JAKARTA – Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti berharap pemerintah dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tidak terburu-buru menerapkan kelas rawat inap standar (KRIS) tahun ini.
Ia berujar, ketimbang penerapan KRIS yang nantinya akan menghapus sistem kelas 1, 2, dan 3 ruang rawat peserta BPJS Kesehatan, sebaiknya yang distandarisasi pemerintah dan DJSN adalah pelayanan klinis bagi para pasiennya.
“KRIS tadi kan fisik, Jadi kalau bisa justru yang paling penting standarisasi pelayanan klinis, bagaimana mengobati pasien, standarnya seperti apa, itu yang disebut PNPK atau pedoman nasional praktik kedokteran, itu dibikin dulu,” kata dia saat ditemui di kawasan DPR, oleh pers dan dikutip Bergelora.com Minggu (12/2/2023).
“Yang penting enggak dibicarain, yang kurang penting didiskusikan terus, ditanya terus,” ujar Ali Ghufron.
Menurutnya, yang dibutuhkan masyarakat saat ini sebetulnya bukan hanya standarisasi kelas ruang rawat inap, melainkan adanya standar pelayanan pengobatan. Dengan adanya standar itu, dipastikannya masyarakat akan mendapatkan layanan pengobatan yang setara di setiap fasilitas kesehatan.
“Itu digarap dulu, kok ngomong tentang hapus-hapus kelas. Ngomongnya tentang bagaimana sesuai anda yang inginkan, pelayanan yang standar, pelayanan yang setara. Untuk setara caranya melayani dibikin dulu yang standar lah ini aja belum secara klinis,” ucap Ali Ghufron.
Dengan adanya pedoman pelayanan kesehatan yang mencakup seluruh tata cara penanganan kesehatan masyarakat, bukan hanya sesuai penyakitnya, maka kata Ali Ghufron setiap pasien yang berobat ke fasilitas kesehatan tidak akan mendapatkan perlakuan yang berbeda-beda.
“Ini belum banyak digarap clinical practice guidelines, petunjuk pelaksanaan klinis kalau anda tadi dihapus biar apa sih? Kalau mau standar clinical guideline itu dibikin, jadi tidak diobati menurut kepercayaan atau menurut lulusan UGM, UI, Undip, masing-masing beda,” ucapnya.
Iuran Membebani Rakyat
Sementara itu, Roy Pangharapan dari Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) kepada Bergelora.com mengatakan bahwa selama ini yang dikeluhkan masyarakat adalah pungutan iuran yang membebani dari BPJS Kesehatan.
“Kalau ingin memperbaiki BPJS Kesehatan sebaiknya pungutan iuran dihapus karena sangat membebani. Karena seharusnya sesuai dengan UUD 45, layanan keaehatan itu kewajiban negara, bukan bayar iuran dulu baru dilayani,” tegasnya.
Roy Pangharapan mengingatkan 40 juta peserta menunggak iuran BPJS kesehatan adalah cerminan dari ketidak mampuan masyarakat untuk membayar iuran BPJS.
“Kalau menunggak berarti tidak mendapat pelayanan. Artinya orang miskin yang menunggak kalau sakit sudah pasti beresiko kematian. Karena negara tak mau melayani kesehatan mereka,” ujarnya.
Roy Pangharapan juga mengatakan sudah saatnya kartu BPJS dihapus dan diganti dengan KTP, karena setiap warga negara saat ini sudah memiliki KTP elektronik yang seharusnya sudah terkoneksi dalam sistim kesehatan.
“Biaya cetak kartu BPJS bisa digunakan untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan. Coba aja hitung berapa duit terbuang untuk cetak kartu BPJS Kesehatan. Sementara ada 40 juta orang ditolak dilayani karena tak mampu bayar iuran. Apakaj itu adil?” tegasnya. (Web Warouw)