PALU- Sepenggal catatan dikirimkan oleh seorang perempuan yang saat ini dipenjara di Lapas 2B Luwuk, Sulawesi Tengah. Eva Bande, seorang ibu dari 3 orang anak harus mendekam dalam penjara karena membela rakyat yang tanahnya dirampas oleh pemilik modal.
“Telah dua kali kemerdekaan republik ini kurasakan dalam penjara. Dua Kali 17 Agustus. Makna kemerdekaan itu terasa kecut menggigit nurani. Getir dalam rasa,” ujarnya kepada Bergelora.com di Palu, Minggu (17/8)
Ia menyatakan bahwa rakyat yang berjuang melawan penjajahan bangsa sendiri di tanah negara merdeka, justru berarti kemerdekaan pemilik modal merampas hak hidup kaum tani.
“Dan berbuah pemenjaraan bagi rakyat dan bagiku yg mencoba berada di depan mengawal amanah sejati kemerdekaan itu,” tulisnya.
Dibawah ini surat lengkap dari Eva Bande kepada rakyat Indonesia:
Hari ini untuk yang 69 kali semangat kemerdekaan Indonesia memenuhi dada sebagian anak bangsa. Begitu mahalnya “merdeka” itu bagi sebuah bangsa, sehingga setiap tahun dia harus diperingati dengan sepenuh jiwa, agar setiap anak bangsa menyadari maknanya.
Kemerdekaan kala itu mengharubiru…! Disambut gegap gempita sorak sorai rakyat Indonesia segala penjuru…. Tentu ini bukan sorak sorai biasa..!!! Kemerdekaan itu bukan hadiah, bukan pula sekadar hasil adu cuap dari meja ke meja, atau menunggu nasib baik di dalam rumah…!!! Jutaan nyawa rakyat dan penderitaan lahir batin tak terperi telah terjadi dibelakang “hari Merdeka” itu…
Mahalnya “kebebasan dari penindasan” itu berwajah lain saat ini. Aku juga merasakan, bahkan jauh dari pembayangan banyak orang. Telah 2 kali kemerdekaan Republik ini kurasakan dalam “penjara”… Dua Kali 17 Agustus makna kemerdekaan itu terasa kecut menggigit nurani… Getir dalam rasa.
Rakyat yg berjuang melawan penjajahan bangsa sendiri di tanah negara merdeka, justru berarti kemerdekaan pemilik modal merampas hak hidup kaum tani…dan berbuah pemenjaraan bagi rakyat dan bagiku yg mencoba berada di depan mengawal “amanah sejati kemerdekaan itu”.
Bungkus baru penjajahan, dan bungkus lama derita rakyat sudah berada di dalam ruang sadar seluruh aparatur negara juga sebagian rakyat…Sering mereka berhadap-hadapan saling berlawan akibat ulah tuan-tuan modal berjiwa imperialis. Toh setiap tahun para penikmat pengorbanan rakyat itu merayakan kemerdekaan dengan wajah tanpa dosa yg berbangga hati.
Aku sampai bingung menerjemahkan “jiwa” nya kemerdekaan RI itu di hari ini. Sebab aku mengalaminya di dalam Ruang sempit Lapas 2B Luwuk…!
Di Lapas ini, “Hari Merdeka” diperingati dgn upacara bendera dan pembacaan remisi dari negara kepada narapidana yg dihadiri oleh Bupati dan Wakil Bupati Banggai (yg merupakan pelaku perampasan hak rakyat atas tanah di Banggai)… aku hanya bisa mendengar dari balik tembok ini sorak sorai tepuk tangan, alunan musik atas kedatangan bupati dan wakilnya itu, yah gegap gempita pengurangan masa hukuman dari yg terpenjara ….aku sengaja tidak menghadiri prosesi itu. Aku tak tega mencomooh diriku sendiri yg terpenjara akibat membela kemerdekaan orang lainnya…. aku punya cara sendiri memaknai hari merdeka…. Menghadap kepada Pemilik Kuasa atas semua kekuasaan bumi dan langit dan menuliskan suara jiwa ku saat ini…
Aku gunakan pula momentum Hari Merdeka kali ini berdialog dalam ruang hampa dengan Sang Proklamator, dengan kaum marheanis yg sudah berjuang gigih, berani dan pantang bersurut mengusir penjajah dari negeri indah nan kaya ini…
Penangkapan Eva Bande
Kamis 15 Mei 2014, sebuah rumah di Kecamatan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, kedatangan beberapa orang tak dikenal. Salah seorang perempuan, tiba-tiba ditangkap. Perempuan itu adalah Eva Susanti Hanafi Bande (36). Perempuan asli Luwuk, Kabupaten Banggai, ibu tiga anak ini ditangkap tim Kejaksaan Negeri Luwuk bekerjasama dengan Kejaksaan Agung.
