JAKARTA- Otonomi Daerah dan Pilkada Langsung merupakan satu paket proyek yang disponsori IMF, World Bank dan Asian Development Bank. Proyek ini telah sukses membawa Indonesia dalam karut marut politik disintegrasi, dikotomi dan perpecahan elemen bangsa. World Bank bahkan dengan bangga menyebut bahwa sejak 2001 merupaakan periode Big Bang Desentralization. Demikian Salamuddin Daeng dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) pada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (11/10).
“Maka berlakulah teori pungut dan palak sebesar-besarnya untuk mengisi kantong kantong penguasa. Mendagri menyebutkan ada 15 ribu Perda yang bermasalah yang terkait dengan pajak dan retribusi. Baik itu di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. Otonomi daerah harus segera diakhiri,” tegasnya.
Ia menjelaskan, di DKI Jakarta rakyat terus dihisap dengan berbagai kenaikan pajak, mulai pajak tanah hingga jalan berbayar. Semua untuk mengisi kantong penguasa dengan tanpa mengindahkan kemampuan rakyat.
“Seorang guru besar UI menyatakan bahwa inilah Proyek aboriginisasi, mengusir rakyat dari kampung halaman dan tempat tinggalnya,” ujarnya.
Pajak Penis
Salamuddin Daeng melanjutkan di Lombok Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berpoligami Bayar Rp 1 Juta. Barukali Ini Terjadi Dan Hanya Di Era Reformasi, PAD (Pendapatan Asli Daerah) berasal dari pajak “Penis”.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Bupati Lombok Timur Nomor 26 Tahun 2014, terkait pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dalam aturan tersebut, PNS yang mengajukan izin melakukan perkawinan kedua (poligami) dikenakan biaya kontribusi sebesar Rp 1 juta.
“Inilah hasil dari Otonomi Daerah, Desentralisasi, yang ugal-ugalan yang menyerahkan kekuasaan besar-besaran kepada penguasa daerah yang dipilih langsung. Sistem ultra liberal telah menyebabkan pemerintah daerah dengan sesuka hatinya mengeluarkan peraturan dalam rangka memperkaya diri dan kelompoknya,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dalam peraturan tentang izin perkawinan itu, PNS boleh melakukan poligami sepanjang memenuhi persyaratan, yaitu syarat kumulatif dan syarat alternatif. Beberapa syarat tersebut, di antaranya, poligami harus mendapatkan izin tertulis dari istri pertama serta bisa bersikap adil dan mampu secara materiil.
Selain itu, PNS diperbolehkan berpoligami jika istri pertama tidak mampu memberikan keturunan dalam kurun waktu 10 tahun, istri meninggalkan suami tanpa izin selama dua tahun berturut-turut, atau istri mengidap suatu penyakit dan ada surat rekomendasi dari dokter. Jika memenuhi syarat tersebut dan mengajukan izin poligami serta mendapatkan izin pimpinan, maka ia akan diminta memberikan kontribusi pada kas daerah sebesar Rp 1 juta.
Dibatalkan
Padahal menurut Salmuddin Daeng, pada tahun 2012 lalu Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi menyatakan sebanyak 13.500 peraturan daerah (Perda) telah dievaluasi Kementerian Dalam Negeri dan membatakan 824 Perda bermasalah.
Perda yang dibatalkan kebanyakan terkait dengan pajak dan retribusi. Baik itu di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Perda pajak dan retribusi, dibatalkan karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. (Tiara Hidup)