Minggu, 20 April 2025

Pembangunan PLTA Cisokan Adalah Kejahatan Kehutanan

JAKARTA- Kemampuan PLN (Perusahaan Listrik Negara) dalam membangun proyek PLTA Upper Cisokan yang berkapasitas 4 x 260 Mega Watts sangat meragukan. PLN dalam membangun Access Road (jalan hantar) PLTA Cisokan sepanjang 27,3 km sejak bulan Januari 2013 adalah illegal.  Hal ini disimpulkan dari hasil investigasi lapangan, Jaringan Nasional Indoensia Baru (JNIB), 1-4 Desember  2015 lalu.

 

Pembangunan jalan itu menurut Ketua Bidang Advokasi JNIB, Harli Muin,   hanya didasarkan pada izin prinsip yang di keluarkan oleh Kementerian Kehutanan. Padahal sebagian lokasi proyek jalan tersebut mewajibkan PLN memiliki izin pinjam pakai lahan, berdasarkan kententuan Permenhut Nomor : P.16/Menhut-II/2014 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

“Akibat dari pembangunan Acces Road PT PLN telah mengubah bentangan alam, merusak kawasan hutan,” ujarnya.

Pembangunan ini menurutnya merupakan bagian dari rangkaian pre-kontruksi pembangunan PLTA Upper Cisokan yang dikerjakan PT PLN. Kegiatan ini merupakan tindak pidana kejahatan kehutanan seperti yang tertuang dalam pasal 50 dan pasal 78 Undang-undang No.41 tahun1999.

Dari data yang dikumpulkan, JNIB, menurut Harli Muin,  izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang dikeluarkan oleh Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan sampai Maret 2014, PT PLN tidak terdaftar sebagai pemegang izin pinjam pakai kawasaan hutan untuk pembangunan PLTA Upper Cisokan.

“Masalah lain adalah pembebasan lahan untuk kepentingan umum tidak mendasarkan pada  pasal 37, Undang-undang No.2/2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam aturan ini, penyelesaian pembebasan lahan diberi waktu paling lama dua tahun” katanya.

Sementara hingga saat ini, menurut Harli Muin, Tim P2T belum menyelesaikan pembebasan lahan, karena beberapa hal, antara lain kesepakatan harga dan luas areal tanah warga yang akan memperoleh penggantian belum ada akta kesepakatan antara PT PLN dan WTP (Warga Terkena Dampak) yang di sahkan oleh BPN setempat.

Pembebasan lahan, menurut, Judin, salah satu dari sekian warga korban terdampak ganti rugi tanah, pengukuran tanah yang dilakukan P2T tidak pernah mengkonfirmasi luas lahan masyarakat yang diukur.

“Misalnya luas lahan miliknya 900 M2, namun oleh tim P2T ditentukan, sepihak menjadi 400 M2. Contoh lain, tanah sawah miliknya, seluas 400 M2, namun setelah diukur P2T hanya dilaporkan seluas 200 M2,” kata Juddin.

JNIB melalui Harli Muin, minilai kinerja yang dilakukan oleh Tim P2T dalam hal pembebasan tanah tidak profesional. Sosialisasi yang dilakukan tidak merata kesemua WTP (Warga yang Terkena Dampak) yang masuk dalam pemetaan lokasi Pembangunan PLTA.

Harli Muin menambahkan selain pemindahan dan pemukiman kembali Warga yang desanya akan di tenggelamkan untuk pembangunan Upper Dam dan Lower Dam. Tim P2T juga mempunyai kewajiban untuk melakukan pendampingan dan pelatihan pra dan paska pemukiman warga.

“Hentikan sementara pembangunan PLTA Upper Cisokan sampai semua yang menjadi ketentuan dan kewajiban PT PLN dilaksanakan,”  demikian Harli Muin. (Enrico N. Abdielli)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru