JAKARTA – Polisi Republik Indonesia (Polri) terhitung Jumat, 2 Desember 2016, menetapkan 10 tersangka makar sebagaimana diatur di 10 pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mesti dimaknai sebagai simbol membendung kekuatan ideologi liberalisme di Indonesia.
Dua di antara tersangka makar, mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Mayjen (Purn) Kivlan Zen (70 tahun) dan mantan Staf Ahli Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Brigjen (Purn) Adityawarman Thaha (71 tahun).
Ideologi liberalisme dimotori Amerika Serikat, saling bertolak belakang dengan ideologi sosialisme dimotori United of Rusia Socialist Republics (USSR) dimana ada Republik Rakyat Cina (RRC) di dalamnya pada era Perang Dingin, 1946 – 1991.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, melahirkan Republik Indonesia, berdasarkan akar ideologi sosialisme, tapi sudah dimodifikasi sesuai alam dan budaya lokal, yakni Pancasila.
Sila kelima dari Pancasila, yaitu “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, membuktikan Republik Indonesia berakar ideologi sosialis.
Sosialis tidak ada hubungannya dengan komunis. Sosialis adalah ideologi global (akan halnya liberalis) dan komunis adalah partai politik. Kendati di negara sosialis selalu ada partai komunis, tapi di banyak negara sosialis membuktikan, bukan partai komunis yang berkuasa.
Presiden Joko Widodo (Jokowi ) – Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), representasi kemenangan penganut kaum sosialisme di Indonesia, hasil Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden tahun 2014, karena salah satu partai politik pengusung, adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
PDIP besutan Megawati Soekarnoputri, anak kandung Presiden Soekarno, pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) berideologi sosialis.
Setelah pergantian kepemimpinan nasional, Presiden Soeharto melakukan likuidasi partai politik, dan PNI berafiliasi dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tahun 1971.
Dalam perjalanannya sebagian besar massa PDI, terutama Megawati Soekarnoputi, kemudian bermetamorfosa (dan atau terpecah) mendirikan PDIP sehingga memenangkan Pemilu tahun 1999. Dalam Pemilu 2014, PDIP kembali meraih suara terbanyak dan mengantarkan Jokowi – JK menjadi Presiden Indonesia, 2014 – 2019.
Sebagai presentasi dari akar ideologi sosialis, Jokowi – JK cukup gencar mencanangkan pembangunan infrastruktur dan kemandirian bangsa, dengan membangun infrastruktur mulai dari desa menuju kota. Ini melanjutkan kebijakan Presiden Soekarno, 17 Agustus 1945 – 22 Juni 1966.
Jalan paralel perbatasan di Kalimantan dan Papua dipercepat dengan mengerahkan kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan harus rampung paling lambat tahun 2019.
Bagi masyarakat di perbatasan Papua dan Kalimantan, kebijakan Jokowi – JK, bagaikan mimpi di siang bolong, karena memang sama sekali tidak diduga realisasinya bisa secepat sekarang.
Belum lagi pembangunan tol laut yang menghentikan keterisolasian masyarakat di pulau-pulau kecil. Indonesia memiliki 17.408 pulau! Pembangunan jalan menggunakan terowongan digenjot dengan istilah Mass Rapid Transit (MRT), sebuah sistem transportasi transit cepat yang sedang dibangun di Jakarta.
Dalam membangun infrastruktur, Jokowi – JK, membutuhkan investor dari luar negeri, sehingga Republik Rakyat Cina (RRC) ditunjuk menjadi investor pembangunan kereta api cepat Jakarta – Bandung tahun 2016.
RRC, sebelumnya, mengucurkan pinjaman Rp4,5 triliun membangun Jembatan Surabaya – Madura (Suramadu) sepanjang 5.438 meter, dibangun selama 6 tahun dan diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tanggal 10 Juni 2009.
Tujuh tahun kemudian, Jembatan Pulau Tayan di Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, sepanjang 1.140 meter mendapat kucuran pinjaman RRC senilai Rp780 miliar yang dibangun dua tahun dan diresmikan Presiden Jokowi, tanggal 23 Maret 2016.
Belum lagi Program Reklamasi Teluk Jakarta yang disebut-sebut sudah masuk investasi RRC dalam bentuk konsorsium. Lahan hasil reklamasi sudah ditegaskan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti di Jakarta, Kamis, 1 Desember 2016, nantinya tetap berstatus milik negara, bukan milik investor.
