NEW YORK- Penyebab ketimpangan di Indonesia adalah akibat dari pendapatan orang super kaya yang berpenghasilan Rp5-10 miliar per tahun yang jumlahnya terus meningkat sementara pembayaran pajaknya rendah hanya 2 persen. Dipihak lain pajak kelompok pekerja mencapai 15 persen. Hal ini disampaikan oleh Ah. Maftuhan, Peneliti Perkumpulan Prakarsa dalam diskusi di luar agenda utama Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) bertema Goal 10 SDGs Reducing Inequality: Desirable but is it Feasible? yang diselenggarakan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan lembaga masyarakat sipil internasional di Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) pada Dewan Pewakilan Bangsa-Bangsa di New York, 24 September 2015 pukul 15.00 waktu New York.
Diskusi ini menghadirkan 11 pembicara dan dihadiri lebih dari 60 orang dari perwakilan berbagai organisasi masyarakat sipil internasional dari berbagai negara. PBB akan mengadopsi SDG yang terdiri dari 17 target dan 169 sasaran dalam sidang ke-70 yang berlangsung 25-27 September 2015.
Di sisi lain, meski pendapatannya sangat tinggi, kontribusi total pajak dari kelompok super kaya hanya sekitar 2 persen terhadap penerimaan negara melalui pajak penghasilan. Sedangkan sumbangan kelompok pekerja atau kelas menengah mencapai 15 persen terhadap penerimaan negara.
“Tingkat kepatuhan orang kaya untuk membayar pajak rendah,” kata Maftuhan di New York.
Ia memberikan gambaran dari potensi 60 juta pembayar pajak, saat ini, baru 27,57 persen juta orang yang terdaftar alias memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dari jumlah itu, hanya 11 juta orang yang memenuhi kewajibannya. Sehingga sumbangan pajak penghasilan dari total penerimaan negara hanya 12 persen, dari potensi pajak 16-18 persen.
“Artinya negara ini ditopang pajak kelompok pekerja,” kata Maftuhan menambahkan.
Meski demikian, ia mengatakan pajak progressif hanya menjadi salah satu cara menekan ketimpangan. Langkah lain yang harus dilakukan adalah pemenuhan layanan dasar masyarakat yaitu meningkatkan akses pendidikan serta kesehatan, redistribusi pendapatan dengan model kepemilikan bersama, dan jaminan tunai bagai kelompok rentan seperti lansia, penyandang dissabilitas.
Bentuk redistribusi pajak yang harus diperhatikan agar menguntungkan bagi kelompok miskin adalah mengutamakan pembangunan inftrastruktur dasar seperti jalan, irigasi dan listrik. Ia menilai pemerintahan Joko Widodo saat ini cenderung mengejar infrastruktur besar seperti jalan tol dan bandara yang cenderung dinikmati kalangan industri besar.
“Infrastruktur dasar harus juga menjadi prioritas agar redistribusi pajak dapat dinikmati semua kalangan,” katanya. (Beka Ulung Hapsara)