JAKARTA- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa tindakan penahanan yang dilakukan terhadap Florence Sihombing tidak beralasan dan bertentangan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
ICJR mengatakan bahwa penahanan harusnya tidak perlu dilakukan karena tidak ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran adanya kemungkinan terdakwa melarikan diri, mengulangi perbuatan dan menghilangkan barang bukti,.
“Florence ini sudah jelas latar belakangnya. Dapat ditelusuri keberadaannya. Untuk apa ditahan? Apa dasar atau indikator keadaan yang menimbulkan kekuatiran kepolisian? Ini tidak masuk akal,” ujar peneliti ICJR, Anggara kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (1/9).
Ia menilai bahwa penahanan pada Florence, hanyalah berdasarkan alasan ancaman hukuman lebih dari 5 tahun. Florence dikabarkan dikenakan dakwaan berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan atau Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang ancaman pidananya 6 Tahun penjara.
Anggara menegaskan bahwa penahanan tersebut hanya akan menyebarkan rasa takut di kalangan masyarakat dan berpotensi mengekang kebebasan berekspresi, karena ancaman nyatanya adalah dapat dilakukannya penahanan kepada pelaku yang dirasa melakukan penghinaan di dunia Internet.
“Tindakan penahanan atas perkara penghinaan terlebih dilakukan tanpa indikator yang jelas berdasarkan KUHAP jelas bertentangan prinsip-prinsip negara hukum” tegas Anggara.
Lembaga Cap
Lebih lanjut Anggara juga menyoroti kinerja dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat. Perlu dicatat bahwa berdasarkan Pasal 43 ayat (6) UU ITE, dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.
Menurutnya, harusnya Penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri menjadi pintu untuk menguji penting atau tidaknya suatu penahanan. Untuk kasus seperti Florence dengan latar belakang tersangka yang jelas, mestinya tidak dilakukan penahanan. Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta semestinya tidak mengeluarkan penetapan tersebut.
“Jangan sampai Ketua Pengadilan Negeri hanya jadi lembaga cap saja, harus diuji kelayakan penahanan tersebut” tegasnya.
Namun Anggara juga menilai adanya kemungkinan justru polisi tidak mengikuti prosedur sebagaimana dalam ketentuan Pasal 43 ayat (6) UU ITE. Karena praktik selama ini banyak kasus polisi langsung melakukan penahanan tanpa penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri untuk kasus-kasus yang dijerat UU ITE.
Terakhir, menurut Anggara kasus Florence merupakan satu lagi bentuk dari buruknya pengaturan dalam UU ITE.
“Lebih jauh ini membuktikan bahwa aparat penegak hukum masih belum mampu secara bijak dan bertanggungjawab menggunakan upaya paksa penahanan pada porsi dan cara yang tepat,” tegasnya.
Untuk itu ICJR merasa perlu untuk segara melakukan perubahan dalam UU ITE terlebih dalam KUHAP untuk meningkatkan kontrol dan pengawasan kepada Kepolisian.
“Untuk Kasus Florence ICJR mendesak agar Florence segera dikeluarkan dari tahanan,” tegasnya.
Kasus postingan Florence di Media Sosial miliknya berdampak panjang terlebih saat beberapa oraganisasi melaporkan dirinya ke Polisi dengan dugaan penghinaan. Oleh Kepolisian Daerah Yogyakarta, Florence kemudian ditahan, atas dasar tidak kooperatif, ditakutkan mengulangi perbuatan dan menghilangkan alat bukti. (Tiara Hidup)