Oleh : Ubaidillah Achmad
Tulisan ini, penulis persembahkan untuk menyambut acara akbar “Srawung Kaum Muda Lintas Agama” yang akan diadakan pada hari Minggu, 5 Maret 2017 Pk. 10.00-selesai di Wisma Perdamaian. Agenda acara ini dimaksudkan untuk bersuara bersama kaum muda dan aktivis lintas Iman yang melibatkan tokoh agama se Jawa Tengah untuk menolak Radikalisme Agama dan memohon kepada pemerintah bersikap tegas kepada semua gerakan radikalisme agama.
Sebagai bentuk dukungan akademik penulis pada agenda acara ini, berikut perspektif keabsahan menolak semua gerakan radikalisme agama, karena ISIS dan gerakan radikalisme bukan gerakan Islam, namun lebih tepat disebut gerakan komunalisme atau fasisme komunal, yang tidak boleh berkembang di negara Pancasila yang menganut keragaman.
Secara spesifik, ada lima alasan mengapa gerakan ISIS itu gerakan yang didasarkan pada ideologi fasis bukan gerakan yang sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Ideologi fasis, adalah ideologi yang menghalalkan kekerasan atas nama kehendak kuasa atau siatem kekuasaan yang sedang dibangun oleh setiap penguasa yang mampu membangun relasi kuasa yang tidak seimbang.
Berikut ini akan dipaparkan model model ideologi fasisme ISIS yang tidak menunjukkan ciri dari prinsip ajaran Islam:
Siapa ISIS itu? Islamic State yang lebih dikenal dengan nama Islamic State Irak and Syria (banyak versi dalam bahasa Inggris) atau dalam bahasa arab دوله الاسلاميةفي العراق والشام (Daulah Islamiyyah fie Iraq wa Syam) di deklarasikan sebagai Negara Kekhalifahan –Negara yang di atur sesuai dengan hukum Islam– pada 29 Juni 2014 oleh sang pemimpin utama (Khalifah) Abu Bakar al Baghdadi.
Mengapa ISIS bukan ISLAM? Secara teoritis, prinsip Islam memiliki sifat yang sangat khas, yaitu mengarahkan, membimbing, dan mencerahkan. Islam tidak mengajarkan intervensi kepada pihak lain dan kehendak kuasa. Karenanya, sebagai contoh ajaran bersedekah atau memerdekakan budak, harus disesuaikan dengan standar yang tidak melanggar hak kemanusiaan, baik hak orang yang bersedekah maupun hak yang orang menerima sedekah.
Prinsip Islam sudah diajarkan oleh para Nabi, termasuk 25 Nabi dan Rasul. Prinsip Islam didasarkan pada ajaran ketuhanan (monotheistik), sehingga semua pengikut Ketuhanan atau agama Tauhid memiliki sifat ajaran atau kepercayaan yang sudah menjadi bagian sebagai pengikut Islam. Prinsip ketuhanan ini menegaskan seseorang sebagai subjek yang memiliki kebebasan yang terbatas pada kekuasaan Allah. Artinya, manusia itu memiliki otonomi atau hak kemerdekaan dihadapan sesama umat manusia dan kehambaan dihadapan Tuhan yang Esa (Allah Al Ahad).
Prinsip ketuhanan ini, telah dijalankan oleh para Nabi dan penerusnya dengan penuh kasih sayang dan saling memanusiakan manusia. Berbeda dengan prinsio pengikut agama ketuhanan, bentuk pandangan dan perilaku ideologi fasis berkerja untuk kepentingan dan kekuasaan pribadi dan golongannya sendiri, yang dalam konteks tertentu, telah dibuktikan dengan ancaman dan konflik politik.
Prinsip Islam tidak mengajarkan agar merubah kultur, karakter, dan mental bangsa yang sudah bernilai universal. Islam merupakan prinsip nilai yang bisa berkembang atau tumbuh bersama nilai kearifan lokal atau budaya masyarakat.
Karenanya, ajaran ideologi fasis dikatakan berbeda dengan ajaran Islam, karena semua ideologi fasis hanya bernilai benar bagi individu tertentu dan komunitas tertentu. Ideologi fasis tidak bernilai universal dan selalu bertentangan dengan kearifan lokal.