Eva diinapkan semalam di Kejati Yogyakarta. Esok hari, dia dikawal ke pesawat dan diterbangkan ke Luwuk, Sulawesi Tengah. Pukul 17.00, Eva tiba di Luwuk. Dengan pengawalan petugas, langsung ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas II B.
Eva bak momok bagi penguasa di Banggai. Dia aktivis perempuan pejuang agraria. Dia memimpin organisasi rakyat yang memperjuangkan hak-hak petani mendapatkan tanah yang dirampas pemodal. Nama organisasi itu adalah Front Rakyat Advokasi Sawit Sulteng.
Karena aktivitas inilah Eva ditangkap. Dia dianggap melanggar hukum karena memimpin perjuangan petani melawan perusahaan sawit di Desa Piondo, Kecamatan Toili.
Penangkapan Eva bermula dari penutupan jalan produksi petani di Desa Piondo oleh perusahaan sawit PT Kurnia Luwuk Sejati. Jalan itu yang biasa dilalui petani ke kebun kakao dan persawahan. Ratusan petani pengguna jalan itu marah besar. Mereka menuntut perusahaan segera memperbaiki jalan yang mereka lalui.
Peristiwa itu terjadi 26 Mei 2011. Sontak ratusan petani yang marah mendatangi kantor KLS. Eva yang berada di kerumunan massa, meminta petani tenang. Jangan terbawa emosi. Karena kemarahan warga kepada perusahaan sudah memuncak.
Ahmad Pelor, Direktur Walhi Sulteng menjelaskan, KLS perusahaan milik Murad Husain, telah merampas lahan petani di Desa Piondo, Singkoyo, Moilong, Tou, Sindang Sari, Bukit Jaya, dan beberapa desa lain. Secara keseluruhan tanah-tanah petani digusur KLS seluas 7.000 hektar.
Sejak 1996, Murad membuka perkebunan sawit skala besar di Toili Kabupaten Banggai. KLS mendapat izin pengelolaan hutan tanaman industri (HTI) 13.000 hektar dengan dana pinjaman pemerintah untuk penanaman sengon dan akasia Rp11 miliar. Hingga kini dana tidak dikembalikan dan lahan HTI malah jadi kebun sawit.
“KLS menanam sawit di hutan konservasi seluas 500 hektar. Kini nasib Suaka Margasatwa Bangkiriang hancur dan dibiarkan begitu saja aparat,” kata Pelor.
Sementara Murad telah ditetapkan sebagai tersangka pada 2010, hingga kini Polres maupun Polda Sulteng mendiamkan kasus seakan tidak terjadi apa-apa.
Eva Bende, yang membantu perjuangan petani di Luwuk, segera dieksekusi setelah putusan MA menvonis dia empat tahun penjara. Sedang kasus bos sawit PT PT Kurnia Luwuk Sejati, seakan dilupakan oleh aparat.
Eva Bande, yang membantu perjuangan petani di Luwuk, segera dieksekusi setelah putusan MA menvonis dia empat tahun penjara. Sedang kasus bos sawit PT PT Kurnia Luwuk Sejati, seakan dilupakan oleh aparat. Sebaliknya, pejuang gerakan agraria Eva, yang membela petani karena tanah dirampas KLS malah dipenjara.
“Eva dianggap melanggar hukum dan dituntut melanggar pasal 160 KUHP, karena memimpin perjuangan petani dan dianggap melakukan kejahatan di depan penguasa umum. Eva divonis 4,6 tahun. Sedangkan Murad dibiarkan bebas oleh aparat penegak hukum. Padahal telah merampas tanah petani dan merusak suaka alam dan mencuri uang negara Rp11 miliar.” Ujarnya. (Lia Somba)