JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI kembali jadi sorotan usai Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Sesditjen PSP) Kementerian Pertanian (Kementan), Hermanto mengungkapkan, adanya setoran demi kementeriannya mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Bahkan, Hermanto menyebutkan bahwa oknum auditor BPK meminta uang Rp 12 miliar. Tetapi, hanya diberikan Rp 5 miliar.
Belakangan, sejumlah pejabat BPK dari tingkat pusat sampai daerah memang kerap tersangkut kasus dugaan korupsi. Sebut saja, Anggota III BPK, Achsanul Qosasi yang didakwa menerima uang sebesar 2,6 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 40 miliar. Uang itu disebut untuk mengkondisikan temuan BPK dalam proyek penyediaan infrastruktur base transceiver station (BTS) 4G yang dikelola oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Selain itu, ada juga ada aliran uang sebesar Rp 1,1 miliar yang berasal dari dugaan korupsi tunjangan kinerja (Tukin) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Robertus Kresnawan. Berikut sejumlah kasus korupsi yang menyeret oknum BPK
- Aliran dana dari Kementan
Dalam sidang kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi di lingkungan Kementan dengan terdakwa mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL), terungkap soal aliran dana ke BPK sebesar Rp 5 miliar untuk bisa mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sesditjen PSP Kementan Permanto yang dihadirkan sebagai saksi mengatakan, ada oknum auditor BPK meminta uang Rp 12 miliar untuk mendapatkan WTP. Sebab, opini ini terhambat akibat adanya temuan di program lumbung pangan nasional atau food estate. Baca berita tanpa iklan.
Namun, Hermanto mengaku, tidak mengetahui apakah Kementan langsung memenuhi permintaan tersebut atau tidak.
Terkait Food Estate Ke Kementan Hanya saja, dia mengatakan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari eks Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan, Muhammad Hatta, Kementan hanya memberi Rp 5 miliar.
“Enggak, kita tidak penuhi. Saya dengar tidak dipenuhi. Saya dengar mungkin (kalau) enggak salah sekitar Rp 5 miliar,” kata Hermanto dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (8/5/2024).
Kepada Jaksa, Hermanto mengaku tidak mengetahui secara detail penyerahan uang miliaran ke BPK tersebut. Hanya saja, oknum auditor BPK itu kerap menagih sisa permintaan yang tidak dipenuhi Kementan. Dalam perkara ini, Jaksa KPK menduga SYL menerima uang sebesar Rp 44,5 miliar hasil memeras anak buah dan Direktorat di Kementan untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
- Anggota III BPK Achsanul Qosasi Tersangka
Kemudian, ada kasus dugaan korupsi yang membuat Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi dihadapkan ke depan persidangan. Achsanul Qosasi didakwa telah menerima uang sebesar 2,6 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 40 miliar untuk mengkondisikan temuan BPK dalam proyek penyediaan infrastruktur BTS 4G yang dikelola oleh Bakti Kemenkominfo.
“Menguntungkan terdakwa Achanul Qosasi sebesar 2.640.000 USD atau sebesar Rp 40.000.000.000,” kata Jaksa KPK dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta pada 7 Maret 2024.
Jaksa menjelaskan, uang itu diterima Achsanul dari Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera, Windi Purnama yang bersumber dari Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak Simanjuntak. Baca juga: Anggota BPK Achsanul Qosasi Jalani Sidang Perdana Kasus BTS 4G Hari Ini Galumbang memberikan uang kepada Achsanul berdasarkan perintah dari mantan Direktur Utama Bakti Kemenkominfo Anang Achmad Latif.
“Dengan maksud supaya terdakwa Achsanul Qosasi membantu pemeriksaan pekerjaan BTS 4G 2021 yang dilaksanakan oleh Bakti Kemenkominfo supaya mendapatkan hasil Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan tidak menemukan Kerugian negara dalam pelaksaan Proyek BTS 4G 2021,” kata Jaksa.
Berdasarkan surat dakwaan, Anang disebut memberikan uang ke Achanul lantaran ketakutan atas Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) Belanja Modal TA 2021 untuk Kementerian Kominfo. Achanul pun memanggil Anang untuk ke ruangannya di Kantor BPK Slipi. Di situ, Anang diminta menyiapkan uang Rp 40 miliar. Setelahnya, Anang Achmad Latif menelepon Irwan Hermawan dan Windi Purnama untuk menyiapkan Rp 40 miliar yang diberikan kepada seseorang bernama Sadikin Rusli di Hotel Grand Hyatt Jakarta. Atas perbuatannya,
Achsanul Qosasi didakwa melanggar Pasal 12 huruf e, Pasal 5 Ayat 2, Pasal 12 B dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Kasus dugaan korupsi Tukin di Kementerian ESDM
Dalam surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terungkap bahwa ada aliran uang sebesar Rp 1,1 miliar yang berasal dari dugaan korupsi tunjangan kinerja (Tukin) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke Auditor BPK RI, Robertus Kresnawan.
Terkait kasus ini, para terdakwa disebut telah mencairkan dana Ditjen Minerba Kementerian ESDM yang berasal dari tunjangan kinerja tahun anggran 2020-2022 yang tidak terserap.
Diketahui, ada sepuluh terdakwa kasus dugaan korupsi Tukin Kementerian ESDM. Antara lain, Subbagian Perbendaharaan, Priyo Andi Gularso; pejabat pembuat komitmen (PPK), Novian Hari Subagio; dan staf PPK, Lernhard Febian Sirait. Kemudian, Bendahara Pengeluaran bernama Abdullah; Bendahara Pengeluaran, Christa Handayani Pangaribowo; dan PPK Haryat Prasetyo. Selanjutnya, Operator SPM, Beni Arianto; Penguji Tagihan, Hendi; PPABP, Rokhmat Annasikhah; serta Pelaksana Verifikasi dan Perekaman Akuntansi, Maria Febri Valentine.
“Bahwa di persidangan terungkap fakta adanya pemberian uang dari terdakwa Lernhard Febian Sirait kepada auditor BPK Robertus Kresnawan,” kata Jaksa KPK dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta pada 29 April 2024.
Fakta adanya aliran uang miliaran rupiah ke aditor BPK itu diperoleh dari alat bukti berupa keterangan Robertus Kresnawan, Priyo Andi Gularso, Yayat Ruhiyat dan Ismawati. Keterangan mengenai adanya aliran uang untuk BPK ini berkesesuaian dengan keterangan Novian Hari Subagio dan Lernhard Febian Sirait.
“Bahwa dari uang manipulasi tunjangan kinerja yang diperoleh terdakwa Lernhard Febian Sirait ada yang diserahkan kepada Auditor BPK Robertus Kresnawan agar dapat mengamankan pemeriksaan BPK yang keseluruhannya berjumlah Rp 1.135.000.000,” ungkap Jaksa KPK.
Dalam kasus ini, 10 terdakwa telah dijatuhi hukuman. Mereka adalah: Lernhard Febrian Sirait dengan lama masa pidana badan selama enam tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 12,4 miliar Priyo Andi Gularso dengan lama masa pidana badan selama lima tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 5,5 miliar Abdullah dengan lama masa pidana badan selama dua tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 355,4 juta Christa Handayani Pangaribowo dengan lama masa pidana badan selama tiga tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 2,5 miliar Rokhmat Annashikhah dengan lama masa pidana badan selama dua tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 1,2 miliar Beni Arianto dengan lama masa pidana badan selama tiga tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 1,6 miliar Hendi dengan lama masa pidana badan selama dua tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 679,9 juta Haryat Prasetyo dengan lama masa pidana badan selama dua tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 963,5 juta Maria Febri Valentine dengan lama masa pidana badan selama dua tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 805,7 juta Novian Hari Subagio dengan lama masa pidana badan selama tiga tahun. Denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 1 miliar.
Sepuluh pegawai Direktorat Jenderal Mineral Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM itu diduga melakukan korupsi uang tukin sebesar Rp 27,6 miliar. Jumlah kerugian negara Rp 27,6 miliar akibat mark up uang tukin itu diperoleh berdasarkan audit perhitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sepuluh pegawai Kementerian ESDM itu terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
- Kasus Dugaan Suap Jalur Kereta di DJKA
Aliran dana kepada oknum BPK juga terkuak dalam kasus dugaan suap proyek jalur kereta di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA). Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga, ada pemberian uang dan pengkondisian temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bahkan, KPK menyatakan, satu orang dari BPK telah ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi, identitasnya belum diungkap ke publik.
Dugaan ini pun didalami ketika memeriksa empat aparatur sipil negara (ASN) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada 22 Februari 2024. Mereka adalah Yunanda, Achyar Pasaribu, Zulkarnain dan Anton Aprianto.
“Para saksi dikonfirmasi antara lain kaitan beberapa proyek pekerjaan yang ada di DJKA Kemenhub yang diduga ada pemberian uang berupa fee dan pengondisian hasil audit BPK atas pengadaan tersebut,” kata Juru Bicara KPK Ali Fikri pada 23 Februari 2024.
Selain itu, KPK telah memeriksa Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenhub Novie Riyanto sebagai saksi pada 18 Januari 2024. Dia diperiksa untuk mendalami dugaan pengondisian temuan BPK terkait proyek di DJKA.
“Dikonfirmasi terhadap saksi atas dugaan adanya pengaturan para pemenang lelang, termasuk pengondisian temuan audit BPK,” kata Ali pada 22 Januari 2024.
Terkait perkara ini, KPK total telah menetapkan 14 orang tersangka, termasuk dua tersangka baru yang salah satunya berasal dari BPK. Tujuh tersangka yang masih diproses di KPK, yakni Direktur PT Istana Putra Agung Dion Renato Sugiarto; Direktur Prasarana Perkeretaapian Harno Trimadi; dan PPK Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah, Bernard Hasibuan. Kemudian, Kepala BTP Jawa Bagian Tengah, Putu Sumarjaya; PPK BTP Jawa Bagian Barat, Syntho Pirjani Hutabarat; PPK Balai Pengelola Kereta Api (BPKA) Sulawesi Selatan, Achmad Affandi; dan PPK Perawatan Prasarana Perkeretaapian, Fadilansyah.
- Kasus Suap Pj Bupati Sorong
Dalam kasus yang berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) pada 12 November 2023 ini, KPK menetapkan Penjabat (Pj) Bupati Sorong Yan Piet Mosso; Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Sorong Efer Sigidifat; dan Staf BPKAD Kabupaten Sorong Maniel Syatfle sebagai tersangka.
Kemudian, Kepala Perwakilan BPK Provinsi Papua Barat Patrice Lumumba Sihombing; Kasubaud BPK Provinsi Papua Barat Abu Hanifa; dan Ketua Tim Pemeriksa David Patasaung turut dijerat KPK. KPK menyebut, perkara ini bermula ketika adanya pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang dilakukan BPK di wilayah Papua Barat Daya. Dalam pemeriksaan Kabupaten Sorong terdapat laporan keuangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Efer dan Maniel selaku pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sorong mencoba berkomunikasi membahas masalah itu dengan Abu, dan David selaku pihak BPK pada Agustus 2023. Dua pejabat Pemkab Sorong ini merupakan kepanjangan tangan dari Yan Piet Mosso. Sedangkan Abu dan David merupakan represetasi dari Patrice Lumumba Sihombing.
Kemudian, kesepakatan awal, uang diberikan secara bertahap di berbagai tempat dari Efer dan Maniel.
Yan Piet Mosso selaku Pj Bupati selalu mendapatkan laporan penyerahan dana tersebut. Di sisi lain, Abu dan David menyerahkannya kepada Patrice Lumumba Sihombing selaku Kepala Perwakilan BPK Papua Barat Daya. Atas perbuatannya, Yan, Efer, dan Maniel sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal. 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Sementara itu, Patrice, Abu, dan David sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Kasus ini juga sempat menyeret nama Anggota IV BPK RI Pius Lustrilanang. Bahkan, KPK sempat menyegel ruang kerja Pius di kantor BPK usai menggelar OTT di Sorong, Papua Barat Daya. Pius Lustrilanang juga sudah menjalani pemeriksaan di kantor KPK pada 1 Desember 2023.
- Kasus dugaan korupsi Bupati nonaktif Kepulauan Meranti, Muhammad Adil
Dalam kasus dugaan korupsi Bupati nonaktif Kepulauan Meranti Muhammad Adil, KPK menyebut ada dugaan suap kepada BPK perwakilan Riau.
Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, suap yang dilakukan Adil bertujuan agar hasil pemeriksaan keuangan Pemerintah Kabunpaten (Pemkab) Kepulauan Meranti mendapat status baik. Alex menjelaskan, suap kepada BPK itu berawal dari Adil yang menerima uang sejumlah sekitar Rp1,4 Miliar dari PT Tanur Muthmainnah pada Desember 2022. PT Tanur Muthmainnah sendiri merupakan perusahaan travel perjalanan umroh.
“Adapun penerimaan uang tersebut melalui Fitria Nengsih (Kepala BPKAD Meranti yang juga orang kepercayaan Adil),” ujar Alex dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada 7 April 2023.
Uang itu diberikan karena Adil memenangkan PT Travel Muthmainnah untuk proyek pemberangkatan umroh bagi para Takmir Masjid di Kabupaten Kepulauan Meranti.
“Lalu, agar proses pemeriksaan keuangan Pemkab Kepulauan Meranti pada 2022 mendapatkan predikat baik sehingga nantinya memperoleh wajar tanpa pengecualian (WTP), Adil dan Fitri memberikan uang sejumlah sekitar Rp 1,1 liliar pada M Fahmi Aressa selaku Ketua Tim Pemeriksa BPK Perwakilan Riau,” kata Alex.
KPK kemudian menetapkan Adil, Fitria dan Fahmi masing-masing sebagai tersangka pemberi dan penerima suap.
Kemudian, pada 15 Mei 2023, KPK diketahui meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mencegah 10 orang terkait dugaan korupsi ini. Terbaru, Auditor BPK Perwakilan Riau Muhammad Fahmi Aressa mengaku telah menerima uang Rp 1 miliar dari Bupati Kepulauan Meranti nonaktif Muhammad Adil. Hak itu diakuinya saat bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada 15 November 2023. Sementara itu, Muhammad Adil divonis sembilan tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Pekanbaru pada 21 Desember 2023.
“Terdakwa Muhammad Adil terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi, dengan ini menjatuhkan hukuman sembilan tahun penjara. Serta, menjatuhkan denda Rp 600 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, akan diganti dengan penjara enam bulan,” kata Hakim Ketua, M Arif Nurhayat.
Selain itu, majelis hakim juga meminta Adil untuk mengembalikan uang pengganti sebesar Rp 17 miliar. (Web Warouw)