Islam sebagai kenangan kehadiran risalah kenabian, telah mengajarkan prinsip kasih sayang antara sesama umat manusia. Islam dengan tegas menolak aksi masyarakat pada setiap zaman kenabian yang berupa: terorisme, radikalisme, ekstrimisme. Islam meneguhkan keseimbangan pola pikir, sikap mental, gaya hidup, dan sikap dan perilaku sehari-hari yang ramah terhadap sesama.
Beberapa kasus tindakan kekerasan yang bersumber dari dalil fasisme, adalah menyebarkan isu provokatif terkait aksi terosisme, Misalnya, mengirimkan pesan bernada ancaman lewat email, ancaman pengeboman di sejumlah tempat yang merugikan seluruh umat manusia.
Ajaran Islam dapat dipahami dari prinsip Gus Dur, yaitu agama yang tidak mengajarkan untuk membenci orang yang tidak bisa membaca al-Qur’an, Jika seseorang membenci orang karena tidak bisa membaca Al Quran, berarti telah menuhankan Al Quran. Hal yang sama, tidak boleh membenci orang karena berbeda agama, tidak boleh membenci orang karena melanggar moral. Mengapa? karena Allah menerima semua makhluk yang harus kita merdekakan bersama dalam kehidupan kutub bumi ini.
Fasisme ISIS Bukan Islam
Adanya pembahasan sub ini, karena didasarkan anggapan kebanyakan orang yang menganggap gerakan ISIS adalah gerakan Islam. Alasannya, orang yang mengaku Islam, namum melakukan sadisme dan mengancam kemanusiaan sudah tidak Islam lagi. Kekerasan merupakan perilaku atau model aksi Iblis yang berhasil menerakkan kekerasan atau pengrusakan terhadap relasi suci kosmologi: Tuhan, Manusia, dan Alam Raya.
Wajah kekerasan terhadap kemanusiaan dan pengrusakan terhadap lingkungan ini yang disebut pada zaman Nabi dengan istilah kafir. Asal usul sejarah istilah kafir ini, yang kemudian diartikan sebagai orang yang ingkar terhadap prinsip Islam dan prinsip kebenaran. Berikut ini di antara beberapa tesis fasisme ISIS dan bukti yang menunjukkan keingkarannya terhadap Islam dan prinsip kebenaran :
Pertama, ISIS mengajarkan gerakan anti monotheistik dan menekankan prinsip komunalisme yang terpusat pada kehendak kuasa pemimpin. Sistem ini membutakan para pengikut ISIS keranjingan terhadap visi kehendak kuasa. Para pengikut ISIS tidak tahu visi tersembunyi ISIS: apakah karena politik konspirasi atau mainan koorporasi global?
Sedangkan Islam mengajarkan prinsip saling mengenal dan kasih sayang antar sesama, sehingga tidak ada hegimoni antar umat manusia. Islam mengajarkan kekuasaan Allah yang mengajarkan cinta dan kasih sayang yang berlaku universal dan penghargaan terhadap kearifan lokal. Kasih sayang bukanlah perintah kehendak kuasa, namun keharusan sebagai bentuk kesadaran. Kasih sayang itu berlaku universal yang dapat bersentuhan dengan keutamaan dan kearifan lokal.
Kedua, ISIS mengajarkan melawan perbedaan dengan kekerasan dan kebencian kepada sesama umat manusia. Sementara itu, Islam menerima perbedaan yang sekiranya tidak menimbulkan kebencian dan pertumpahan darah. Perbedaan yang menimbulkan konflik dapat diselesaikan dengan cara resolusi konflik (Islah). Prinsip yang mudah dipahami dari Islam, di antaranya boleh berpandangan dan bersikap berbeda, namun perbedaan itu tidak boleh menggangu pikiran dan program yang telah direncanakan dengan visi (alghayyah) yang baik. Artinya, pikiran dan program tetap berlanjut sesuai dengan koredor visi ketuhanan dan kemanusiaan.
Ketiga, ISIS merupakan gerakan komunalisme yang telah mengeluarkan pihak yang berbeda dengan prinsip komunal sebagai bukan Islam. Istilah Islam pada gerakan ISIS hanya menjadi. Dengan kata lain, Islam telah dijadikan ISIS sebagai pembungkus gerakan komunalisms yang berideologi fasisme, yang menghalalkan kekerasan terhadap pihak lawan atau yang bukan kelompoknya. Gerakan Komunalisme ISIS ini, telah mengajarkan ideologi kebenaran kepada orang lain yang didasarkan pada prinsip “tetapi” bukan kelompok sendiri. Mereka yang bukan kelompok sendiri harus hangus dan mendapatkan perlakuan kekerasan seks dan sistem perbudakan versus tradisi kenabian yang membebaskan dan yang mencerahkan.
Keempat, ISIS mengajarkan sikap gerakan menguasai dan menghegimoni, bukan sikap yang sesuai dengan asas cinta dan ketulusan melahirkan sajak sajak jiwa. Sedangkan, Islam mengajarkan cinta yang abadi dan cinta yang tidak terbatas, Islam mengajarkan prinsip kebebasan yang disimbolkan pada sumber kebenaran: Allah dan Muhammad. Hal ini, harus melahirkan sikap tanggung jawab dan amanah menerima cinta dan ketulusan hidup bersama kekasih dan handaitolan. Cinta dan kasih sayang ini merupakan bukti nyata yang seharusnya dibuktikan oleh mereka yang mengaku Islam.
Kelima, ISIS mengajarkan arti kehendak kuasa dan mengabaikan rahasia kehendak Allah. Sedangkan, Islam mengajarkan agar menusia mengikuti kehendak Allah, bukan mengikuti kehendak sendiri yang sudah terdistorsi dengan kehendak komunaliame. ISIS bukan Islam, karena ISIS memilih subjek dampingan berdasarkan ras, suku, suka atau tidak suka. Sedangkan, Islam mengajarkan untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang meminta perlindungan, apakah orang itu sedang mengalami suasana yang dibenarkan oleh agama dan moral atau orang itu sedang mengalami suasana yang disalahkan oleh agama dan moral? Pertolongan tidak mengenal ras dan agama.
Allah memiliki sifat Rahman yang mengajarkan agar semua orang merasakannya. Semua orang berhak menaburkan kehendak Rahmaninyah. Sebagai bentuk dari kesadaran puncak, karena pada hakiktnya Allah yang menggerakan hati seluruh umat manusia yang harus diterima dengan lapang.
Karenanya, menolak orang yang sedang bersalah yang sangat membutuhkan pertolongan berarti telah menolak kehendak Allah. Jadi, tidak boleh mengabaikan untuk memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkannya. Tidak menolong karena alasan adanya kesalahan yang dialami oleh seseorang, adalah perbuatan yang tidak baik. Adanya kesalahan seseorang, bukan berarti harus menolak kemanusiaannya.
Islam Rahmat Semesta
Islam memberikan kesempatan kepada orang lain untuk hal berikut: pertama, memberikan kesempatan pendidikan sesuai dengan ajaran agama yang diyakini. Kedua, memberikan kebebasan kepada setiap pembaca teks kewahyuan, bahkan jika ada yang memang mampu untuk mencoba membuat teks tandingan yang sama dengan wahyu al quran. Berbeda dengan Islam, bagi gerakan komunalisms ISIS yang berideologi fasis menolak pemberian kesempatan kepada umat bergama untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Gerakan komunalisme menghalalkan sikap diskriminasi terhadap pihak yang lain atas nama ISLAM.
Islam tidak hanya dibangun dari sistem berfikir, namun juga harus dibangun dari sistem keyakinan dan hidayah. Antara keyakinan dan berfikir tidak bisa dipaksakan, diseragamkan, dan disamakan di tengah kehidupan masyarakat. Meskipun demikian, antara berfikir dan keyakinan dapat menempatkan hakikat Islam sebagai pencerah dalam konteks kehidupan bermasyarakat.
Islam bukan agama yang mengedepankan sikap bangga terhadap diri sendiri dan arogan terhadap kelompok lain. (Kullu hizbin bimaa ladaihim farihun). Islam sebagai agama (ad-diin) sama dengan konteks keberagamaan (at-tadayyun). Artinya, antara undang undang ketuhanan (Ad diin) harus sesuai dengan pelaksanaan undang-undang yang dibuat oleh manusia (at tadayuun). Banyak ilmuwan muslim dan para sosiolog yang membedakan antra agama dan beragama, misalnya dengan menegaskan, bahwa agama itu ajaran murni yang bersumber dari teks. Sementara itu, keberagamaan sudah bercampur dengan model dan pola aksi subjek sesuai dengan faktor kesejarahannya.
