JAKARTA – Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebut Elon Musk berpeluang meraup pendapatan minimal Rp2,2 triliun per bulan dari pasar Indonesia, dengan harga layanan dan perangkat internet yang makin murah.
Elon Musk kabarnya menyiapkan antena ground segment Starlink yang lebih mungil dengan harga 50% lebih murah dibandingkan dengan perangkat yang ada saat ini.
Sekretaris Umum APJII Zulfadly Syam mengatakan APJII telah memprediksi bahwa layanan yang diberikan oleh Starlink atau Elon Musk hanya pembuka jalan saja. Pemerintah disebut gagal paham soal besarnya pasar potensial yang akan diambil Elon Musk.
Sesuai dengan survei APJII, penduduk yang melek internet ada 79,5% dari total populasi di Indonesia. Artinya, ada 221 juta penduduk di Indonesia yang pengguna internet.
“Katakanlah, secara konservatif, Elon Musk dengan berbagai macam teknologinya akan mencoba mengambil pasar Indonesia minimal 10%, dari jumlah penduduk yang melek internet di Indonesia. Artinya ada 22 juta pengguna,” kata Zulfadly kepada Bisnis, Kamis (20/6/2024).
Zulfadly menambahkan jika satu perangkat atau layanan dijual dengan keuntungan paling kecil Rp100.000, maka dalam sebulan, keuntungan yang didapat Elon Musk mencapai Rp2,2 triliun.
“Bisa dibayangkan betapa kelirunya pemerintah di dalam menata ini, memberikan resources kita dengan begitu mudahnya ke Elon Musk dan mereka bisa dapat besar banget dari itu,” kata Zulfadly.
Masuk Puskesmas
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, tidak hanya itu, Zulfadly juga menyinggung perihal Starlink untuk puskesmas di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (3T).
Menurutnya, Elon Musk memiliki perhitungan matang tentang peluang pendapatan yang bisa dia raup.
“Potensi market di daerah 3T memang masih cukup besar, karena di beberapa lokasi/posisi itu memang membutuhkan. Jadi kalau dikatakan apakah untung, itu tergantung dari kali banyaknya seperti apa,” kata Zulfadly.
Dia menuturkan jika melihat dari perhitungan-perhitungan yang ada, Elon Musk bukan menyasar wilayah 3T, melainkan daerah urban dan perkotaan. Dugaan tersebut diperkuat dengan harga layanan Starlink yang sebesar Rp750.000 per bulan untuk paket termurah.
“Karena pada dasarnya basis kita kan kapitalis. Jadi kalau sudah mendapatkan satu keuntungan, tidak mungkin tidak akan melebarkan sayap ke daerah-daerah yang lebih ramai,” kata Zulfadly.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) Jerry Mangasas Swandy mengatakan banyak negara di dunia, selain China, yang melarang Starlink. Beberapa alasannya karena keamanan dan melindungi pemain dalam negeri.
“Pelindungan terhadap perusahaan di dalam negeri dan Starlink adalah salah satu pemain sangat vertical menguasai dari roket, manufaktur satelit, manufaktur ground segment, terminal dan servicesnya, sehingga perusahaan apapun di indonesia sulit menciptakan playing field yang sama,” kata Jerry.
CEO X dan SpaceX, Elon Musk mengungkap akan meluncurkan Starlink Mini dalam beberapa bulan ke depan ke area tertentu. Starlink Mini ini hadir dengan ukuran seperti tablet, yakni 11.4 inci x 9.8 inci. Harga bakal makin murah dan muat di ransel.
Dilansir dari PCMag, Selasa (18/6/2024), akhir pekan lalu, perusahaan merilis pembaruan pada aplikasi Starlink, yang kabarnya menyertakan halaman untuk produk yang akan datang.
