Sabtu, 24 Mei 2025

NGERIK…! Covid-19, WHO, BPOM dan Bisnis Farmasi, Raup Untung Rp28 Triliun per Bulan

JAKARTA- Penanganan penyebaran pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19) di seluruh dunia, membuktikan betapa kejamnya diktator bisnis farmasi dan langkah World Health Organization (WHO), serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) khusus di Indonesia.

“Ngawur. Itulah pekerjaan BPOM. Ya karena ketuanya tidak paham sama sekali dengan yang namanya obat, makanan, sayur, jamu, herbal, biokimia, biologi. BPOM sama sekali tidak tahu apa beda NaCl dengan H2O atau WHO. Tidak tahu sama sekali. Kalau tidak percaya lakukan door stop. Gelagapan. Pasti,” kata pegiat media sosial dan pengamat politik, Ninoy K Karundeng, Selasa, 6 Julii 2021.

Kontroversi terkait penutupan PT Hansen Pharmaceuticals oleh BPOM karena kepentingan politik. Penny K Lukito, Kepala BPOM, bukan untuk kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia. Penny K Lukito, adalah perwakilan politik.

Artinya ditunjuk untuk kepentingan jabatan politik. Padahal BPOM bukan BUMN, yang boleh dipimpin oleh orang yang buta terhadap obat-obatan dan makanan.

“Betapa tidak. BPOM yang diisi oleh para ahli birokrat kesehatan yang sudah lama malang-melintang di dunia obat-obatan, dengan bekerja sama dengan berbagai pihak, paham terhadap para mafia, bisa memilih kawan dan lawan, dipimpin oleh orang yang buta medis, buta obat, buta prosedur kedokteran. Runyam,” ungkap Ninoy K Karundeng.

Kepentingan Bohir

Penny K Lukito yang masuk ke sarang para raja dan ratu yang menguasai seluruh persoalan di BPOM. Penny yang awam menjadi mainan anak buah. Tanpa ampun Penny Lukito dikendalikan oleh kepentingan para bohir.

Penny K Lukito masuk ke perangkap kebodohan. Hingga segala tindakannya tidak efektif. Dia memimpin BPOM hanya sebagai boneka kepentingan.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir atau Presiden Joko Wiodo, semestinya memilih orang yang punya latar belakang medis, kedokteran, biologi, farmasi, atau dukun sekali pun. Bukan memilih Penny yang tidak paham soal medis dan obat.

Tugas politik dan jabatan politik jangan dimasukkan di BPOM yang membutuhkan expertise khusus. Bukan hanya manajemen. BPOM bukan BUMN seperti Kementerian yang hanya jabatan politis.

Tak apalah Presiden menunjuk Menteri Kesehatan orang perbankan. Namun bukan untuk BPOM yang lembaga teknis. Akibatnya Penny menjadi bulan-bulanan kebodohan. Karena dia dikendalikan oleh anak-buahnya yang kadang kurang kerjaan dan bahkan bisa nekad kurang ajar.

Tak apalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo, menjadi Komut Pertamina, meskipun dia bukan ahli perminyakan. Karena posisi di Pertamina adalah jabatan politis.

“Seperti Erick Thohir mengangkat orang yang pas sesuai keahliannya. Alex diangkat menjadi Direktur Utama Rekind sudah benar sesuai expertise-nya,” kata Ninoy K Karundeng.

“Lah, Penny Lukito sebaiknya dipecat saja. Ganti seorang dokter atau apoteker atau tabib penjual obat lebih mumpuni dibandingkan dengan Penny Lukito. Ini hanya saran saja untuk Presiden Joko Widodo. Karena jelas Penny K Lukito adalah the wrong woman in the wrong place. Ganti dengan penjual obat atau parfum,” ujar Ninoy K Karundeng.

Tergantung Impor

Erizely Bandaro, pegiat media sosial, pelaku bisnis dan pengamat politik, mengatakan, ekosistem bisnis farmasi mampu seenaknya merelease produk baru dan secara ekosistem orang dipaksa untuk membeli dan yang lama ditarik lagi lewat update.

