Oleh: Hermawanto, SH
SEJAK saya menjadi peserta BPJS Kesehatan kelas 1 sedari awal keberadaannya, baru kali ini saya berkeinginan menggunakan fasilitas BPJS kesehatan. Dengan perasaan was-was cerita banyak orang tentang ribetnya menggunakan BPJS, apalagi di RS Swasta.
Singkat cerita, saya datang sebagai orang yang tidak tahu layanan dan fasilitas UGD RS untuk rawat inap. Walaupun jika petugas RS jeli, pasti akan temukan data medis keluarga saya di RS Swasta. Bahkan data medis yang ada di depan petugas atas nama anak saya.
Setelah observasi kondisi medis anak saya, dokter menyarankan untuk pendaftaran pembiayaannya pada petugas RS. Dan saya menyatakan pembiayaan menggunakan BPJS.
Proses pun berlanjut untuk cek darah dan pemberian infus, sembari menunggu hasil laboratoriumnya.
Setelah selesai, dokter jaga mendatangi saya dan memberikan informasi bahwa anak anda positif DBD namun tidak bisa di cover BPJS karena trombosit masih di atas 100.
Secara sigap saya menjawab, bagaimana kalau saya minta dirawat? Dokter pun menjawab harus pakai biaya pribadi, jika setuju saya proses, tegas dokternya. Dan saya pun menegaskan kembali pakai biaya pribadi.
Dokter jaga memberikan surat pengantar untuk perawatan dan saya memprosesnya di petugas administrasi kamar.
Petugas bertanya mau pakai kamar kelas berapa? Saya tanya balik, ada berapa kelas dan apa bedanya masing-masing kelas?
Petugas menjawab, tidak ada perbedaan kamar untuk kelas 1,2, dan 3, hanya ada perbedaan jenis tempat tidurnya saja.
“Baik saya pilih yang kelas 3 saja,” tegas saya.
Petugas pun setuju, dan minta waktu untuk koordinasi sama manajemen. Saya pun diminta menunggu sambil menemani pasien yang anak saya sendiri. Selang beberapa waktu, petugas datang dan menyatakan kamar penuh. Dan saya pun kaget!
Perasaan saya sebagai lawyer, bangkit, “permainan baru dimulai …!”
Insting saya sebagai lawyer bangkit, ini permainan. Maka saya bilang pada petugas, “Kenapa kosong? Adakanlah, kan ini pasien sakit dan mau bayar, kalau terlalu kecil dengan kelas 3, trus kelas berapa yang bisa, yang kosong, biar saya bayar sekarang, kelas 1 atau VIP, saya bayar ini ATM saya, silahkan berapa biayanya ?
“Daaaann saya dapat info, diatas ada beberapa kamar kosong, jangan bohong anda dengan saya, jangan mainkan saya, saya tahu diatas ada kamar kosong,” saya menambahkan.
“Jadi masalahnya karena saya BPJS makanya dibuat ribet, banyak alasan, intinya mau nolak kalau pakai BPJS kan ? Dan tidak mungkin anda menerima pembayaran saya dengan kelas 1 atau VIP karena ketahuan sesungguhnya ada kamar kosong namun tidak mau diberikan untuk BPJS,”
“Anda dholim … jawab yang jujur, di atas ada kamar kosong kan?”
“Betul pak,” sergap petugas administrasi kamar.
Petugas, cek semua data medis keluarga saya disini, kelas 1 atau kelas VIP, saya bayar, deposit layananpun saya bayar.
“Jadi masalahnya karena saya masuk pakai BPJS anda persulit, anda perlakukan seperti ini, anda bohongi, sampaikan ke manajemen besok saya gugat, atau selesaikan layanan anak saya!,” tegas saya.
Manajemen datang untuk memberikan penjelasan pada saya perihal adanya kamar kosong dan tidak bisa merawat inap anak saya, dan hanya bisa memberikan rujukan ke rumah sakit lain atau memberikan obat rawat jalan ke anak saya.
“Anda ini kerja di rumah sakit, tahu dong gejala DBD dan risiko DBD, dan apa yang seharusnya dilakukan pada pasien DBD, intinya semua sudah saya informasikan sedari awal saya masuk, saya mau anak saya di rawat disini dengan BPJS ataupun biaya pribadi yang siap saya bayar sekarang juga, kalau anda tetap minta saya keluar di rujuk ke RS lain, maka saya minta surat pernyataan RS yang menyatakan meminta pasien anak saya keluar dari RS karena menggunakan BPJS, maka saya akan keluar untuk ke pengadilan, tinggal tunggu gugatannya,” kata saya menegaskan.
Kemudian manajemen kembali rapat dan memutuskan merawat anak saya dengan layanan BPJS kesehatan kelas 1.
Semuanya menjadi baik dan meminta maaf atas ketidaknyamannya.
* Penulis, Herwanto, SH, pengacara publik