Dalam cuitan di platform X, seorang insinyur di Ukraina Oleg Kutkov mengatakan dia dapat mendekompilasi pembaruan untuk menemukan gambar resmi antena Starlink Mini. Gambar tersebut mengonfirmasi bahwa model Starlink Mini akan menjadi versi yang lebih kecil dan lebih portabel dari antena parabola Starlink standar V4 saat ini.
Kedua perangkat memiliki fitur kick stand. Namun, Mini Dish seharusnya seukuran Apple MacBook, menurut dokumen FCC.
Elon Musk pun ikut mengomentari gambar tersebut dan mengklaim dirinya sudah menggunakan perangkat Starlink Mini melalui luar angkasa. Bahkan, dia juga menyebut Starlink versi mini dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam ransel.
“Butuh waktu kurang dari 5 menit. Mudah dibawa dalam ransel. Produk ini akan mengubah dunia,” tulis Elon Musk dalam akun X miliknya.
Investasi Hanya 30 Miliar
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, menilai penerbitan izin Starlink di Indonesia dilakukan investigasi oleh Ombudsman.
Hal ini seiring terungkapnya nilai investasi Starlink di Indonesia cuma Rp 30 miliar dan hanya merekrut tiga pegawai yang terdaftar. Berbeda dengan raksasa teknologi lainnya, seperti Apple dan Microsoft yang mencapai triliunan.
Menurutnya, modal Starlink untuk melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi layanan tertutup VSAT (Jartup VSAT) dan izin penyelenggara jasa internet (ISP) dinilai tak masuk akal.
“Apa iya modal sebesar itu cukup untuk membangun usaha Jartup VSAT dan ISP? Padahal industri telekomunikasi memiliki karakteristik high capex dan high expenditure. Apakah masuk akal karyawan yang dibutuhkan hanya tiga orang saja? Menurut saya itu sangat tidak mungkin,”ungkap Trubus dalam pernyataan tertulisnya.
Disampaikan Trubus bahwa modal yang dikeluarkan penyelenggara jartup VSAT dan izin ISP seharusnya lebih dari Rp 30 miliar. Dengan dapat melayani seluruh pelanggan di seluruh Indonesia, maka Starlink semestinya membutuhkan minimal sembilan stasiun Bumi yang dijadikan hub.
Sebagai informasi, sebagai perbandingan minimal investasi untuk satu stasiun Bumi seperti yang dilakukan oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Kominfo untuk Satria-1 bisa mencapai USD 5 juta atau setara Rp 82,4 miliar.
Selain itu, setidaknya layanan internet berbasis satelit milik Elon Musk itu juga membutuhkan lebih dari tiga Network Operation Center (NOC), dimana satu NOC membutuhkan minimal 15 orang tenaga kerja per hari (3 shift). Sedangkan, nilai investasi untuk sat NOC tak kurang dari USD 1 juta atau sekitar Rp 16,4 miliar.
“Masa investasi Starlink kalah sama pengusaha ISP. Masa jumlah karyawan Starlink di Indonesia jauh di bawah ISP kecil yang ada di Indonesia. Sehingga kehadiran Starlink di Indonesia tidak ada manfaatnya sama sekali. Kalau hanya untuk menyediakan akses internet di daerah 3T, Kominfo juga sudah punya Satria-1,” tutur Trubus.
Trubus menilai minimnya modal dan mudahnya izin yang diterima tanpa melihat kewajaran nilai investasi di perusahaan telekomunikasi membuktikan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengabaikan prosedur (maladministrasi).
“Kuat sekali dugaan maladministrasi pada penerbitan izin penyelenggaraan telekomunikasi Starlink. Kayaknya ada tekanan politik luar biasa yang dialami Kominfo ketika penerbitan izin Starlink ini,” kata Trubus.
“Harusnya Ombusdman dan APH dapat melakukan investigasi mendalam pemberian izin Kominfo tersebut. Menurut saya ini tak wajar dan terkesan instant. Maladministrasi itu mengarah perilaku koruptif,” pungkasnya (Calvin G. Eben-Haezer)