Minggu, 1 Desember 2024

PENERIMAAN BISA JEBLOK..! Regulasi Perpajakan Kontras: Pajak Orang Kaya Didiskon, Pajak Kelas Menengah Bertambah Banyak

JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk tahun depan akan tetap dilaksanakan. Sri Mulyani menyebutkan, kenaikan pajak ini merupakan amanat langsung dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang sebelumnya telah disusun oleh DPR bersama dengan pemerintah.

Kenaikan PPN dari semula 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 ini dinilai oleh banyak kalangan merugikan rakyat, khususnya kelas menengah ke bawah.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kondisi saat ini masyarakat telah tertekan dari segala sisi. Kenaikan PPN hanya akan memperburuk keadaan.

“Kalau tarif (PPN) naik terlalu tinggi, imbasnya justru konsumsi menurun, mempengaruhi pemasukan pajak lainnya. Secara agregat rasio pajaknya turun, bukan naik,” kata Bhima Kamis, 21 November 2024.

Bhima menilai, kenaikan PPN ini sangat tidak adil bagi masyarakat kelas menengah. Ia bahkan menyebutkan, masyarakat kelas menengah justru dihadapkan dengan 10 tambahan pungutan dan pajak baru di tahun 2025.

Kesepuluh pungutan tersebut yang pertama adalah kenaikan PPN 12 persen. Kemudian berakhirnya pajak UMKM 0,5 persen dan pemberlakuan asuransi kendaraan wajib (third party liabilities). Lalu, ada iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) serta wacana Dana Pensiun Wajib. Selain itu, juga akan ada wacana pemberlakuan harga tiket KRL yang disesuaikan dengan NIK.

Kemudian, penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang akan diganti Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ada juga kemungkinan naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa serta iuran BPJS Kesehatan serta yang terakhir, penerapan cukai minuman berpemanis.

“Ditekan atas bawah dan kanan kiri. Berat jadi kelas menengah di republik ini,” ucap Bhima.

Di sisi lain , DPR malah merumuskan regulasi baru terkait pengampunan pajak atau tax amnesty. DPR baru saja memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Bila jadi diberlakukan, maka ini akan menjadi tax amnesty ketiga kalinya yang dilakukan oleh pemerintah.

Hal ini juga belum ditambah dengan wacana penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 22 persen ke 20 persen serta beragam bebas pajak (tax holiday) yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan-perusahaan.

“Kelas atas dapat banyak preferensi. Tarif PPh badan bakal turun jadi 20 persen, tax amnesty berkali-kali, sampai perusahaannya dapat tax holiday. Ini tidak fair,” ujarnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh ekonom Segara Institute, Piter Abdullah. Ia menyoroti kontrasnya perlakuan pemerintah terhadap kelompok masyarakat ekonomi atas, dengan kelompok masyarakat ekonomi menengah. Ia bahkan menyebut tax amnesty merupakan bukti pemerintah sudah kehabisan akal untuk menambah pendapatan negara.

“Kelompok menengah ini bantuan sosial? Nggak. Dibantu pajaknya? Nggak. Dibebani pajak? Iya. Jadi, di satu sisi memberikan (kelas atas) kelonggaran pajak, di sisi lainnya menambah beban pajak (kelas menengah),” ujar Piter, Kamis, 21 November 2024.

Justru Akan Menurunkan Penerimaan Pajak

Sebelumnya, kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, ekonom senior sekaligus Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo, tidak sepakat dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai tahun depan. Menurut dia naiknya PPN justru bisa menurunkan penerimaan.

Berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021, PPN akan naik bertahap, dan tahun depan naik satu persen menjadi 12 Persen.

“Saya khawatir efeknya justru akan menurunkan total PPN yang diterima,” ujarnya di Hotel Le Meridien Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2024.

Kenaikan PPN bertujuan meningkatkan angka penerimaan pajak yang masuk. Drajad menambahkan, hal itu akan terjadi dengan asumsi semua wajib pajak membayar. Namun keinginan pemerintah mengumpulkan pajak dari kenaikan PPN bisa tidak terjadi karena orang yang bayar semakin sedikit.

“Sama seperti barang kalau dijual lebih mahal, orang yang beli makin sedikit untungnya, penerimaan kita jeblok,” ujarnya lagi.

Hal itu memberatkan di tengah fakta penurunan kelas menengah dan daya beli yang merosot. Saat ini ekonomi Indonesia sedang mengalami tekanan, terlihat dari deflasi yang terjadi lima bulan beruntun. Menurut Drajad salah satu penyebab deflasi saat ini adalah tingginya angka setengah mengannggur yang jumlahnya mencapai 2,41 juta orang.

Orang yang setengah menganggur daya belinya rendah dan bisa terlempar dari kategorikelas menengah.

“Kalau dipaksakan PPN 12 persen, saya khawatir orang setengah menganggur makin banyak,” kata dia.

Selain Drajad, beberapa ekonom dan pengusaha juga sempat meminta penundaan kenaikan PPN menjadi 12 persen tahun depan. Analis kebijakan ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, mengatakan masih banyak opsi lain dalam menambal keuangan negara tanpa membebani masyarakat luas. Kebijakan kenaikan PPN kontraproduktif terhadap perekonomian dan daya beli.

Sebelumnya Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono mengatakan kepastian tentang kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) akan lebih jelas saat kabinet baru presiden terpilih Prabowo Subianto terbentuk. Termasuk untuk rencana menaikkan pajak sebesar satu persen tahun depan. (Calvin G. Eben-Haezer)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru