan etnik semacam itu muncul akibat tidak adanya ruang bagi pengungkapan politik etno-nasionalisme yang akomodatif bagai nasionalisme bangsa Indonesia secara utuh.
Di dalam negara yang sedang menghadapi konflik, despotism (kelaliman) dan kekerasan (represif) selalu akan ada dan berlangsung di dalam masyarakat. Jack Snyder, malah menyebut “Etno-demokrasi sebagai ancaman terhadap demokrasi yang damai“. Contohnya demokrasi etnis tidak membuat Armenia dan Azerbaijan lebih damai. Demokrasi etnis, jika tak mendapatkan perhatian, potensial menjadi semakin, radikal dan ekstrem, lalu mengarah pada etno-nasionalisme sempit, seperti gerakan separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka), GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dan RMS (Republik Maluku Selatan).
Kebangkitan Etnisitas
Menurut Samuel Huntington, dalam bukunya “The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order”, telah terjadi fenomena global, yaitu meningkatnya kesadaran identitas etnis, kultural dan agama. Modernisasi, perkembangan ekonomi, urbanisasi dan globalisasi telah mendorong masyarakat untuk memperkecil jati diri mereka dan menguraikannya kembali dengan pengertian kemasyarakatan yang lebih sempit dan intim. Jati diri subnasional etnis, komunal dan jati diri lokal diutamakan daripada jati diri nasional yang lebih luas.
Gencarnya “kebangkitan etnisitas” yang dewasa ini telah menjadi fenomena global itu, yang juga melanda panggung politik Indonesia, dan menjadi pemicu disintegrasi bangsa.
Tampilan eksistensi etnisitas dapat dibedakan dalam tiga kategori, Pertama, tuntutan pengakuan identitas etnis dalam wujud negara merdeka, seperti Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam.
Kedua, keinginan mempertahankan identitas etnis atau agama antar kelompok, seperti di Ambon, Halmahera, Poso, Sambas, dan Sampit.
Ketiga, perjuangan perlindungan hak-hak masyarakat adat terhadap eksploitasi sumberdaya alam lokal seperti Riau, Kutai atau kasus Semen Padang maupun Papua (Freeport di Timika, BP di Bintuni).
Pada kategori satu dan tiga, reaksi untuk mengcounter eksplorasi kapitalisme terhadap sumberdaya alam kelompok etnis, bisa berubah menjadi gerakan politik yang efektif. Biasanya hal ini ditandai dengan mobilisasi simbol-simbol etnis dan agama untuk memperoleh dukungan anggota-anggota masyarakat yang lebih luas.
Pada kategori kedua, konflik etnis atau agama sebenarnya terjadi di balik alasan-alasan persaingan kekuasaan dan ekonomi antara kelompok minoritas dan mayoritas. Hanya saja, karena adanya kekuatan status quo Orde Baru yang besar di balik konflik tersebut, konflik yang seharusnya diarahkan terhadap pemerintah Orde Baru saat itu (konflik vertikal), dengan cerdas dibalik menjadi konflik horizontal. Ini bisa terjadi, karena klaim etnisitas pada kategori kedua ini belum menjadi gerakan politik.
Kategori kedua ini sesungguhnya merupakan “konflik buatan” di mana kelompok yang bertikai dijadikan korban politik kekuatan status quo yang tidak menghendaki adanya reformasi.
Meski disadari oleh pihak yang bertikai, dalam realitanya konflik terus berjalan melalui usaha menggelembungkan (snow bowling) rasa permusuhan dengan menaikkan simbol-simbol etnis atau agama untuk memperoleh dukungan politik klaim-klaim keetnisan yang bersifat destruktif, sementara bila dilakukan secara terarah, aspirasi keetnisan bisa menjadi gerakan yang konstruktif dalam rangka memperkaya khasanah kebhinnekaan bangsa dan negara Indonesia.
Tidak adanya pengakuan terhadap budaya etnis disebabkan oleh karena pembangunan yang berorientasi pada kapitalisme telah memarginalisasi perekonomian rakyat etnis. Selama ini distribusi dan penataan ekonomi desa-kota, penduduk asli-pendatang, sektor tradisional-industri dan mayoritas-minoritas dirasakan tidak adil. Konflik etnis sebagai luapan ketidakpuasan, seharusnya dihadapi dan dikelola oleh negara, bukan sebaliknya diperangi karena dianggap sebagai gerakan separatisme yang akan memisahkan diri dari NKRI.
Spirit Nasionalisme Milenial
Sebagai Akumulasi dari sejarah perkembangan nasionalisme itu sendiri, nasionalisme tak jarang disebut sebagai sesuatu yang usang, ketinggalan zaman. Akumulasi itu terjadi karena nasionalisme sudah kehilangan makna dan ruhnya, ketika ia teramat sering dibajak oleh rezim demi ke-pentingan kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan yang korup dan otoriter. Konteks inilah yang menghantarkan nasionalisme menjadi meaningless, tak bermakna dan usang.
Carut-marut bangsa ini semenjak krisis moneter pada tahun 1997 akibat kehidupan berbangsa yang salah urus, telah menyebabkan rasa nasionalisme bangsa ini terkoyak. Kebijakan pembangunan yang sentralistis dan hanya berpihak pada kekuatan ekonomi konglomerat telah menafikan pemerataan. Kesenjangan menganga lebar menimbulkan kekecewaan, sehingga yang muncul adalah ketidak-percayaan masyarakat kepada elit penguasa. Ketika reformasi digulirkan, meluaplah segala bentuk kekecewaan yang selama ini terpendam. Rakyat memperoleh kebebasan yang di sana-sini kebebasan itu telah “kebablasan” sebagai buah dari eforia reformasi.