Total investasi RRC di Indonesia per Februari 2016 senilai US$23,25 miliar. Ini investasi terbesar kedua RRC di seluruh dunia. Investasi terbesar RRC pada periode yang sama tetap berada di Amerika Serikat.
Melonjaknya investasi RRC di Indonesia, sudah barang bentuk membuat gerah para pesaing, kaum liberalis global dimotori Amerika Serikat dan sekutunya.
Amerika Serikat yang berhasil menghipnotis Indonesia dengan memberangus ideologi sosialis dan dipaksa kawin dengan ideologi liberalis sejak Gerakan 30 September (G30S) 1965, sangat tidak rela Indonesia semakin akrab dengan RRC.
Salah satunya strategi kaum liberalis yang kemudian identik dengan kapitalis, merangkul kembali potensi kekuatan kaum Islam yang disebut-sebut patut diduga ada keterkaitannya dengan Mayjen (Purn) Kivlan Zen, Brigjen (Purn) Adityawarman Thaha, dan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shibab.
Tiga serangkai, Kivlan Zen, Adityawarman dan Rizieq Shibab, kemudian patut diduga tanpa ujung pangkal getol meniupkan isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) gaya baru. Padahal paham komunis sudah mati dengan sendirinya di era globalisasi, karena gagal menciptakan kesejahteraan rakyat.
Demonstrasi puluhan ribu umat Islam, menuntut proses hukum Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, beragama Kristen Protestan, dengan tudingan menista Agama Islam, di Jakarta, 4 November 2016, tiba-tiba rusuh, setelah melalui orasi dan beberapa kali rapat, malah menuntut pelengseran Presiden Jokowi – Wakil Presiden JK.
Keterlibatan Amerika Serikat dan Australia sudah dikemukakan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo di Bandung, Rabu, 23 November 2016. Amerika Serikat dan Australia, penganut ideologi liberalis, sedangkan RRC dan Indonesia, menganut ideologi sosialis. Kaum liberalis sangat tidak suka Jokowi – JK berhubungan mesra dengan RRC.
Kalaupun ada ketakutan RRC akan menghidupkan kembali paham komunis seiring investasi terus melonjak di Indonesia, sama sekali tidak beralasan, karena sudah ada ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1966 tentang larangan menganut paham komunis.
Kalaupun masih ditemukan paham komunis, itu urusan aparat penengak hukum. Tidak perlu menggelar apel kesiagaan sangat demonstratif sebagaimana dilakonkan Kivlan Zen dan kawan-kawannya.
Masyarakat Indonesia, harus cerdas di dalam mencermati situasi politik yang berkembang akhir-akhir ini, agar keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bisa terjaga dengan baik. Jangan hanya pandai dukung NKRI, tapi tindakan kita justru merongrong.
Ideologi liberalis sangat tidak cocok di Indonesia, karena menguburkan sendi-sendi kesetiakawanan sosial, gotong-royong, azas musyawarah dan mufakat sebagaimana diatur diatur di dalam sistem politik Pancasila.
Kalaupun masih ada yang alergi akan investasi asing, karena terlalu mendewakan kapitalis, pemilik modal, sangat tidak adil kalau hanya ditujukan kepada RRC.
Investasi Amerika Serikat di Indonesia, melalui keberadaan PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, sejak tahun 1967, perangainya tidak kalah eksklusif dan sadis.
Di Kabupaten Mimika, ada satu kawasan yang penghuninya seratus persen warga negara Amerika Serikat. Semua sistem peradaran di Tembagapura, Papua, misalnya, seratus persen berorientasi Amerika Serikat. Orang lokal tidak boleh masuk kawasan itu.
Ironisnya, semua hanya diam seribu bahasa dalam menghadapi kepongahan investor Amerika Serikat berideologi liberalis melalui PT Freeport Indonesia di Provinsi Papua.
Saat bersamaan, setiap kali masyarakat di Papua menuntut hak sebagai bagian tidak terpisahkan dari NKRI, tanpa ampun langsung dicap separatis.
Apabila masyarakat terlalu gampang diperalat, perpecahan Bangsa Indonesia hanya soal tunggu waktu. Suatu saat nanti NKRI hanya tinggal nama, akibat ketidakdewasaan sebagian besar rakyat Indonesia di dalam mencermati situasi politik di Tanah Air. (Aju)