Islam rahmatan lil’alamin tidak pernah membedakan arti istilah dalam konteks akulturasi dan integrasi kebudayaan masyarakat. Jika sikap yang dapat menjadi rahmat bagi semesta adalah keniscayaan dan menjadi prinsip keutamaan Islam, maka mengapa harus memperdebatkan arti dan relasi agama dan keberagamaan dalam masyarakat? bukankah agama yang baik itu membebaskan dan mencerahkan individu dan masyarakat. Sebaliknya, model keberagamaan itu sangat memerlukan nilai nilai yang diajarkan agama.
Apa relasi Islam dan agama? Islam prinsip nilai yang mengajarkan kepasrahan, ketundukan, dan kecondongan kepada Allah dan prinsip kebenaran yang bersumber dari Allah. Sementara itu, agama menjadi sistem berfikir dan bersikap yang didasarkan pada jalan lurus atau jalan kebenaran, yang tidak berbelok pada komunalisme dan fasisme komunal.
Komunalisme dan fasisme komunal ini yang selalu mengisi sejarah dengan menjarah semua yang menjadi legitimasi kebenaran yang sudah mengakar di masyarakat. Artinya, sering kebenaran menjari kedok gerakan kekerasan untuk mendapatkan pembenaran dan dukungan masyarakat.
Mereka yang percaya kepada agama pun banyak yang terkelabuhi kebenaran yang terjarah oleh kepentingan komunal dan fasisme komunal. Misalnya, banyak umat Islam yang percaya ISIS, adalah gerakan Islam meskipun tidak memperjuangkan prinsip Islam. Justru, perjuangan ISIS, adalah perjuangan berdasarkan hantu komunalisme atau fasisme komunal yang kian redup dan nyala serta nayala redup kembali.
Sehubungan dengan fenomena adanya kekerasan atas nama agama Islam, maka membutuhkan kesadaran dari umat Islam untuk membedakan antara kepentingan komunalisme dan fasisme komunal dengan prinsip Islam dan risalah kenabian yang bersinar terang menyinari kutub bumi ini. Cahaya Islam ini bersumber dari prinsip monotheistik yang suci dan agung.
NU dan Islam Nusantara
Mengapa NU memunculkan Islam Nusantara? Karena NU ingin menunjukkan Islam yang ramah terhadap keutamaan dan kebaikan serta semua model kearifan lokal di Nusantara. Prinsip ini didasarkan pada sumber sejarah kenabian yang tidak pernah mengganti kearifan lokal. Prinsip kesejarahan Islam nusantara ini bersumber dari keutamaan tradisi kenabian, baik keutamaan yang sudah diajarkan oleh Nabi Adam hingga Nabi Muhammad dan keutamaan lokal sepanjang sejarah manusia.
Sejarah panjang kenabian yang mengisi sejarah kutub bumi ini, telah menjadi dasar atau alasan NU: mengaoa tidak konfrontatif terhadap nilai dasar (core values) masyarakat. Dalam sejarah Nabi Muhammad, telah banyak diungkap dalam Teks Wahyu, Hadis Nabi, dan piagam madinah. Dalam sejarah kenabian ini, Nabi Muhammad menunjukkan penghargaan kepada tradisi dan budaya yang membentuk core values masyarakat madinah.
Nabi Muhammad memahami tradisi masyarakat Arab ada keutamaan dan kebaikan yang harus bertahan, ada budaya, ada moral yang membentuk kepribadian dan pilihan hidup yang baik. Nabi Muhammad membedakan antara yang komunalisme arab dengan yang menjadi model kearifan dan moral baik masyarakat Arab. Istilah moral berasal dari bahasa latin “mores”, berarti adat kebiasaan, sesuai dengan ide umum tentang tindakan manusia, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Misalnya, penggunaan jilbab, penghargaan pada tamu.
Sehubungan dengan dasar kesejarahan risalah kenabian ini, Islam Nusantara telah diperjuangkan organisasi para Ulama di Indonesia yang dikenal dengan Nahdlatul Ulama. Hal ini bertujuan untuk melawan Radikalisasi Agama dan mereka yang melakukan kekerasan atas nama ISLAM.
*Penulis seorang Dosen UIN Walisongo Semarang, Penulis Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng, Khadim Majlis Kongkow As Syuffah Sidorejo Pamotan Rembang