Minggu, 20 April 2025

Panglima TNI Buka Program TNI Mendengar

JAKARTA-Setiap orang normal pasti bisa mendengar tetapi mendengar menjadi sulit ketika seseorang hanya mau didengar dan tidak mau mendengar serta membuka ruang dalam diri kita untuk memberikan kepada orang lain menyampaikan apa yang dipikirkannya.  Masalah mendengar dan didengar bukanlah di telinga tetapi adanya di hati.  Demikian dikatakan Panglima TNI Jenderal Moeldoko ketika membuka kegiatan “Program TNI Mendengar” tahun 2015 dengan tema “Ketahanan di Bidang Energi dengan Berbagai Permasalahan dan Solusinya”, di Aula Gatot Subroto, Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur. Kamis (12/3).

Lebih lanjut Jenderal TNI Moeldoko menyampaikan bahwa, hal yang sangat sulit dari mendengar adalah ketika proses selanjutnya hanya berhenti pada mendengar belaka. Orang mengerti apa yag didengar belum tentu memahaminya. Pemahaman memang memerlukan kerja yang lebih dari seorang manusia selain melibatkan kecerdasan berpikir juga melibatkan aspek kepribadian yang lain dan orang yang telah melewati proses pemahaman belum tentu juga mampu berempati dengan apa yang telah dipahaminya.

“Empati membutuhkan kepekaan dan kecerdasan emosi untuk berada di pihak lain tanpa terjerumus di dalamnya dan yang ber-empatipun belum tentu juga  mampu untuk melakukan aksi dan tindakan yang membutuhkan kemampuan yang lain yang lebih dari sekedar empati”, ujarnya.

Selanjutnya Panglima TNI mengajak seluruh para Perwira yang hadir menuju kearah paradigma baru dalam berkomunikasi. Paradigma lama yang dianut oleh TNI adalah lebih senang memberikan direction satu arah dan sulit mendengarkan orang lain, oleh karenanya harus membangun untuk lebih banyak mendengar  dan banyak beraksi.

“Paradigma kedua bahwa komunikasi dan informasi sekarang tidak bisa dikendalikan, tidak seperti jaman dulu yang bisa diatur-atur,” tegasnya.

Sementara itu dalam pemaparannya pakar migas Dr. Abdul Muin menjelaskan, terkait kelangkaan sumber energi di Indonesia makafaktor fundamental sebagai penyebab mengapa terjadi kondisi krisis Migas di Indonesia

“Selama beberapa dekade ini Indonesia tidak memiliki Kebijakan Pengelolaan Energi Strategis yang komprehensif dan terpadu,” tegasnya.

Ia melanjutkan bahwa tidak adanya suatu Perencanaan Jangka Panjang yang memadai, workable, konsisten berkelanjutan dan berimbang dengan kepentingan publik lainnya

“Kebijakan dari berbagai departemen masih bersifat sektoral, terlalu berorientasi kepada target jangka pendek, tumpang tindih dan lemah koordinasinya,” jelasnya. Pengelolaan pelistrikan yang relatif parah menurutnya karena pengadaan pembangkit listrik di masa lalu dominan berbasiskan energi fosil yang “murah. “kebijakan untuk menyiapkan “Spare Capacity” yang memadai untuk mengamankan kebutuhan minyak dan gas untuk domestik dalam situasi “emergency” masih terabaikan.

Orientasi Rutin

Upaya penghematan/efisiensi konsumsi energi, terutama BBM katanya belum tersentuh secara jelas. Pengelolaan hasil/revenue dari sumber energi Migas cenderung berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan rutin belanja negara (APBN), sehingga alokasi dana bagi pengembangan infrastruktur dan kegiatan eksplorasi relatif terabaikan cukup lama dan.

“Kebijakan fiskal juga cenderung untuk lebih mengoptimalkan penerimaan negara (pajak) secara sektoral dalam jangka pendek, sehingga tidak merangsang (kontra produktif) bagi pengembangan energi alternatif jangka panjang yang berkesinambungan,” ujarnya.

Selanjutnya mengenai kegagalan Indonesia dalam mengelola sumber daya alam, menurut Dr. Abdul Muin mengutip dalam World Petroleum Congress tahun 2008 adalah disebabkan oleh korupsi, buruknya pengelolaan hasil penerimaan dari Migas atau dikenal sebagai “Dutch Disease” serta tidak adanya azas pemerataan dan keadilan. 

“Terkait dengan tantangan, pemerintah mendatang di sektor energi adalah  pasokan minyak bumi dan BBM yang defisit, pasokan gas domestik yang terus meningkat juga akan terancam, kapasitas kilang penghasil BBM stagnan, beban subsidi BBM dan listrik yang terus meningkat, upaya diversifikasi dan effisiensi BBM tersandera kebijakan subsidi BBM dan  listrik, kondisi sektor listrik sudah lampu merah,” ujarnya.

Sementara tantangan utama tata pengelolaan energi dan ketahanan energi di Indonesia saat ini menurutnya adalah dinamika tata kelola politik dan pemerintahan kedepan, kualitas lembaga/institusi yang semakin menurun, sistim multi partai (konflik kepentingan meningkat), otonomi daerah (high cost economy), akselerasi pengurasan SDA, kepastian hukum, perencanaan, sistim pengendalian dan  pengawasan lemah.

Kemudian untuk mengantisipasi krisis Migas kedepan, Dr. Abdul Muin membagi dalam jangka pendek-menengah yaitu denganmengamankan proyek-proyek strategis Migas On-Going?.

“Penting untuk tetap mendorong Pertamina untuk merealisasikan potensi cadangan yang dimilikinya, optimalisasi pengelolaan sisa cadangan Migas existing, akuisisi ladang Migas potensial overseas (khususnya OPEC), memperbaiki tata kelola bisnis gas yang masihtimpang, optimalisasi koordinasi stake holder yang terkait dalam menangani kendala-kendala eksternal, penataan secara menyeluruhyaitu SKKMigas, ESDM, dan BUMN terkait,” paparnya/

Untuk jangka menengah-panjang, yaitu: studi dan evaluasi prospek dari cekungan-cekungan frontier yang belum di eksplorasi, rangsangan kebijakan agar para investor Migas mau melakukan eksplorasi di wilayah/cekungan baru serta kegiatan eksploitasi lanjut, pengembangan potensi sumber daya non-konvensional, pengembangan energi alternatif secara lebih serius dan upaya efisiensi energi harus ditangani dengan koordinasi yang maksimal guna menahan laju konsumsi Migas kedepan.

Program TNI Mendengar Tahun 2015 diikuti 200 orang Pamen terdiri dari 45 Pamen dari TNI AD, 40 Pamen TNI AL, 30 Pamen TNI AU, dan 85 Pamen dari Balakpus Mabes TNI serta penanggap berjumlah 17 orang (Enrico N. Abdielli)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru