Minggu, 19 Mei 2024

Pendulum Media Jokowi, Bergeser Dari Surya Paloh ke Dahlan Iskan ?

Dahlan Iskan (Ist)

Jokowi sedang mengalihkan pendulumnya dari Surya Paloh ke Dahlan Iskan. Boleh jadi juga Jokowi sudah punya sikap baru. Derek Manangka, Wartawan Senior mantan Harian Sore Sinar Harapan, menulis dalam CATATAN TENGAH, Senin 9 Oktober 2017 yang diunggah dalam akun facebooknya kemudian dimuat Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Derek Manangka

JAKARTA – Christianto Wibisono (CW), seorang pemerhati politik dan ekonomi dan juga wartawan Angkatan 66, mengirim gambar ke WA saya tentang kehadiran Presiden Joko Widodo di kantor pusat “Jawa Pos Grup”, gedung Graha Pena, Surabaya. 
Di sana, semalam, MInggu 8 OKtober 2017, Presiden berbicara tentang transformasi media di era digital. Bertindak selaku tuan rumah, Dahlan Iskan, boss atau pemilik tunggal “Jawa Pos Group”.

Dalam pesannya, CW menulis bahwa duet Jokowi – Dahlan sangat cocok buat pasangan Pilpres 2019.
Saya kurang sependapat dengan ulasan bung CW. Artinya Jokowi tidak sedang melobi apalagi melamar DI untuk cawapresnya di tahun 2019. 
Saya lebih melihat kehadiran Jokowi bertujuan untuk mendapatkan perhatian dari media-media milik Dahkan Iskan (DI) – agar liputan tentang pemerintahannya, lebih menyeluruh dan tidak hanya dilakukan oleh media yang dikenal pendukung utamanya.

Jokowi sadar, kekuatan “Jawa Pos Group”, lebih dahsyat dibanding media lain di luar “Kompas Grup”. Catatan tidak terotorisasi, DI mengontrol tidak kurang daeri 200 suratkabar bernama “Radar” yang tersebar di hampir separuh wilayah Indonesua.

DI juga memiliki 45 stasiun televisi swasta di sejumlah daerah. Kalau audiens dari seluruh TV lokal ini dijumlah, jumlahnya bisa jauh lebih besar dari TV swasta nasional yang terbesar sekalipun. Karena pemirsa sekarang, sejatinya sudah terbelah menjadi 12 kanal sesuai jumlah stasiun TV swasta nasional yang ada.
Dan selama ini, ada kesan, Presiden Jokowi “hanya dibela” oleh dua media besar. Media yang dikesankan meliput secara “berpihak” kepada pemerintahan Jokowi hanyalah Metro TV dan “Media Indonesia” dua media milik Surya Paloh atau “Kompas” grup yang dikendalikan oleh Jakob Oetama

Keberpihakan kedua media tersebut, pada satu tatanan tentu saja positif. Tetapi di era yang sudah sangat terbuka seperti sekarang ini, ditambah lagi pembaca atau pemirsa yang semakin kritis, keberpihakan kedua media itu, tidak selamanya positif.

Bahkan ada kecenderungan, menjadi kontra produktif. 
Oleh sebab itu di mata saya, peristiwa hadirnya Presiden Jokowi di kantor pusat “Jawa Pos” Surabaya, kemarin, perlu dilihat dari persepektif lain.

Perspeketif ini saya sampaikan dengan mengaitkan percakapan saya dengan DI pada minggu kedua Juni 2017 lalu di gedung Graha Pena, Surabaya.

DI antara lain berceritera bahwa tak lama setelah Pilpres 2014, Jokowi sempat mampir ke Graha Pena.
“Beliau duduk di sini”, ujar DI menirukan kejadian hampir tiga tahun lalu itu.

Jokowi kata DI, secara khusus menemuinya untuk menyampaikan ucapan terima kasih atas apa yang dilakukan DI selama kampanye Pilpres 2014.

“Karena saya sudah tidak ingin duduk di pemerintahan, ketidak tertarikan itu saya lakukan melalui bahasa tubuh selama kami ngobrol. Saya sendiri tidak bisa mengatakan bahwa Pak Jokowi ingin merekrut saya. Tapi sebelum ada kata-kata yang mau mengarah ke situ, saya berikan sinyal bahwa saya sudah tidak tertarik duduk di pemerintahan”.

Dan jauh sebelum penyusunan kabinet, Oktober 2014, DI sudah menghilang. Terbang ke Amerika. Praktis DI berada di Amerika selama satu tahun. Sekalipun setiap beberapa bulan DI kembali ke tanah air untuk satu dua hari lamanya..

“Saya terpaksa kembali karena ada tuduhan sebagai tersangka korupsi. Dan setelah itu saya dipenjara kemudian menjadi tahanan kota”, tutur DI.

Curhat DI ini, kalau boleh saya sebut demikian, sebagiannya saya tuangkan dalam Catatan Tengah pada salah satu edisi bulan Juni 2017. Dilengkapi dengan video yang menggambarkan betapa DI di hari-hari terakhir berkampanye begitu bersemengat bagi kemenangan pasangan Jokowi- JK.

Dalam caranya berorasi, DI tidak kalah cekatan dengan Surya Paloh, pemilik MetroTV dan Media Indonesia yang juga hadir di acara dimana DI berkampamnye.

Intinya, saya menyebut bahwa buah yang dipetik oleh DI yang berkampanye untuk kemenangan Jokowi-JK, bukanlah buah manis. Melainkan pil pahit. Karena di era Jokowi, DI justru menyandang sebuah status tersangka korupsi.

Secara tersirat yang saya sampaikan adalah untuk mengingatkan publik maupun Jokowi. Bahwa ada pihak yang pernah membantu kemenangan Jokowi, tapi justru dilupakannya setelah dia mencapai kemenangan.

Sebuah satire kehidupan. Jokowi berubah setelah menjadi Presiden.

Bukannya membela DI karena faktor kedekatan dan pertemanan sebagai sesama wartawan. Tapi setidaknya saya sampaikan sebuah logika kejujuran.

Logika sehat saya tidak bisa menerima status DI sebagai terpidana. Pasalnya begini : untuk perusahaan daerah yag sakit itu, DI mengeluarkan dana pribadi sekitar Rp. 35,- milyar. Dengan suntikan dana tersebut, perusahaaan milik pemda Jawa Timur itu menjadi sehat.

Tapi setelah sehat dan DI sudah menyerahkan kepemimpinan kepada pihak lain, DI kemudian dituduh melakukan korupsi sebesar Rp. 25,- milyar !

Entah apakah tulisan itu ada pengaruh atau tidak, yang pasti sekitar sebulan kemudian setelah postingan itu beredar, Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan, menemui DI di kediamannya.

Luhut memang tidak secara khusus terbang dari Jakarta untuk urusan DI. Luhut punya beberapa acara penting lainnya di ibukota provinsi Jawa Timur tersebut. Dan menurut DI dalam audiensi itu, keduanya tidak menyinggung soal status DI sebagai tahanan kota.

Tapi pertemuan Luhut dan DI, jelas sebuab peristiwa kontroversial. Yang memang tak dikritisi oleh media.

Disebut kontroversi, sebab ada sisi menarik dari pertemuan itu. Bahwa seorang DI yang tengah berstatus tahanan kota, ditemui di kediamannya oleh Menteri Senior dari Kabinet Presiden Jokowi.

Pengamatan saya keputusan Luhut menemui DI di kediaman pribadi lebih merupakan sebuah sinyal perhatian yang khusus untuk konglomerat pers yang memulai karirnya itu dari strata paling bawah.

Sekitar dua bulan setelah pertemuan tersebut, DI kemudian dinyatakan menang dalam tingkat banding. DI pun berstatus bebas.

Tak lama setelah itu disusul pemberitaan bahwa DI secara khusus diminta Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, untuk menemuinya di VVIP Room Bandara, Surabaya.

Pertemuan DI dengan Megawati, dilanjutkan dengan makan siang di sebuah tempat yang dirahasiakan. Yang pasti dalam makan siang itu, DI duduk berdampingan dengan Presiden ke-5 RI tersebut.

Pertemuan Mega-DI pun sebuah kontroversi. Sebab sangat jarang Mega yang meminta seorang untuk ditemuinya. Mega sebagai bekas Presiden cukup disiplin dengan protokol

Saya teringat pada ucapan seorang sahabat. Bahwa ketika Megawati mendapat informasi – DI sedang mengalami kesulitan dengan penyakit liver-nya adalah Megawati berinisiatif menelpon Presiden Jokowi. Isinya, Jokowi harus menggunakan dikresinya sebagai Presiden untuk menolong DI sebagai pasien penyakit liver.

Presiden Jokowi akhirnya mengeluarkan surat khusus agar DI bisa berobat ke RRT. Sebab hanya rumah sakit di negara itu yang bisa mengobati penyakit liver yang diderita oleh DI. 
Bos “Jawa Pos” group ini sepuluh tahun lalu, melakukan transpalansi liver di sebuah rumah sakit di RRT.

Megawati sendiri tergerak menolong DI, karena putri proklamator ini melihat pertolongn Presiden SBY terhadap DI yang mantan Menteri BUMN dan Dirut PLN di era pemerintahan SBY, tidak maksimal.

SBY seperti membiarkan DI menderita dengan penyakit livernya.

Padahal DI merupakan pemenang atas kontestasi 10 peserta Calon Presiden versi Partai Demokrat di tahun 2013.

Itu sebabnya kalau sekarang Presiden Jokowi tanpa kabar-kabari, lantas tiba-tiba menyambangi DI di Surabaya, saya koq lebih melihatnya berbeda dengan pandangan Bung CW.

Saya lebih melihat hal itu sebagai upaya Jokowi untuk tidak hanya bergantung pada media miliknya Surya Paloh ataupun Kompas milik Jakob Oetama.

Jokowi sedang mengalihkan pendulumnya dari SP ke DI.

Boleh jadi juga Jokowi sudah punya sikap baru.

Apapun resikonya, dia harus menjaga jarak dengan Ketua Umum Nasdem tersebut, termasuk media miliknya Surya Paloh.

Apalagi kalau benar, bahwa Jokowi seperti disadarkan oleh Panglima TNI.

Dan salah satu satu pemicu yang membuat Panglima TNI Gatot Nurmantyo bersuara keras soal politik baru-baru ini, antara lain karena Jenderal TNI AD tersebut merasa tidak nyaman melihat kedekatan Presiden Jokowi dengan Surya Paloh.

Sejauh mana kebenaran ini semua, akan dapat diuji dari perkembangan politik di hari-hari mendatang.

Yang pasti, saya tidak begitu yakin dan sependapat dengan catatan Bung Christianto Wibisono.

Maaf banget senior. Ulasan saya ini khan sekadar nyambung-nyambung informasi yang terpotong-potong.

 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru