JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) buka suara terkait informasi yang beredar seolah alokasi dana pendidikan disalurkan melalui Dana Desa sehingga peruntukannya tidak jelas alias salah sasaran. Hal itu ditegaskan tidak benar.
“Beberapa hari ini beredar informasi seolah alokasi dana pendidikan disalurkan melalui Dana Desa sehingga peruntukannya tidak jelas alias salah sasaran. Dipastikan hal tersebut tidak benar!” kata Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo dalam cuitannya di X atau Twitter, Senin (8/7/2024).
Prastowo menjelaskan bahwa TKDD (Transfer ke Daerah dan Dana Desa) atau kini TKD (Transfer ke Daerah) adalah skema transfernya, bukan peruntukan program atau kegiatan. Perubahan nomenklatur terjadi sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
Dana pendidikan sendiri dialokasikan melalui TKD non Dana Desa, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan komponen lainnya. Prastowo memastikan tidak ada alokasi anggaran pendidikan yang disalurkan melalui Dana Desa dalam TKD.
“Tidak ada alokasi anggaran pendidikan yang disalurkan melalui Dana Desa dalam TKD. Dana Desa dialokasikan untuk keperluan lain yang spesifik sesuai dengan kebutuhan di desa,” tegas Prastowo.
Berdasarkan Perpres Nomor 76 Tahun 2023 tentang APBN 2024, total anggaran pendidikan tahun 2024 adalah Rp 665 triliun. Alokasi itu terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat (BPP) Rp 241,4 triliun, TKD Rp 346,5 triliun dan pembiayaan Rp 77 triliun.
Untuk TKD, alokasi anggaran pendidikan melalui skema DAU dan Dana Bagi Hasil (DBH) Rp 212,1 triliun, DAK Rp 132,1 triliun (terdiri dari DAK Fisik Rp 15,8 triliun dan DAK Non Fisik Rp 116,3 triliun), serta Dana Otonomi Khusus (Otsus) Rp 2,2 triliun.
Prastowo menyebut anggaran pendidikan 2024 diupayakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan pembangunan infrastruktur pendidikan yang lebih layak. Manfaat nyata yang diterima yaitu seperti bantuan PIP, KIP, BOS, hingga Prakerja.
Sementara itu, sebanyak Rp 135,5 triliun anggaran pendidikan melalui TKD yang sudah direalisasikan (per 31 Mei 2024) bermanfaat langsung untuk DAU. Pendidikan untuk peningkatan kualitas layanan dasar di daerah, bantuan operasional sekolah untuk 43,7 juta siswa, dan bantuan operasional PAUD untuk 6,2 juta peserta didik.
“Dalam pelaksanaan dan tata kelolanya, mari kita terus kawal bersama karena #APBN itu uang kita untuk kita,” tutur Prastowo.
Reformasi Anggaran Pendidikan
Sebelumnya, Panja Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR RI mendesak pemerintah untuk meninjau, meredefinisi, dan mereformulasi anggaran pendidikan. Pemerintah diminta memastikan anggaran pendidikan benar-benar digunakan untuk pendidikan dengan alokasi yang adil berbasis unit cost, prioritas dan berdampak maksimal.
Desakan ini muncul usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR RI dengan tokoh masyarakat yang pernah bertugas sebagai menteri pendidikan di Jakarta, Selasa (2/7).
Mantan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2014-2019 Mohamad Nasir menyebut kebijakan dan realisasi anggaran pendidikan antar tingkat pendidikan belum sinkron, yakni rendah di pendidikan dan tinggi di TKD. Sementara itu, anggaran pendidikan untuk daerah tidak diaudit karena menjadi ‘gelondongan’.
“Mungkin sangat terjadi alokasi biaya pendidikan yang disampaikan ke daerah itu digunakan bukan untuk pendidikan karena nggak ada report yang jelas ini,” ucap Nasir.
Kebijakan Ngawur
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyebut, pemerintah benar-benar ngawur apabila setengah dari anggaran pendidikan dialokasikan untuk dana transfer daerah dan dana desa.
“Itu ngawur ya. (Dana pendidikan) Rp 665 triliun itu membuat akses (di dunia pendidikan) jadi enggak tercapai, soal mutu juga masih buruk. Ternyata anggaran pendidikan kita masih kacau balau, diambil untuk dana desa,” ujar Ubaid saat dijumpai di Jakarta Pusat, Minggu (7/7/2024).
JPPI juga mendapatkan informasi bahwa selain untuk dana transfer daerah serta dana desa, anggaran pendidikan yang besarannya 20 persen dari APBN itu juga banyak dialokasikan ke sekolah kedinasan yang berada di bawah naungan kementerian/lembaga.
Hal ini pun menunjukkan bahwa alokasi anggaran pendidikan di Indonesia tidak tepat sasaran.
“Sangat enggak relevan. Masak dana pendidikan diambil dana desa? Dana pendidikan diambil sekolah kedinasan? protes Ubaid.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebenarnya sudah melarang bahwa anggaran pendidikan digunakan untuk keperluan di luar pendidikan.
Pasal 49 Undang-Undang Sisdiknas menyatakan, alokasi 20 persen dana dari APBN yang menjadi anggaran pendidikan harus fokus digunakan untuk meningkatkan akses, peningkatan mutu di sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.
“Kenapa ada banyak sekolah-sekolah kedinasan yang ambil ceruk di situ? Itu enggak boleh, dilarang itu di dalam UU Sisdiknas,” tutur Ubaid.
Informasi bahwa setengah dana pendidikan pada APBN 2024 dialokasikan untuk dana transfer daerah serta dana desa dibocorkan oleh Menteri Pendidikan Nasional periode 2009-2014 Muhammad Nuh dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Panitia Kerja (panja) Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR RI, Selasa (2/7/2024) lalu.
M. Nuh mengungkapkan, sebanyak Rp 346 triliun dari anggaran pendidikan sebesar Rp 665 triliun pada APBN 2024, dialokasikan ke dalam dana desa dan dana transfer daerah.
Ia pun mempertanyakan mengapa kebijakan itu sampai diambil oleh pemerintah saat ini.
“Lurah mengurusi apa di pendidikan itu? Kita tidak bisa berharap argumen politik, tetapi butuh secara jujur dan hati nurani apakah transfer ke daerah dan dana desa (tahun 2024 lebih dari Rp 346 triliun atau sekitar 52 persen dari total anggaran fungsi pendidikan) memang untuk pendidikan?” ujar Nuh.
“Kalau secara formal dilegalkan dan penggunaan tidak benar, ini perlu bertobat,” lanjut dia.
Ia kemudian mengaitkan ke fakta saat ini bahwa uang kuliah tunggal (UKT) melonjak serta banyak sekolah rusak yang tidak kunjung diperbaiki. Hal ini dianggap menjadi konsekuensi dari kesalahan pengelolaan anggaran pendidikan. (Calvin G. Eben-Haezer)