JAKARTA- Kecewa terhadap berbagai peraturan Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang semakin mempersulit rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan janji konstitusi, anggota Komisi IX DPR-RI, dr. Ribka Tjiptaning menegaskan agar pemerintah Joko Widodo segera membenahi lembaga yang selama ini telah menelan dana besar dari APBN, APBD, pengalihan dana PT Askes, PT Jamsostek, perusahaan, pekerja dan menarik iuran langsung dari peserta BPJS.
“Saya mengecam dan mengkritik aturan baru BPJS kesehatan berkaitan dengan menonaktifkan kepersertaan BPJS kesehatan bila menunggak sebulan iuaran dan pembayaran iuaran harus semua anggota keluarga yang tercantum dalam Kartu Keluarga,” ujarnya kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (25/9).
Tjiptaning mempertanyakan kemana semua dana tersebut selama ini, sehingga harus membuat peraturan yang justru mempersulit masyarakat yang seharusnya menjadi tanggung jawab BPJS Kesehatan.
“Aturan itu nyata-nyata memberatkan keuangan para peserta BPJS mandiri, terutama yang berpendapatan menengah ke bawah. Dan itu pasti akan berpotensi banyak peserta akan menunggak, dan pada gilirannya akan membuat masyarakat tidak bisa menggunakan BPJS karena dinonaktifkan. Inikan namanya perampokan uang rakyat,” jelasnya.
Jelas-jelas kebijakan itu akan menggagalkan BPJS Kesehatan yang menjalankan universal coverage. Sehingga BPJS Kesehatan hanya akan dimiliki oleh sebagian
masyarakat Indonesia, tidak seluruh rakyat Indonesia.
“Kalau kebijakan itu tetap ngotot dilanjutkan, maka pemerintah harus memberikan solusi. Solusinya peserta BPJS Kesehatan PBI (Penerima Bantuan Tunai) harus dinaikkan,” tegasnya.
Menurutnya, pemerintah juga harus membuka peluang peserta mandiri yang tidak sanggup membanyar iuaran sesuai ketentuan baru untuk beralih menjadi PBI. Untuk itu, pemerintah harus memberikan prosedur yang jelas akan mudah mengurusnya.
“Segera tunjuk lembaga atau intitusi mana yang akan mengurusi PBI. Sehingga masyarakat tidak bingung setelah kartunya dinon aktifkan oleh BPJS karena tidak sanggup bayar,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa kalau tidak ada jalan keluar terhadap peraturan BPJS tersebut menurutnya lebih baik, pemerintah meninjau ulang Undang-Undang SJSN dan UU BPJS karena justru menyengsarakan rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara maksimal dan sempurna.
“Kita harus jujur, kalau Undang-undang dan sistimnya bener, gak mungkin seperti ini pelaksanaannya yang justru menyulitkan masyarakat, dokter dan rumah sakit. Ini urusan kesehatan berhubungan dengan nyawa rakyat. Jangan main-main dengan nyawa rakyat,” tegasnya.
Menambah Keuntungan
Dalam Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No. 16 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penagihan dan Pembayaran Iuran JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) disebutkan pada Pasal 19 :
(1) Peserta dan Pemberi Kerja, wajib membayar Iuran Jaminan Kesehatan kepada BP.IS Kesehatan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.
(2) Dalam hal terdapat keterlambatan pembayaran Iuran Jaminan Kesehatan lebih dari 1 (satu) bulan sejak tanggal 10 (sepuluh) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penjaminan Peserta diberhentikan sementara.
(3) Pemberhentian sementara penjaminan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan status kepesertaan aktif kembali apabila Peserta; a. membayar iuran bulan tertunggak paling banyak untuk waktu 12 (dua belas) bulan; dan b. membayar iuran pada bulan saat Peserta ingin mengakhiri pemberhentian sementara jaminan.
Menanggapi hal ini, Pengurus Nasional Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), Tutut Herlina mengingatkan bahwa sebagai sebuah lembaga asuransi BPJS tentu ingin menambah keuntungan terus menerus. Sehingga tidak mungkin menuntut agar BPJS akan mengurus pelayanan kesehatan masyarakat.
“Tujuan BPJS sudah jelas mengumpulkan dana baik langsung dari iuran masyarakat, perusahaan, APBN dan APBD. Dana yang dikumpulkan digunakan untuk investasi, bukan untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Jadi jangan mimpi BPJS memprioritaskan mengurus pelayanan kesehatan masyarakat. Semua ada di UU SJSN dan UU BPJS,” tegasnya. (Web Warouw)