JAKARTA- Putri Proklamator RI, Mohammad Hatta, Meutia Farida Hatta menyesali perlakuan pemerintah yang diskriminatif terhadap bidan-bidan desa PTT (Pegawai Tidak Tetap) yang hanya mendapatkan cuti melahirkan selama 4O hari. Padahal bidan-bidan desa adalah ujung tombak pemerintah dalam memperjuangkan penurunan anka kematian ibu (AKI saat melahirkan dan angka kematian bayi (AKB). Hal ini disampaikannya dalam Workshop Nasional bertema “Peranan Bidan Desa Di Tengah Masyarakat Kekinian”, Yang diadakan oleh Forum Bidan PTT Indonesia di Cirebon, Jawa Barat, Rabu (22/12)
“Saya gak mengerti mengapa justru ada peraturan pemerintah yang mendiskriminasi para bidan-bidan desa yang selama ini paling depan berjuang untuk ibu-ibu hamil di desa-desa. Mungkin ada setan lewat, sehingga kelur peraturan semacam itu,” ujarnya.
Mantan Menteri Peranan Perempuan dan Anak 2004-2005 ini meminta agar pemerintahan Joko Widodo segera memperbaiki peraturan pemerintah yang memberatkan bagi para bidan sampai saat ini.
“Peraturan itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan agama manapun juga di muka bumi ini. Emang ada dokter-dokter obgyn yang mau bekerja di desa-desa seperti bidan? Kan kita hanya punya bidan di desa-desa. Dokter kan maunya bekerja di kota-kota besar,” ujarnya
2015, di kabupaten Cirebon, kami selenggarakan Workshop Nasional bertema “Peranan Bidan Desa Di Tengah Masyarakat Kekinian”, dengan nara sumber, Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.Jk (k), DR. Nurmala Kartini Panjaitan Sjahril, Dr. Meutia Hatta Swasono, Bidan Desa Lilik Dian Eka, MH.Kes.
Meutia Hatta juga mengecam semua peraturan daerah yang tidak menghargai kaum perempuan terutama para bidan.
“Pemerintah pusat seharusnya segera mensinkronisasi semua peraturan yang menindas kaum perempuan terutama para bidan yang bekerja di desa-desa. Justru pemerintah harus memastikan fasilitas para bidan untuk melayani rakyat di desa-desa,” tegasnya.
Mantan anggota dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) 2010-2014 ini juga meminta para bidan untuk tidak hanya menangnai persalinan ibu-ibu hamil tapi juga mendidik ibu-ibu hamil agar mengurangi resiko dalam melahirkan.
“Ada kecenderungan masyarakat menyepelekan persalinan karena sudah berkali-kali melahirkan. Padahal setiap persalinan membawa resiko sendiri-senidir pada ibu hamil,” ujarnya.
Ia juga meminta agar para bidan mengkatifkan Gerakan Sayang Ibu agar anak dapat dirawat sejak dalam kandungan, sehingga generasi mendatang memiliki kualitas hidup lebih baik.
“Ingatkan dan yakinkan untuk merawat anak dari dalam kandungan. Jangan marah-marah atau dimarahi. Aktifkan keluarga untuk mendidik anak dari kandungan. Jangan temperamental, sehingga karakter bangsa menyebabkan perempuan tertidas,” ujarnya.
Meutia Hatta menceritakan penelitiannya di Maluku pada tahun 1990 yang separuh perempuan melahirkan meninggal karena sampai 9 bulan hamil masih bekerja.
“Mereka bekerja untuk membalas mas kawin yang sudah dibayar mahal oleh keluarga suami, sehingga resiko bekerja dalam kehamilan 9 bukan membawa kematian,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu juga, Ketua Umum Pengurus Pusat Forum Bidan Desa PTT (Pusat) Indonesia, Lilik Dian Eka menyampaikan bahwa dalam momentum Hari Ibu 22 Desember 2015 kali ini amat terasa bagi seluruh bidan desa khususnya bagi bidan yang masih berlabel Pegawai Tidak Tetap (PTT).
“Namun suasana ketidakpastian kerja justru tidak menyurutkan langkah puluhan ribu bidan desa yang tetap bekerja mengabdi di tengah lingkungan paling terpencil,” ujarnya.
Ia menyatakan bahwa Bidan-bidan desa PTT tidak akan gentar berhadapan dengan berbagai persoalan keseharian di daerah-daerah konflik, perbatasan, perairan, dengan kondisi masyarakat yang mendiami 34 provinsi terentang di 17.500 pulau di Indonesia, dan sedikitnya terdapat di 76 ribuan kelurahan/desa seluruh Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa Forum Bidan Desa PTT (Pusat) Indonesia turut memeringati Hari Ibu, sejak 87 tahun lalu diselenggarakannya Kongres Perempuan Pertama, 22 Desember 1928 di Jogyakarta yang berhasil menyerukan tuntutan terhadap pemerintahan kolonial Belanda, dan berhasil mendobrak feodalisme dan konservatisme yang mengurung perempuan di ruang domestik.
“Kesadaran bahwa permasalahan-permasalahan yang dialami perempuan, berupa berbagai sikap diskriminatif, ketimpangan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dan budaya, tak akan berakhir tanpa perubahan arah kebijakan politik yang semestinya melibatkan kaum perempuan di Indonesia,” tegasnya.
Semangat perubahan dalam Kongres Perempuan Pertama ini menurutnya semakin relevan diperlukan di masa kini terutama baig bidan-bidan desa.
“Salah satunya, kami ingin koncern terhadap kesehatan Ibu dan anak yang, mempengaruhi generasi penerus pembangunan di masa mendatang. Generasi kurang gizi, tingginya angka kematian ibu dan angka kematian bayi telah menjadi force major dan berlangsung akut,” paparnya
Workshop Nasional bertema “Peranan Bidan Desa Di Tengah Masyarakat Kekinian”, dengan nara sumber, Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.Jk (k), DR. Nurmala Kartini Panjaitan Sjahril, Dr. Meutia Hatta Swasono, Bidan Desa Lilik Dian Eka, MH.Kes. (Web Warouw)