JAKARTA- Pemerintahan Joko Widodo diminta untuk segera melakukan restorasi Ide Konstitusi tentang Kebebasan Beragama, melalui perubahan, perbaikan, atau bahkan pembatalan peraturan perundang-undangan yang memunggungi ketentuan konstitusi. Setara institute meminta pemerintah untuk mengganti Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan Undang-undang baru yang menghormati Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) sebagai mandat konstitusi. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (20/1)
Pemerintah juga diminta untuk meninjau secara cermat penerapan Syari’at Islam sebagai bagian dari “paket” otonomi khusus untuk Pemerintahan Aceh, melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006.
“Penerapan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan sebuah deviasi dalam bangunan hukum nasional Negara Pancasila yang dalam cita hukum (rechtsidee) dasarnya bukan negara teokrasi dan tidak berdasar pada agama tertentu,” ujarnya.
Dalam Ringkasan Eksekutif Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2015, Setara Institute menegaskan agar negara meninjau ulang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah (Peraturan Bersama Dua Menteri), khususnya yang berkenaan dengan pendirian rumah ibadah.
Presiden Joko Widodo juga diminta untuk membatalkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (biasa disebut SKB Tiga Menteri).
“Peraturan ini telah memicu berbagai tindakan dan kebijakan intoleran terhadap kelompok minoritas Jemaat Ahmadiyah di banyak daerah, bahkan melalui tindakan anarkis yang mematikan seperti yang terjadi di Cikeusik,” jelasnya.
Setara Institute juga meminta agar pemerintah melakukan review beberapa regulasi di tingkat pemerintahan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dalam aneka bentu, seperti Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Walikota (Perwal), Peraturan Bupati (Perbup), dan sebagainya, yang diturunkan dari ketentuan SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah, dan/atau berdasarkan penerapan ajaran agama tertentu yang bertentangan dengan konstitusi.
Selain itu, pemerintah diminta untuk menyelesaikan kompleksitas persoalan pendirian rumah ibadah yang nyata-nyata restriktif terhadap “kemerdekaan untuk beribadah menurut agama dan keparcayaan” sebagai sepaket hak dengan “kemerdekaan untuk memeluk agama”, sebagaimana Pasal 9 Ayat (2) UUD 1945.
Pemerintah juga diminta menghentikan kriminalisasi terhadap keyakinan dan segera membebaskan para “tahanan nurani” (prisoners of conscience) yang dipenjara karena pandangan dan keyakinannya yang berbeda dengan pandangan dan keyakinan mayoritas.
Rekomendasi Mendesak
Setara Institute merekomendasikan agar beberapa persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan aktual berikut harus segera diatasi dan harus menjadi target kerja utama pemerintah dalam jangka pendek dan menengah:
Jemaat Ahmadiyah sudah 9 tahun hidup dalam kesulitan serius di pengungsian Transito. Maka pemerintah harus segera mengembalikan jemaat Ahmadiyah ke tempat asal dan memberikan perlindungan keamanan dan percepatan peningkatan kesejahteraan.
1. Pengikut Syiah masih diungsikan di pengungsian Sidoarjo. Maka Pemerintah harus mengembalikan pengikut Syiah ke Sampang, menginisiasi resolusi permanen, dan memberikan perlindungan keamanan dan percepatan penigkatan kesejahteraan.
2. Terdapat 2 putusan pengadilan terkait pendirian tempat ibadah yang tidak dijalankan oleh pemerintah daerah (HKBP Filadefia Bekasi dan GKI Yasmin Bogor). Maka Pemerintah Pusat harus memerintahkan Kepala Daerah untuk menjalankan putusan dan menjamin pendirian tempat ibadah HBP FIladefia dan GKI Yasmin.
3. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU No. 1/PNPS/1965 adalah conditionally constitutional dan secara implisit memerintahkan Kementerian terkait membentuk UU baru, artinya pemerintah harus segera menyusun RUU baru yang supportif terhadap jaminan perlindungan beragama/berkeyakinan dari tindakan diskriminasi dan intoleransi. Dengan demikian, revisi RUU PUB mutlak dibutuhkan.
4. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah (PBM) dan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB) restriktif dan memancing pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, baik tindakan langsung atau kebijakan. Maka pemerintah harus membentuk Tim Pengkaji dan Harmonisasi Peraturan Teknis di tingkat kementerian dengan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan melibatkan ahli hak asasi manusia.
“Negara harus hadir melalui penegakan hukum untuk meminta pertanggungjawaban legal dan memulihkan hak-hak korban pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan,” tegasnya. (Calvin G. Eben-Haezer)