Oleh: Dr. Kurtubi *
TATA kelola mineral dan batubara dengan Undang-Undang Minerba No 4/2009 yang memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah Bupati dan Gubernur untuk mengeluarkan IUP (Ijin Usaha Penambangan) harus ditinjau ulang. Revisi Undang-Undang Minerba itu perlu memastikan perubhan tata kelola minerba dari rejim IUP menjadi kontrak B2B (Bisnis to Bisnis).
Sudah semestinya menjadi bagian yang harus direvisi dalam Undang-Undang Minerba No 4/2009 yang belakangan ini mencuat menjadi perhatian publik karena terkesan ‘dipaksakan’ dihari-hari terakhir masa bakti DPR-RI Periode 2014-2019.
Kurtubi mencontohkan kasus penyalahgunaan kewenangan Bupati dalam mengeluarkan IUP seperti yang dilakukan Bupati Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah, Supian Hadi yang telah memecahkan rekor tertinggi korupsi sebanyak Rp 5,8 triliun.
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka dalam dugaan perkara korupsi untuk memperkaya diri sendiri atau korporasi terkait penerbitan izin usaha pertambangan (IUP).
Diduga Supiandi Hadi menyalah gunakan wewenangnya dan membuat negara menderita kerugian sekurang-kurangnya Rp 5,8 triliun dan 711.000 US Dollar. Berita lengkapnya di https://bataranews.com/2019/02/05/tersangka-korupsi-5-8-t-kader-pdip-ini-pecahkan-rekor-korupsi/
Kita perihatin kekayaan sumberdaya alam tambang banyak dijadikan objek yang bertentangan dengan konstitusi. Ada ribuan IUP yang tumpang tindih karena Bupati yang mengeluarkan IPK secara membabibuta, apalagi menjelang pilkada.
Ada ratusan ribu hektar lahan batubara yang ditambang secara illegal selama bertahun-tahun telah dibiarkan oleh pejabat-pejabat di daerah.
Seharusnya, karena kekayaan diperut bumi menurut UUD’45 pasal 33 dikuasai dan dimiliki negara, maka semestinya negara harusnya membentuk BUMN tambang untuk mengelola kekayaan tambangnya. Tambang itu dikelola secara bisnis sehingga paling menguntungkan negara,
Tentu terbuka lebar bagi investor asing dan swasta yang ingin berbisnis tambang di Indonesia. Karena Indonesia membutuhkan investasi dan teknologi dari investor. Tapi seharusnya investor berkontrak dengan BUMN secara bisnis to bisnis, yaitu BUMN tambang diberi kuasa pertambangan oleh negara melalui Undang-Undang. Eloknya melalu undang-undang Minerba yang direvisi.
Sehingga investor yang ingin berbisnis tambang, bukan dengan meminta IUP dari Bupati dan Gubernur. Daerah penghasil tambang secara otomatis diberi hak saham kepemilikan 10% dari setiap perusahaan tambang yang ada di daerahnya.
Yang ngerti soal tehnik dan bisnis tambang adalah BUMN tambang, bukan Pemda/Bupati.
Ia juga mengingatkan, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian ESDM mestinya tidak boleh berbisnis, mestinya ESDM konsentrasi berperan sebagai pemegang kebijakan dan regulator.
Perusahaan tambang yang berkontrak dengan BUMN tambang berdasarkan kontrak bagi hasil. Yaitu negara sebagai pemilik bahan tambang yang ada diperut bumi melaui BUMN Tambang sebagai pemegang kuasa pertambangan, berhak dan harus mengetahui semua biaya yang telah dikeluarkan oleh kontraktor untuk nantinya dikembalikan dalam bentuk Cost Recovery.
Kontrol atas biaya-biaya eksplorasi dan produksi ini harus dilakukan oleh oleh BUMN bukan oleh Lembaga Pemerintah seperti BP Migas atau SKK Migas yang melanggar konstitusi.
Sebaiknya revisi Undang-undang Minerba No.4/2009 jangan dipaksakan untuk dibahas dan diputuskan dalam waktu yang singkat ini.
Substansi isi revisi belum memuat perubahan sistem dari IUP ke model kontrak bisnis to bisnis yang sesuai dengan pasal 33 UUD 45,” ujarnya.
*Penulis Dr. Kurtubi, pakar energi