MEDAN- Pascainsiden kekerasan antarwarga beda agama yang berujung pembakaran gereja di Aceh Singkil menyebabkan pengungsian warga Aceh Singkil ke wilayah Sumatera Utara. Jumlah pengungsi di lapangan saat ini sudah mencapai 7.000 orang. Hal ini disampaikan oleh Ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Sumatera Utara, Sugianto kepada Bergelora.com di Medan, Kamis (15/10).
“Warga pengungsi dalam ketakutan dan kecurigaan, trauma dengan kekerasan yang terjadi di Singkil Aceh. Kondisinya mereka kekurangan bahan makanan dan obat obatan. Karena tidak siap untuk berpindah,” ujarnya.
Para pengungsi menurutnya tersebar di Kabupaten Pakpak Barat, Kabupaten Dairi dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Mereka ada yang bernaung di sekolah, gereja, atau rumah warga yang simpati.
Pemerintah Sumatera Utara menurut Sugianto sedang berupaya membantu kebutuhan para pengungsi yang terus datang bergelombang dari Aceh Singkil. Namun kalau tidak segera dibantu oleh pemerintah pusat akan menyebabkan persoalan baru di Sumatera Utara.
“Menurut berita pemerintah pusat telah mengirimkan bantuan ke lokasi pengungsian. Namun sampai hari ini pengungsi di Pakpak dan Dairi masih mengeluhkan belum menerima bantuan,” ujarnya.
Sebelumnya mantan pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Laode Ida kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (15/10) mengatakan kerusahan yang diikuti pembakaran gereja di Aceh Singkil adalah contoh buruk dari sebuah dis-toleransi yang diditoleransi. Padahal sudah jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi, Pancasila dan nilai-nilai HAM. Hal ini disampaikan oleh
“Kita semua harus mengutuk kekerasan berupa pembakaran gereja di Singkil, Aceh. Karna itu bertentangan dengan konstitusi, Pancasila, dan nilai2 HAM universal. Tapi kita tak boleh hanya menyalahkan, melainkan harus instrospeksi atas kebijakan yang berlaku dan sekaligus mencari cara penyelesaian masalah yang cenderung berkeadilan,” ujarnya.
Devided Society
Kasus di Singkil kali ini menurutnya, bukan mustahil terinspirasi oleh kasus di Tolikara, Papua. Sekaligus melampiaskan dendam atas perasaan saudara semuslim yang dialami di Tolikara atau daerah lain yang melarang pendirian masjid itu.
“Maka, pemerintah harus duduk secara khusus membicarakan potensi masalah ini. Jika tidak, sekali lagi, akan jadi bom waktu dengan korbannya yang lebih besar. Itu semua merupakan potensi yang akan menjadikan warga bangsa ini terbelah (devided society),” ujarnya.
Ia mengingatkan peristiwa di Tolikara, Papua, yang para pelaku tidak dikenakan sanksi apapun hingga sekarang. Selain itu, ada juga daerah tertentu yang tak membolehkan pendirian masjid untuk tempat ibadah komunal para warga muslim. “Pemerintah pusat atau pihak berwajib tak menangani persoalan-persoalan itu secara serius, sehingga tak perlu heran kalau ada kelompok masyarakat di daerah yang berani melakukan hal yang sama,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) akan ditingkatkan, minimal hingga kecamatan. Dengan begitu, diharapkan ada komunikasi utuh berkaitan dengan toleransi.
“Forum kerukunan di tingkat provinsi, kabupaten/kota akan kita tingkatkan, minimal sampai kecamatan, untuk membangun komunikasi antar pejabat kecamatan bersama Danramil, Kapolsek, serta tokoh masyarakat dan agama di kecamatan,” kata Tjahjo, kepada pers di Jakarta, Rabu (14/10).
Dia menambahkan, FKUB hingga di kecamatan dinilai juga dapat memperkuat deteksi dini di masyarakat desa/kelurahan (Jamillah/Web)