“Tidak ada yang bisa protes. Kenapa? Pharmaci dapat backing dari WHO untuk membuat aturan. Melanggar standard operasional prosedur dari WHO kena banned,” ujar Erizely Bandaro.

Mirisnya, di Indonesia, lebih dari 90% bahan baku obat tergantung pada impor. Jika dilihat dari data, tahun 2000 hingga 2018, sebanyak 35 perusahaan farmasi besar melaporkan pendapatan kumulatif $11,5 triliun, laba kotor $8,6 triliun, Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization (EBITDA) $3,7 triliun, dan laba bersih $1,9 triliun.

“Sementara 357 perusahaan S&P 500 melaporkan pendapatan kumulatif $ 130,5 triliun, laba kotor $42,1 triliun, EBITDA $22,8 triliun, dan laba bersih $ 9,4 triliun. Kalau trend pendapatan perusahaan non pharmasi cenderung menurun akibat krisis namun perusahaan pharmasi terus meroket ke atas,” ungkap Erizely Bandaro.

Dalam model regresi bivariabel, margin laba tahunan rata-rata perusahaan farmasi secara signifikan lebih besar daripada perusahaan S&P 500. Margin laba kotor pharmasi 76,5% sementara non pharmaci 37,4%.

Dikatakan Erizely Bandaro, mengatakan, perbedaan, 39,1% atau laba kotor perusahaan pharmasi dua kali lipat lebih dibandingkan dengan bisnis non pharmasi. Yang hebatnya dari total pendapatan 35 perusahaan raksasa pharmasi dunia itu 60% berasal dari 10 industri pharmasi.

Dari 10 perusahaan itu, ada 6 adalah perusahaan Amerika. Hanya satu dari China, 2 Swiszerland, 1 lagi Denmark”

Ambil contoh, Johnson&Johnson, yang merupakan raksasa yang berada di puncak piramid bisnis pharmasi, unya MarCap sebesar USD395 billion.

Itu hampir sama dengan Product Domestic Product (PDB) Thailand. Bayangkan, kehebatan mereka. Hanya satu perusahaan saja tetapi kedigdayaan assetnya sama dengan PDB satu negara.”

Menurut Erizely Bandaro, industry pharmacy menguasai dari sejak riset, pengadaan bahan baku, sampai ke pada distribusi. Praktis mereka menciptakan ekosistem bisnis yang memaksa orang harus membeli kalau orang pergi ke dokter atau ke rumah sakit.

Apalagi adanya tekanan dari WHO agar seluruh negara memberikan sistem jaminan kesehatan nasional, yang tentu mengikuti SOP-WHO- seperti kasus pandemi Covid-19, maka industri pharmasi sebenarnya penguasa dunia.

Mereka menjadi sandaran bagi semua manusia di planet bumi ini, yang tentu pada waktu bersamaan menjadi ancaman. Dengan cara itulah mereka menciptakan laba dan semua bisnis yang menjadi bagian dari ekosistem pharmasi pasti tajir.

Dikatakan Erizely Bandaro, jika berkaitan dengan bisnis maka hadapi secara bisnis, namun harus ada dukungan polical will dari pemerintah.

Tiga peluang yang sangat mungkin kita bisa mandiri. Pertama, Indonesia merupakan pasar obat obatan terbesar di Asia Tenggara. Per bulan total penjualan obat sebesar USD3,43 milliar atau setara dengan Rp28 triliun.

Sebagian besar atau 90% obat obatan itu adalah produk import. Ini peluang bagi kita untuk membangun kemandirian indusri. Pasar ada, apapun bisa dilakukan. Karena ada uang berputar.

Indonesia Captive Market

Kedua, sistem jaminan kesehatan nasional seperti Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) adalah potensi pasar besar dan captive bagi pemicu lahirnya industri pharmasi nasional.

Dengan captive market seperti itu, berapapun dana pasti bisa diadakan untuk pembiayaan industri pharmasi.

Ketiga, akibat Covid-19, political will dari Presiden Joko Widodo, sudah ada agar kita mandiri.

“Ya dengan tiga hal itu, kita bisa menghadapi hegemoni big pharmaci,” kata Erizely Bandaro.

Bisa ambil contoh India dan China. Mereka sangat paham pentingnya kemandirian di bidang pharmasi. Maklum, kalaulah kedua negara ini pharmasinya tergantung asing, dengan penduduk di atas 1 miliar maka bisa bangkrut mereka oleh kapitalis pharmasi.

Itu sebabnya industri kimia bahan baku obat di china dan India sangat longgar regulasinya dan pabrikan mendapat subsidi dari pemerintah agar industri pharmasi bisa menghasilkan produk yang efisien.

Bukan rahasia umum bahwa hampir setiap obat sintetis yang dapat dibeli di dunia ini secara legal atau ilegal, mulai dari katarsin hingga obat steroid sampai obat jantung yang diresepkan dokter, berasal dari China dan India.

“Bahkan melalui situs web China, anda bisa memesan fentanil sejenis obat aditif penyebab kematian bila overdosis,” ujar Erizely Bandaro.

Iran juga termasuk negara yang mandiri dalam hal pharmaci. Lembaga riset Iran termasuk yang paling maju dalam meneliti sel punca.

Itu bisa dimaklumi karena Iran diembargo secara ekonomi atas prakarsa Amerika Serikat (AS). The Nature Conservancy (TNC) bidang Pharmasi salah satu yang solid berada di belakang negara AS dan Eropa yang merupakan pemilik paten obat.

Belajar Dari China

Di China pengobatan tradisional dilegitimasi Negara dan dilaksanakan secara sistematis. Pendidikan dokter di berbagai universitas mengajarkan secara utuh pengobatan tradisional ini.

Di Guangzhou University of Chinese Medicine (GZUCM) yang merupakan universitas terbaik di China yang menyediakan program dokter dan specialis khusus pengobatan cara tradisional.

Mereka juga memberikan materi pelajaran mengkombinasikan cara Barat dan China, yang made in China. Kini ada 113 negara didunia mengirim mahasiswa kedokterannya belajar di berbagai universitas di China.

Dunia international mengakui kehebatan china menjadikan kekuatan akar budaya sebagai sebuah system kemandirian khususnya dibidang kesehatan.

Untuk memperluas variasi obat obat yang berstandar Lab , pemerintah menyediakan pusat riset terbaik dibidang herbal dan memberikan dukungan dana riset kepada universitas.

Dengan demikian China memiliki standard klinis modern untuk menjadikan herbal sebagai obat modern berstandar Food Drug Administration (FDA), sehingga obat herbal China bisa masuk prime market seperti Apotik dan toko obat terakreditasi internatiobal, dan bersaing dengan obat obatan dari industry Pharmasi berkelas TNC.

Mungkin bagi seseorang yang American or western minded akan mengatakan herbal atau jamu adalah keterbelakangan. Tapi pasien Rumah Sakit Herbal di bawah Guangzhou University of Chinese Medicine (GZUCM) banyak didatangi pasien dari luar negeri china. Kata saya.

“Sementara kita, pabrik Jamu Nyonya Meneer dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga karena gagal bayar hutang. Saya sudah menduga bahwa ini akan terjadi. Hanya masalah waktu saja,” kata Erizely Bandaro.

Dikatakan Erizely Bandaro, sebelumnya sudah banyak industri jamu baik sekala modern maupun rumahan yang gulung tikar. Itu sejak ada obat generik, minat orang untuk menjadikan jamu sebagai alternatif berkurang.

Karena apabila sakit biaya obat tidak begitu mahal. Jadi tidak diperlukan jamu untuk menjaga kesehatan dan juga tidak di perlukan jamu sebagai obat alternatif.

Puncaknya ketika berlakunya SJSN dimana berobat gratis asalkan ikut BPJS dan orang miskin ditanggung preminya , jamu semakin tidak mendapat tempat sebagai obat alternatif. Standar Operasional Prosedur (SOP) BPJS mengharamkan obat tradisional sebagai alternatif obat modern.