Namun, jika kita mau belajar dari masa lalu, kita pernah memiliki rasa nasionalisme yang begitu tinggi menjelang awal kemerdekaan yang disebabkan oleh tiga hal.
Pertama, bangsa Indonesia menghadapi musuh bersama, yakni penjajahan (colonial). Akibat musuh bersama ini telah membentuk rasa solidaritas yang tinggi untuk menghadapi dan mengusir musuh dari bumi Nusantara.
Kedua, berkaitan yang pertama, bangsa ini memiliki tujuan yang sama ingin menjadi bangsa yang merdeka bebas dari penjajahan (freedom).
Ketiga, karena dua hal di atas, seluruh elemen bangsa merasa senasib seperjuangan dalam menentang penjajahan (common enemy)
Dewasa ini sebenarnya kita masih memiliki ketiga hal itu, di mana yang harus dijadikan musuh bersama (common enemy) dan masih sangat garang mencengkeram kita adalah kebodohan, kemiskinan dan KKN. Maka, mobilisasi umum sebagaimana bunyi komando ketiga dari Trikora, hendaknya diaktualisasikan dalam memerangi ketiga musuh bersama itu.
Desentralisasi yang diberikan pada Papua melalui UU Otonomi Khusus nomor 21 tahun 2001, justru memunculkan korupsi yang sangat tersebar dan mewabah, pemerintahan yang dijalankan oleh oknum pejabat lokal yang tamak, serta politik uang dan konsolidasi politik gangsterisme dan tidak mencerminkan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).
Dalam konteks Papua, pertanyaan utama yang harus dikemukakan adalah “siapa yang paling diuntungkan dari desentralisasi (baca : Otsus) ? dan siapa pula yang menjadi pewaris utama dari munculnya sistem demokratis yang sangat dikendalikan oleh logika politik uang dan kekerasan politik itu ?”
Singkat kata mereka adalah predator-predator yang menyembah pada dewa ekonomi (baca : uang), dan merupakan operator-operator masa lalu yang terus bercokol di sekitar pemerintahan dewasa ini.
Kemakmuran bangsa yang tetap menjadi tujuan bersama harus terus diperjuangkan secara sungguh – sungguh diseluruh Papua dan dapat diadaptasikan dengan mendayagunakan kekayaan sumberdaya alamnya bagi sebesar-besar kesejahteraan masyarakat lokal (baca : Orang Asli Papua).
Energi inisiatif dan kreatif lokal juga akan terbebaskan, karena disingkirkannya kontrol terpusat yang mencekik atas beragam aspek kehidupan lokal. Gagasan utamanya adalah bahwa pemerintahan demokratis memerlukan landasannya yang kukuh dalam lembaga-lembaga lokal yang berfungsi dengan baik dan dapat berkembang dalam lingkungan yang terdesentralisasi. (Vedi R. Hadiz, 2005 : h. 296).
Jika demikian maka dengan sendirinya tidak akan ada tempat bagi OPM atau KKB yang sangat meresahkan masyarakat setempat untuk bisa tumbuh dan berkembang di Bumi Cenderawasih.
Dengan membersihkan gerakan OPM sampai keakar akarnya termasuk mereka yang “menyumbang dana” untuk beli senjata dan lain-lain, akan kehilangan issue sentral, sehingga diharapkan pengikutnya pun secara bertahap akan kembali ke NKRI.
Penutup
Kita Tidak Lagi mengatakan bahwa disintegrasi bangsa bisa diselesaikan hanya dengan lagu Indonesia Raya, mengibarkan Merah Putih atau mengatakan bahwa kita Bersaudara Satu Tanah Air. Disintegrasi Bangsa bukanlah penyebab, melainkan akibat dari ketidaksiapan kita mengikuti dinamika perubahan zaman. Di satu sisi semangat nasionalisme diklaim dan dibutuhkan sebagai perekat keutuhan bangsa, tetapi di sisi lain ia sesungguhnya telah kehilangan makna dan tidak bisa memberi arti terhadap eksistensi kebangsaan itu sendiri.
Thoby Mutis, mengatakan : “Arti sebagai bangsa dan warga negara Indonesia menjadi kabur, manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna” (Manajemen Kemajemukan, 2008: h. 5)
Dengan memahami dan merevitalisasi semangat nasionalisme sesuai tantangan zaman, pada hakikatnya kita telah menangkap jiwa semangat dan ruh dari Pancasila. Untuk kemudian, kita gelorakan sehingga menggema di seluruh Tanah Papua, bahkan segenap wilayah Nusantara Indonesia dari Merauke hingga Sabang, guna menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya pembangunan dimasa depan.
Tantangan kita masa kini dan masa depan adalah Bagaimana membangun keutuhan bangsa dengan menjalin kembali ikatan bersama, baik dalam pengorbanan maupun solidaritas, sebagaimana dulu dipersyaratkan oleh Renan. Demikian juga seperti dikatakan Anderson, bagaimana mengubah nation dari hanya “imajinasi” menjadi sebuah komunitas nyata, dimana berlangsung persahabatan yang kuat dan dalam demi terwujudnya Indonesia yang aman dan damai, Indonesia yang adil dan demokratis, serta Indonesia yang sejahtera dan menghormati HAM.