JAKARTA- Kedua kubu capres Prabowo Subianto dan Joko Widodo saat ini sedang bersiap untuk menang tetapi tidak siap untuk kalah akibat kecurangan. Padahal sejak pemilu legislatif, terjadi kejahatan pemilu dari tingkatan nasional sampai ditingkat TPS. Demikian Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Poppy Dharsono dalam Forum Publik bertemakan Menyoal Quick Count Sebagai Kejahatan Demokrasi di Jakarta, Rabu (16/7).
“Ratusan gugatan di MK digagalkan. Laporan ke Bawaslu atas kecurangan pelaksana pemilu tidak ditindak lanjuti. Jadi hampri dipastikan kejahatan pemilu dalam pilpres akan bernasib sama. Tidak akan ada kelanjutan. Jalan buntu,” ujarnya.
Saat ini, lembaga-lembaga survey menurutnya telah terkontaminasi oleh kepentingan politik sehingga tidak objektif lagi.Â
“Semua mengabdi pada kepentingan pendana survey. Sehingga survey sebagian besar menjadi bagian tim sukses,” ujarnya.Â
Arief Poyuono dari Federasi Serikat Pekerja. BUMN menegaskan agar KPU tidak terpengaruh dengan hasil-hasil lembaga-lembaga survey.
“Quick count sendiri adalah upaya politik pesanan. Kalau hasil penghitungan KPU sama dengan quick count maka seharusnya sudah tidak perlu lagi ada KPU,” ujarnya.
Sementara itu hasil survey Indonesia Network Election Survey (Ines)terkait tingkat Kepercayaan Publik Terhadap Lembaga Survey Politik dan Opini selama Pileg Dan Pilpres 2014 menunjukkan 79,6 persen masyarakat tidak percaya lembaga survey.
“Metodologi survei yang digunakan adalah Multi Stage Random Sampling dengan jumlah responden 1.142 orang diseluruh Indonesia dengan Tingkat kepercayaan 95% Margin Error +/- 2.9% survey dilakukan tertutup oleh para surveyor dengan memberikan pertanyaan yang sudah disodorkan,” jelas Tri Sasono dari Ines.Â
Hasil temuan survey ditemukan 79.6 % responden tidak mempercayai kredibilitas dan hasil survey lembaga survey opini dan politik di Indonesia karena dianggap lembaga survei merupakan lembaga yang tidak independen dan hasilnya sesuai pesanan.Â
Temuan survey 89.4 % publik tidak petcaya dengan hasil quick count pilpres 2014 karena dianggap merupakan pesanan dari pihak ketiga tertentu untuk membangun opini publik dan dijadikan alat propaganda saja.Â
Dalam temuan survei 86,5 persen publik berpendapat bahwa lembaga survei opini dan politik di indonesia banyak melakukan manipulasi data survei dan tergantung pesanan.Â
“Seperti lembaga lembaga survei yang melakukan quick count pilpres yang dengan sudah mengumumkan kemenangan salah satu pilpres padahal tahapan pencoblosan saja masih belum selesai dibanyak TPS serta tahapan perhitungan yang masih berlaku,” jelasnya.Â
Dalam survei 87,3 persen publik menurutnya mencurigai bahwa lembaga survei opini publik yang ada banyak dibiayai oleh pengusaha dan lembaga asing.Â
Survei pendapat publik ini dilakukan mulai tanggal 10 juli sampai dengan 15 juli 2014. (Tiara Hidup)