GUNUNGKIDUL – Wacana Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana untuk menjadikan serangga seperti belalang dan ulat sagu sebagai menu dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) menuai tanggapan beragam dari masyarakat Gunungkidul. Banyak yang menganggap wacana tersebut tidak realistis. Pasalnya, harga kedua serangga itu tergolong mahal.
Bahkan ada warga Gunungkidul yang menertawai rencana tersebut Hendra Ary, warga Kapanewon Wonosari, menyebut rencana tersebut tidak masuk akal. Harga belalang dan ulat di wilayah Gunungkidul bahkan lebih mahal daripada daging ayam atau sapi.
“Ngawur itu. Kalau mau ngomong, lihat dulu kondisi di lapangan. Harga belalang di sini kayak emas, masa mau dimasukkan ke MBG dengan anggaran cuma Rp10 ribu?” ujar Hendra, Senin (27/1/2025).
Ia menambahkan, satu toples belalang goreng yang berisi sekitar 15 ekor bisa mencapai harga Rp35 ribu. Sementara itu, ulat seperti ulat jati juga memiliki harga yang tinggi dan cenderung musiman.
Hal serupa diungkapkan Hendro Ary, warga Paliyan. Menurutnya, selain mahal, tidak semua belalang dan ulat bisa dikonsumsi. Bahkan, belalang yang biasa dikonsumsi di Gunungkidul kini semakin sulit ditemukan.
“Kalau ulat itu musiman, sedangkan belalang sering didatangkan dari luar daerah. Jadi, kalau dipakai untuk menu MBG, ya tidak mungkin,” ungkapnya.
Tak Sesuai Realita
Sri Hawa, seorang produsen belalang goreng asal Ngawen, Gunungkidul, menilai wacana tersebut tidak realistis. Wanita yang sudah belasan tahun berkecimpung di bisnis kuliner ekstrem ini menyebut bahwa harga belalang dan ulat sangat tinggi, jauh di atas anggaran program MBG.
“Belalang hidup saja harganya sudah Rp190 ribu per kilogram. Kalau sudah dibersihkan dan dimasak, harganya bisa sampai Rp400 ribu per kilogram. Kalau ulat, per kilogramnya Rp180 ribu. Jadi, dengan anggaran Rp10 ribu, jelas tidak mungkin,” tegas Sri.
Ia menjelaskan bahwa konsumsi belalang di Gunungkidul biasanya dilakukan dengan cara berburu langsung, bukan membeli. Permintaan belalang pun cenderung meningkat saat musim liburan, meskipun saat ini sedang menurun akibat daya beli masyarakat yang melemah.
“Banyak yang pesan belalang itu justru dari perantau Gunungkidul. Tapi sekarang sepi karena banyak yang kena PHK,” tambahnya.
Diusulkan Jadi Kelinci Percobaan
Sebelumnya, netizen ramai-ramai mengkritik Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana yang membuka peluang serangga seperti belalang dan ulat sagu jadi menu program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Ada juga netizen di media sosial X yang mengusulkan keluarga Dadan Hindayana menjadi kelinci percobaan makan serangga gratis.
“Sudah lah pak kalau kebijakan makan gratis tidak ada dana batalkan aja masa siswa sekolah di kasih makan serangga, keluarga bapak aja yg jadi kelinci percobaan,” kata netizen @DidiOppo71***, Senin (27/1/2025).
Hal senada juga dikatakan oleh akun @Ridwanhusa15***.
“Coba aja dulu makan serangga nya biar di live kan agar menjadi contoh buat makan gizi gratis… Aneh,” katanya.
Pendapat serupa disampaikan oleh akun @dp_koesmi***.
“’Menjadi makanan gratis bergizi di daerah tersebut’. Jadi, karena pejabatnya bukan dari daerah tersebut, lauknya bukan serangga? Jangan gitu Pak. Membeda-bedakan jatah itu gak baik. Walau pun pejabat bukan dari daerah tersebut, layak bapak ikut nyoba makan,” tuturnya.
“Luar Biasa Ide Kepala Badan Gisi Nasional. Bagaimana Kalau Lu Jadi Bahan Uji Coba Menu Serangga?“ ujar akun @Ary_Pras***.
Ada juga netizen yang mempertanyakan anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Emang dana buat makan gizi gratis dikemanain , sampe-sampe mau dikasih makan serangga,” kata akun @ArmanA76***.
Kepasa Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sebelumnya, Badan Gizi Nasional (BGN) membuka peluang untuk memasukkan serangga ke dalam menu program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sejumlah daerah).
Langkah itu dilakukan lantaran serangga bisa menjadi sumber protein.
“Mungkin saja ada satu daerah suka makan serangga (seperti) belalang, ulat sagu, bisa jadi bagian protein,” kata
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Sabtu (25/1/2025).
Kendati demikian, Dadan menilai serangga menjadi alternatif menu dalam program MBG. Apalagi, kata dia, bila ada sejumlah daerah yang terbiasa memakan serangga.
“Itu salah satu contoh ya, kalau ada daerah-daerah tertentu yang terbiasa makan seperti itu, itu bisa menjadi menu di situ,” katanya.
Dadan menegaskan BGN tak menetapkan standar menu nasional, melainkan standar komposisi gizi. Ia pun menilai, sumber protein tergantung pada potensi sumber daya lokal di suatu daerah.
“Nah, isi protein di berbagai daerah itu sangat tergantung potensi sumber daya lokal dan kesukaan lokal. Jangan diartikan lain ya,” kata Dadan.
“Karena kalau di daerah yang banyak telur, ya telur lah mungkin mayoritas. Yang banyak ikan, ikan lah yang mayoritas, seperti itu. Sama juga dengan karbohidratnya, kalau orang sudah terbiasa makan jagung, ya karbohidratnya jagung. Meskipun nasi mungkin diberikan juga,” imbuhnya. (Web Warouw)