JAKARTA- Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian RI adalah institusi pertahanan dan keamanan negara yang bertugas melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, bukan justru menjadi tameng kekuasaan zolim yang menindas rakyat. Pemerintahan Jokowi-JK harus bertanggungjawab atas meninggalnya M. Arif (Ari) di Makassar dengan mengusutnya secara tuntas kematian akibat kekerasan aparat kepolisian. Hal ini disampaikan oleh aksi berbagai elemen di Jakarta, Senin (2/12)yang menuntut pembatalkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
“Kami menuntut cabut UU Migas No. 22 Tahun 2001. Laksanakan pasal 33 UUD 1945. Kobarkan terus api perlawanan, bersatu dan bergerak, tegakkan Trisakti,” demikian Koordinator Lapangan Iskohar Bara Api kepada Bergelora.com.
Menurutnya, pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait kematian Mohammad Arif (Ari) pemuda 17 tahun putra dari anggota Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Makassar, yang meninggal akibat represi aparat kepolisian saat aksi massa mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar yang menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tanggal 27 November 2014 sungguh mengecewakan rakyat Indonesia.
“Jokowi mengatakan bahwa kematian Ari merupakan urusan kepolisian, dan selain itu pengamanan demonstrasi kenaikan harga BBM juga diperbantukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) . Jokowi sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan sudah selayaknya bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh institusi kepolisian yang mengakibatkan hilangnya nyawa seorang anak Bangsa Indonesia,” tegasnya.
Selain itu menurutnya, aparat Kepolisian bertindak layaknya menghadapi penjahat terhadap rakyatnya sendiri.
“Polri adalah Institusi Negara yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom bagi rakyatnya, bukan malah menjadi alat kekuasaan Pemerintah untuk menindas rakyatnya,” tegasnya.
Menurutnya, Ari yang berasal dari keluarga miskin sangat merasakan dampak dari naiknya harga BBM, menjadi hal yang wajar ketika dia terlibat dalam aksi massa bersama mahasiswa untuk menolak kebijakan Pemerintah yang menaikkan harga BBM, karena mengakibatkan harga-harga bahan pokok yang lain juga melonjak.
“Lebih dari itu, BBM juga menyangkut kegiatan sektor produksi rakyat, seperti pertanian, nelayan, industri rumah tangga, dan lain-lain. Kalau BBM dinaikkan biaya produksi sektor tersebut akan ikut naik, dan bisa mematikan sektor produksi rakyat,” jelasnya.
Kenaikan harga BBM juga menurutnya berpengaruh ke sektor industri. Ini akan memacu kenaikan biaya produksi.
“Dan, bagi pengusaha, supaya margin keuntungan tetap terjaga, pilihannya adalah menaikkan harga barang hasil produksi atau memangkas upah pekerja,” jelasnya.
Program-program yang diberikan kepada pemerintah untuk mengatasi lonjakan kenaikan harga BBM seperti penambahan alokasi anggaran untuk pertanian, pembangunan, pendidikan, dan kesehatan bukanlah hal yang substansi.
“Indonesia kaya energi. Masalahnya pasca pemberlakuan UU Migas No. 22 Tahun 2001 sumber-sumber energi kita dikuasai oleh asing: sekitar 85-90% ladang minyak kita dikuasai perusahaan asing,” ujarnya.
Selain itu menerutnya, kenaikan harga BBM hanyalah kedok pemerintah untuk mendorong liberalisasi di sektor hilir. Untuk diketahui subsidi BBM mengganggu mekanisme pasar penjualan BBM. Sehingga korporasi SPBU asing sulit berkompetisi di dalam negeri.
“Kalau harga BBM jadi dinaikkan oleh Pemerintah, SPBU asing akan berlomba-lomba masuk ke dalam pasar Indonesia seperti Shell (Belanda), Petronas (Malaysia), dan Total E & P (Perancis),” ujarnya.
Saat ini saja menurutnya, setelah naiknya harga BBM, pengguna kendaraan bermotor lebih memilih mengisi bahan bakar di SPBU asing seperti Shell (Super Extra), Petronas (Primax 95) Total E&P (Performance 95) yang memiliki nilai oktan lebih tinggi daripada premium milik Pertamina. Apalagi dengan turunnya harga minyak dunia yang berujung turunnya harga bahan bakar minyak non-subsidi. Disaat selisih harga dengan BBM Pertamina menipis, masyarakat akan memilih SPBU asing.
“Jadi, jelaslah bila kebijakan kenaikan harga BBM adalah ‘pesanan’ pihak asing yang ingin mendominasi bisnis ritel BBM di Indonesia. Alasan ‘mulia’ dibalik kebijakan ini, seperti penghematan anggaran tampak tak lebih dari penyesatan belaka, karena APBN justru lebih terbebani oleh utang Negara,” ujarnya.
Berdasarkan ‘kesesatan-kesesatan’ tersebut, maka kebijakan kenaikan harga BBM sebagai bagian dari upaya liberalisasi hilir migas ini harus ditolak. Kebijakan ini hanyalah ‘lampu hijau’ bagi pihak asing untuk meraup keuntungan dari industri migas nasional.
“Disamping itu, kampanye penolakan kenaikan harga BBM itu harus dibarengi dengan tuntutan pencabutan UU Migas No.22/2001 yang berhaluan liberal. Sebab UU inilah yang menjadi akar dari problem pokok yang ‘membelit’ industri migas negeri ini, yakni dominasi asing dari sektor hulu hingga hilir,” ujarnya.
Aksi ini diikuti seluruh pimpinan Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (NPBI), dan Serikat Tani Nasional STN). (Calvin G. Eben-Haezer)
Â