Rabu, 22 Januari 2025

Privatisasi: Negara Predator, Ketimpangan Pasti Meningkat

NEW YORK- Penyebab ketimpangan dipicu penyediaan layanan dasar masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam yang menjadi  kebutuhan hajat hidup masyarakat yang seharusnya dikelola negara diserahkan pada pihak swasta. Hal ini disampaikan oleh Amitha Behar dari Wada Na Todo Abhiyan, organsisasi yang konsen pada masalah kemiskinan di India dalam diskusi di luar agenda utama Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) bertema Goal 10 SDGs Reducing Inequality: Desirable but is it Feasible? yang diselenggarakan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan lembaga masyarakat sipil internasional di Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) pada Dewan Pewakilan Bangsa-Bangsa di New York, 24 September 2015 pukul 15.00 waktu New York.

 

Diskusi ini menghadirkan 11 pembicara dan dihadiri lebih dari 60 orang dari perwakilan berbagai organisasi masyarakat sipil internasional dari berbagai negara. PBB akan mengadopsi SDG yang terdiri dari 17 target dan 169 sasaran dalam sidang ke-70 yang berlangsung 25-27 September

Ia menjelaskan bahwa posisi negara yang seharusnya menjadi regulator dalam penyediaan layanan dasar menjadi semacam predator.

“Ini karena kekuasaan diberikan kepada pihak swasta. Kondisi kesehatan masyarakat di India mengkhawatirkan karena layanan kesehatan telah diprivatisasi,” katanya di New York.

Tingginya angka ketimpangan diberbagai negara mendapat sorotan masyarakat internasional jelang adopsi pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/ SDG) 2030 di New York. Catatan lembaga Oxfam Internasional terjadi pemusatan kekayaan di dunia. Kelompok orang  kaya yang berjumlah 1 persen dari sekitar 8,5 miliar jumlah penduduk dunia menguasai 50 persen sumber daya alam.

Dalam diskusi ini terungkap ketimpangan menjadi masalah bersama yang terjadi di banyak negara.  Sugeng Bahagiyo, Direktur INFID Indonesia, dalam pemaparannya mengatakan meski jumlah penduduk sangat miskin berkurang, tapi ketimpangan masih tinggi karena ketimpangan pendapatan yang cukup tinggi.

“Pendapatan masyarakat sangat miskin tumbuh tapi tidak tidak cukup besar,” katanya.

Ia menjelaskan, bentuk ketimpangan juga tampak dalam angka harapan hidup. Di Indonesia angka harapan hidup orang kaya hingga 70,8 tahun, sedangkan orang miskin hanya 53 tahun. Perbedaannya sekitar 16 tahun. Sedangkan di Afrika Selatan, perbedaan angka harapan hidup 19 tahun, India (21 tahun), dan Brazil hampir 26 tahun.

Mengatasi ketimpangan antarnegara membutuhkan usaha dan kerja sama kuat dari pemerintah, masyarakat sipil dan sektor bisnis agar amanat tujuan no 10 SDGs yaitu mengurangi ketimpangan bisa tercapai di tahun 2030.

“Kerja sama itu perlu mempertimbangkan aspek keterbukaan data yang akurat serta perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia,” ujar Sugeng menambahkan.  

Sedangkan Gonzalo Berron, dari Brazilian Network for Peoples Integration Representative (REPBRIP) globalisasi dan kapitalisme memberi sumbangan besar pada ketimpangan. Perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement) yang tidak menguntungkan bagi negara di negara yang tidak memiliki sumber daya alam dan manusia memadai. Kondisi ini menyebabkan angka ketimpangan di berbagai negara terus meningkat.

Deborah S. Rogers Direktur Initiative for Equality (Amerika) dan peneliti dari Universitas Standford Amerika Serikat menduga ketimpangan adalah masalah sistemik yang sengaja diciptakan penguasa ekonomi. Karena pertumbuhan ekonomi seharusnya mendekatkan pendapatan negara miskin ke negara kaya.

“Tapi tidak demikian karena negara kaya sangat mempengaruhi kondisi ekonomi,” katanya. 

Karena itu ia mendorong salah satunya dengan membatasi kerja sama ekonomi atau praktik investasi asing (foreign direct investment/ FDI) yang tidak sehat. (Beka Ulung Hapsara)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru