JAKARTA- Kedaulatan rakyat tidak identik dengan pemilihan langsung yang diricuhkan saat ini. Pemilihan langsung hanya secuil kecil dari wujud dan ekspresi kedaulatan rakyat. Bahkan pemimpin-pemimpin baik pusat maupun daerah yang terpilih secara langsung mengutamakan kepentingan partai. Partai-partai mengambil oper dan justru merampas kedaulatan rakyat. Hal ini ditegaskan oleh Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, Sri-Edi Swasono kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (15/9).
“Dalam Negara Republik Indonesia yang memiliki konstitusi wujud ideal-normatif dari kedaulatan rakyat adalah adanya MPR yang terdiri dari DPR ditambah utusan daerah-daerah dan utusan golongan-golongan untuk memenuhi paham kebersamaan Indonesia berupa ‘semua diwakili’ dan bukan ‘semua dipilih’,” jelasnya.
Wujud filosofi kedaulatan rakyat menurutnya adalah tercapainya cita-cita nasional untuk rakyat yang berisi hak-hak sosial-politik-rakyat, yaitu terselenggaranya pemerintahan Negara yang “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”, serta terselenggaranya hak-hak asasi warganegara dalam bingkai hak-hak sosial politiknya itu, yaitu terlaksanakannya Pasal-Pasal UUD 1945, terutama Pasal 23, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34.
“Pemilihan langsung tidak menjamin hak-hak asasi dan hak-hak sosial-politik, dihormati dan diwujudkan. Bahkan pemimpin-pemimpin baik pusat maupun daerah yang terpilih secara langsung mengutamakan kepentingan partai. Partai-partai mengambil oper dan merampas kedaulatan rakyat,” ujarnya.
Dalam kaitan ini menurutnya maka deviasi-deviasi tata kelola pemerintahan Negara yang baik (good governance) baik bersifat korupsi kekuasaan, korupsi ideologi ataupun korupsi kriminal keuangan negara seharusnya diposisikan sebagai masalah khusus terpisah dan tidak direspon melalui isu yang tidak relevan dan tidak substansial menyangkut pemilihan langsung versus pemilihan tidak langsung.
Selundupan IMF
Sebelumnya Ketua Presidium Petisi 28, Haris Rusli Moti menyatakan bahwa otonomi daerah dan pilkada langsung bukan agenda gerakan mahasiswa 1998, tapi agenda yang diselundupkan kekuatan asing, IMF (Internastional Monetary Fund), Bank Dunia dan NDI(National Democracy Institute) untuk merusak mental dan memecah NKRI.
“Melalui kaki tangannya yang dibayar dengan harga yg sangat murah, yaitu sejumlah intelektual di lembaga penelitian dan kampus, serta LSM, telah melakukan operasi politik mengacak acak dan memecah NKRI. Pada era itu, para intelektual & LSM panen raya “dibooking” oleh kekuatan asing,” ujarnya kepada Bergelora.com di Jakarta secara terpisah.
Ia menegaskan bahwa dirinya tidak menghendaki lahir kembalinya rezim diktator yang menginjak-injak harkat kita sebagai manusia.
“Namun, kita juga menolak keras jika negeri dan rakyat kita dikuasai oleh kekuatan asing yang hadir dengan metode baru, yaitu menjajah melalui dua sayap ‘soft ware’, demokrasi liberal dan ekonomi neoliberal,” tegasnya (Web Warouw).