JAKARTA- Posisi kasus yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (BTP) adalah berada pada fase penyelidikan. Sesuai Pasal 1 angka 5 KUHAP bahwa Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Rencana pelibatan anggota Komisi III DPR yang akan dilibatkan dalam gelar perkara adalah kekeliruan. Karena Komisi III bukan penyidik dan bukan penegak hukum. Demikian Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani, kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (10/11) menjelaskan tentang Gelar Perkara Terbuka Kasus Dugaan Penodaan Agama oleh Basuki Tjahaja Purnama.
“Sementara, gelar perkara adalah teknis kerja Kepolisian yang biasa dikenal dalam proses penyidikan. Jadi pada tahap penyelidikan tidak ada dasar hukum penyelenggaraan gelar perkara, meskipun praktiknya Kepolisian sering melakukan gelar perkara. Dengan demikian, ada atau tidak adanya dasar hukum gelar perkara pada tahap penyelidikan tidak perlu menjadi perdebatan, karena pada dasarnya gelar perkara hanyalah teknik kerja penyidik dalam menentukan ada atau tidaknya dugaan tindak pidana,” demikian jelasnya.
Menurutnya, pernyataan banyak pihak yang mengatakan gelar perkara terbuka tidak dikenal dalam proses penyelidikan ditujukan untuk melindungi hak asasi warga dari judgement bahwa seseorang dinyatakan bersalah padahal belum adanya alat bukti yang cukup dan/atau tidak terpenuhinya unsur pidana.
“Salah satu asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah) merupakan salah satu asas yg harus dipedomani untuk memenuhi standar due process of law. Lalu apakah, gelar perkara pada tahap penyelidikan akan melanggar hak BTP sebagai Terlapor dalam kasus penodaan agama? Dalam situasi dimana BTP telah ‘dihakimi’ secara terbuka melalui aksi-aksi massa, maka tidak ada pilihan lain kecuali dengan gelar perkara terbuka sehingga independensi penyidik bisa dikontrol,” katanya.
Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini juga menjelaskan, dasar gelar perkara terbuka dan dilakukan pada tahap penyelidikan juga secara implisit dimungkinkan sebagaimana diatur pada Pasal 71 Peraturan Kapolri No. 14/ 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
“Satu hal yang harus dipastikan adalah bahwa gelar perkara hanya melibatkan unsur-unsur yang relevan: pelapor, terlapor, penyidik, dan bagian pengawasan penyidik (Wasidik) Polri,” jelasnya.
Namun menurutnya, rencana pelibatan anggota Komisi III DPR yang juga akan dilibatkan dalam gelar perkara adalah kekeliruan. Karena Komisi III bukan penyidik dan bukan penegak hukum.
Rencana pembentukan Tim Pengawas Kasus juga merupakan langkah off side, karena fungsi pengawasan DPR adalah mengawasi pemerintahan dalam menjalankan perintah Undang-Undang bukan mengawasi kasus-kasus secara spesifik. Keterlibatan Komisi III DPR hanya akan mengundang potensi politisasi lebih jauh dan mengikis independensi penyidik.
“Gelar perkara terbuka adalah kreasi teknik kerja institusi Polri untuk menepis keraguan publik atas independensi Polri dalam kasus ini dan tidak melanggar hukum,” (Calvin G. Eben-Haezer))