JAKARTA- Indonesia perlu segera mengganti pertukaran mata uang asing dari Rupiah ke mata uang Amerika Serikat, Dollar menjadi dari Rupiah ke mata uang Republik Rakyat China (RRC), Yuan. Karena menurunnya kemampuan ekspor Indonesia akibat nilai tukar dollar yang meningkat atas Rupiah. Hal ini disampaikan peneliti Berdikari Institute, Eddy Burmansyah kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (4/9).
“Ini langkah strategis untuk menyelamatkan ekspor kita, agar aktifitas ekonomi dapat kembali bergairah. Kita memasuki era kerjasama baru, yang justru melemahkan nilai tukar Dollar atas Yuan,” jelasnya.
Disamping itu ia menjelaskan didalam negeri industri yang tergantung pada bahan baku impor jelas terganggu karena kurs Rupiah meningkat atas Dollar, sehingga memberatkan biaya produksi.
“Dengan menggunakan Yuan maka kita dapat kembali melakukan impor bahan baku dan kembali menjalankan produksi,” jelasnya.
Berdikari Institute sebelumnya meminta agar pemerintah mengambil tindakan non konvensional untuk menangani memburuknya perkonomian Indonesia sebagai dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah atas sejumlah mata uang Negara lain, khusus dollar Amerika. Dalam delapan bulan terakhir rupiah sudah anjlok sebesar 11 persen, dari level 12.474 per USD pada 2 Januari 2015 menjadi 14.000 per dolar AS menjelang tutup bulan agustus.
Kejatuhan nilai tukar rupiah akibat keluarnya dana asing dari pasar Indonesia (capital reversal) bukan semata-mata imbas dari faktor eksternal; rencana kebijakan the Fed menaikkan suku bunga dan langkah pemerintah Cina mendevaluasi Yuan. Guncangan terhadap ekonomi nasional belakangan ini sebenarnya berakar dari rapuhnya fundamental perekonomian Indonesia. Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi sesungguhnya hanya bersifat semu, tidak mencerminkan realitas ekonomi yang sesungguhnya.
Bila dicermati dengan seksama, meningkatnya perekonomian Indonesia beberapa tahun terakhir merupakan dampak dari kebijakan the Fed pasca krisis 2008, yaitu; suku bunga rendah dan Quantitative Easing. Perpaduan dua kebijakan tersebut menghasilkan dana-dana dalam jumlah besar. Krisis yang terjadi di Amerika dan Eropa membuat dana-dana di kawasan tersebut mengalir ke pasar keuangan negara-negara emerging market, termasuk Indonesia yang menjalankan kebijakan suku bunga lebih tinggi. Aliran dana ini membuat indonesia kebanjiran likuiditas, kondisi yang semakin diuntungkan dengan naiknya harga komoditas global.
Sayangnya, dana-dana asing yang mengalir ke Indonesia, mayoritas masuk ke instrumen-instrumen jangka pendek. Akibatnya, pemerintah Indonesia pada waktu itu tidak mampu memanfaatkan dana tersebut terlalu lama untuk membiayai pembangunan berbagai proyek infrastruktur dan menggerakan sektor rill.
Sebaliknya, memasuki semester ke II tahun 2011, persepsi pasar mengenai data-data membaiknya perekonomian AS mendorong, perlahan-lahan dana asing ke luar dari Indonesia. Terlebih dana-dana yang diparkir pada instrumen keuangan jangka pendek seperti saham dan obligasi sejak 2008, telah memperoleh imbal hasil (keuntungan) cukup besar. Sebagai gambaran, tingkat pengembalian modal (Return on equity/ROE) IHSG pada tahun 2011 telah mencapai 29,6 persen, merupakan yang tertinggi di ASEAN, atau menempati posisi kedua di antara negara-negara paling berkembang—satu tingkat di bawah Cina yang mencapai ROE 30,2 persen. Tahun 2012, rasio harga terhadap laba bersih (Price to Earning Ratio) IHSG sudah mencapai 15-17 kali. Kembalinya dana-dana jangka pendek ini memicu tekanan terhadap rupiah.
Tekanan terhadap Rupiah semakin bertambah, karena neraca perdagangan Indonesia, memasuki tahun 2012 hingga akhir 2014 mengalami defisit. Tekanan terutama dirasakan saat jatuh tempo pembayaran hutang-hutang jangka pendek, baik pemerintah maupun swasta, sehingga semakin menguras likuiditas dalam negeri. (Web Warouw)