Tapi entah mengapa pemerintah tidak melihat potensi BPJS untuk memacu kemandirian di bidang pharmasi. Dana sponsor dari industri pharmasi itu mengalir sampai ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang merancang undang-undang kesehatan dan BPJS.

Itu triliunan rupiah uang ditebar untuk para elite politik. Makanya sangat sulit membabat mafia pharmasi ini. Mainnya halus dan kejam. Setiap upaya kemandirian industri pharmasi lokal pasti hanya masalah waktu akan tumbang karena kebijakan pemerintah.

Pailitnya Jamu Nyonya Meneer adalah puncak dari gagalnya produk lokal bersaing dengan produk import, yang merupakan bukti bahwa pemerintah bagian dari ketidak mandirian bidang pharmasi.

Jatuhnya industri herbal bukan hanya di Indonesia tapi juga di Amerika Serikat. Walau pengobatan herbal digandrungi oleh sebagian besar rakyat Amerika Serikat yang tidak terjangkau system layanan kesehatan.

Namun , kecaman dari lembaga swadaya masyarakat yang berafiliasi Industri Pharmasi sangat gencar. Mereka berusaha melobi pemerintah untuk melarang kegiatan pemasaran herbal dan bahkan industry obat tradisional sengaja dihalangi lewat kebijakan ketat dari FDA.

Terjadi pro dan kotra dimasyarakat soal ini. Sampai kini terus berlangsung ditengah kebingungan pemerintah memberikan solusi comprehensive di tengah ketidakberdayaan anggaran kesehatan.

“Ya, Indonesia sama dangan Amerika Serikat yang sudah dalam cengkraman mafia pharmasi dan sulit untun bisa lepas,” ungkap Erizely Bandaro.

Sebetulnya keadaan China tidak jauh beda dengan ndonesia. Bahwa Indonesia sangat kaya akan keaneka ragaman obat obatan tradisional dan telah pula diyakini oleh rakyat sejak ratusan tahun sebagai pengobatan yang efektif.

Namun, selama berpuluh tahun industri jamu tidak didukung berkembang sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Tidak ada program by design dari pemerintah menjadikan obat tradisonal mampu bersaing dengan obat dari TNC.

Menurut Erizely Bandaro, di Indonesia tidak ada universitas mengajarkan mata kuliah jamu dan menjadikan herbal sebagai standar pengobatan modern. Tidak ada pusat riset Pemerintah di bidang jamu untuk melegitimasi jamu sebagai obat resmi berstandard SOP Rumah Sakit.

Tidak ada jamu yang bisa masuk obat pasar first grade? Apakah ada Rumah Sakit merekomendasikan kepada dokter agar menulis jamu dalam resep? Tentu tidak mungkin.

Karena bukan rahasia umum lagi, di balik kebijakan pelayanan kesehatan terdapat agenda konspirasi antara Pemerintah, Indusri Pharmasi, Rumah Sakit, Perusahaan Asuransi, untuk mengeruk keuntungan dari si sakit.

“Ya, sebuah bisnis yang melibatkan triliunan rupiah, dan tentu hanya memperkaya segelintir orang, dan potensi besar pengobatan tradisional Indonesia harus menerima fakta kalah dilindas zaman,” kata Erizely Bandaro.

Jamu Nyonya meneer adalah bagian dari saksi bisu bahwa dalam banyak hal kita kalah. Kita sulit meniru China, India atau Thailand, atau Iran. Mereka mandiri dari segi kesehatan karena mereka lebih tahu bagaimana seharus mengobati sakit rakyatnya.

Erizely Bandaro, mencium aroma teori konspirasi. Padahal hakikatnya sederhana. Political will. Masalah pharmasi harus diselesaikan secara politik. Kalau tidak, kita tidak bisa menghindari ekosistem bisnis yang memeras.

“Political will Presiden Indonesia, Joko Widodo, sudah ada. Semoga dengan adanya Covid-19 ni mendulang hikmah dengan adanya reformasi total tata niaga dan industri pharmacy,” ujar Erizely Bandaro. (Aju)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru