JAKARTA- Serikat tani Nasional (STN) menuntut agar pemerintahan Jokowi ke depan membekukan dan menunda semua Kontrak karya yang bermasalah dengan rakyat, negara dan lingkungan hidup.
“Bekukan semua ijin dan kontrak karya perkebunan, pengolahan hutan, pertambangan termasuk laut dan sungai yang bermasalah dan bertentangan dengan UUPA No 5/1960 sehingga merugikan negara, masyarakat dan lingkungan hidup,” demikian Binbin Firman Tresnadi dari Pengurus Nasional STN kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (19/9)
Menurutnya, pemerintah perlu segera meninjau dan pelajari ulang kelayakan semua ijin dan kontrak karya yang bermasalah selama ini.
“Semua yang bermasalah dikembalikan pengelolaannya pada masyarakat sebagai bagian dari reformasi agraria dalam bentuk usaha bersama atau kooperasi dengan dukungan penuh pemerintah pusat dan daerah,” tegasnya.
Namun bagi semua usaha yang masih layak tetap dapat beroperasi dengan syarat-syarat tertentu.
“Semua perusahaan yang masih layak dapat diijinkan kembali dengan kesertaan negara dan koperasi masyarakat setempat,” tegasnya.
STN juga menuntut pengembalian tanah-tanah rakyat yang sekarang dikuasai oleh HGU perusahaan swasta yang semula berasal dari penguasaan kolonial.
“Perintah UUD 1945 dan UUPA 1960 mengamanatkan bumi berupa tanah atau lahan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan untuk segelintir perusahaan dan individu, apalagi asing. Untuk itu perlu pelaksanaan land reform dan reforma agraria yang sejati,” tegasnya.
Pemerintahan kedepan juga menurutnya harus mencabut undang-undang sektoral yang bertentangan dengan UUD 45 dan UUPA 60, karena menyebabkan carut-marut permasalahan agraria.
“Tinjau dan merevisi semua Perpres, Keppres, Permen, Perda, Pergub, Perbup dan Perwali yang bertentangan dengan UUPA No 5/1960,” tegasnya.
Untuk memastikan kesejahteraan rakyat menurutnya pemerintah perlu segera melaksanakan landreform sesuai perintah Pancasila, alenia ke 4 Preambule UUD’45, Pasal 33 UUD’45 dan UUPA No 5/1960.
Konflik di Masa SBY
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menyebutkan, sepanjang sepuluh tahun kekuasaan SBY (2004 -2014), kejadian konflik agraria di tanah air terus menunjukkan peningkatan. KPA mencatat telah terjadi 1.391 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 5.711.396 hektar, dimana terdapat lebih dari 926.700 kepala keluarga harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan.
Masalah sektoralisme kebijakan dan kelembagaan dalam hal pengelolaan sumber-sumber agraria menjadi penyumbang konflik-konflik yang terjadi. Berdasarkan sektor, maka konflik agraria yang terjadi di sektor perkebunan sebanyak 536 konflik, bidang infrastruktur 515 konflik, sektor kehutanan 140 konflik, sektor tambang 90 konflik, sektor pertanian 23 konflik, pesisir-kelautan 6 konflik dan lain-lain.
Ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat yang tengah berkonflik, tindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan militer dalam penanganan konflik agraria yang melibatkan kelompok masyarakat petani dan komunitas adat telah mengakibatkan 1.354 orang ditahan, 553 mengalami luka-luka, 110 tertembak peluru aparat, serta tewasnya 70 orang di wilayah-wilayah konflik tersebut selama periode 2004–2014. (Tiara Hidup)