JAKARTA- Dalam keadaan seperti saat ini, pemerintah pusat harus kuat. Kalau lemah daerah-daerah mudah digoyang dan bergolak. Ini berbahaya bagi kesatuan dan persatuan bangsa. Hal ini disampaikan oleh Ahli hukum tatanegara, Yusril Ihza Mahendra kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (3/12).
“Namun Pemerintah yang kuat bukan berarti diktator, zalim dan sewenang-wenang. Kuat berarti pemerintah punya ketegasan sikap, taat hukum dan konstitusi serta mengambil keputusan yang tepat pada saat yang tepat pula,” ujarnya.
Ia mengingatkan sewaktu awal reformasi, pemerintah pusat sering ragu-ragu dan lambat ambil keputusan. Daerah-daerah pun bergolak. Timtim lepas, Maluku, Poso dan Sampit dilanda kerusuhan etnis.
“Pengambilan keputusan yang tepat dan cepat memang sangat perlu karena momentum yang tepat jarang berulang kembali,” ujarnya.
Pemimpin menurutnya harus cerdas, lebih cerdas dari orang biasa. Karena cerdas, dia bisa mengambil keputusan yang tepat pada saat yang tepat pula.
“Kalau kecerdasannya hanya rata-rata atau bahkan lebih rendah dari orang biasa, sia-sia dia diangkat jadi pemimpin. Jangan sia-siakan momentum, karena momentum jarang terulang untuk kedua kalinya,” tegasnya.
Ketika sang pemimpin sedang berada di puncak dukungan dan harapan, menurutnya, jangan sia-sia kan momentum itu untuk berbuat sesuatu yang spektatuler.
“Jika momentum lepas, dukungan bisa berubah jadi perlawanan, simpati berubah jadi antipati. Waspadai kenyataan ini. Ini berlaku bagi semua pemimpin. Waktu yang tersedia bagi mereka sangat sedikit. Jangan sia-siakan waktu untuk hal-hal yang kurang perlu,” katanya.
Sebelumnya Yusril mengingatkan agar Presiden Joko Widodo seharusnya menyediakan waktu sedikitnya 3 jam sehari untuk membaca setiap laporan bawahan, intelejen dan surat-surat masuk. Semua laporan dan surat masuk tersebut sudah disortir dan dibuat summary dan telaah oleh mensesneg untuk mengurangi beban Presiden.
“Presiden harus tanda tangani surat-surat pada waktu yang tepat, apalagi RUU. Jangan ada yang terlambat,” tegasnya.
Terhadap semua laporan dan surat dari bawahan harus menurutnya didisposisi oleh Presiden yang berisi arahan apa yang harus dilakukan bawahan. Mensesneg atau Seskab meneruskan arahan Presiden tersebut kepada bawahan sesuai bidang tugasnya.
“Presiden harus hati-hati dalam menyiapkan produk peraturan perundang-undangan, mulai dari RUU, RPP dan Perpres. Tugasi Menkumham untuk koordinasikan setiap rancangan peraturan perundang-undangan dan lakukan harmonisasi,” tegasnya.
Ia mengingatkan, produk perundang-undangan jangan ada yang tabrakan satu sama lain. Dalam hal penugasan pembahasan RUU di DPR ada baiknya menteri teknis didampingi Menkumham agar RUU ada harmonisasi.
“Jika perlu Presiden bisa mengangkatWamenkumham Bidang perundang-undangan agar lebih fokus tangani pembangunan norma hukum,” ujarnya. (Tiara Hidup)