JAKARTA- Sepanjang tahun 2015, SETARA Institute mencatat 197 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 236 bentuk tindakan. Jumlah ini meningkat cukup signifikan dari tahun 2014 yang mencatat 134 peristiwa dengan 177 tindakan. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (19/1)
“Intoleransi adalah awal mula dari terorisme dan terorisme adalah puncak dari intoleransi. Maka memelihara dan membiarkan intoleransi sesungguhnya sama dengan merawat dan memelihara bibit-bibit terorisme yang pelan tapi pasti akan kita panen buahnya,” ujarnya.
Dalam Ringkasan Eksekutif Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2015, Setara Institute melaporkan wilayah dengan peristiwa tertinggi melakukan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan diduduki oleh Jawa Barat dengan 44 peristiwa, Aceh 34 peristiwa, Jawa Timur 22 peristiwa, DKI Jakarta 22 peristiwa dan Yogyakarta 10 peristiwa.
Dari segi aktor, sebanyak 100 tindakan dilakukan oleh negara dengan 136 tindakan dilakukan oleh aktor non negara. Pada aktor negara, pemerintah daerah adalah institusi paling tinggi dalam melakukan tindakan pelanggaran dengan 31 tindakan, disusul kepolisian yang kali ini mengalami penurunan signifikan karena hanya terlibat dalam 16 tindakan. Berikutnya adalah Satpol PP dengan 15 tindakan. Dari aktor non negara tercatat 44 tindakan dilakukan oleh warga negara.
Syiah adalah kelompok yang paling banyak mengalami peristiwa kekerasan pada tahun 2015. Mereka menjadi korban dalam 31 peristiwa pelanggaran, disusul oleh jemaat Kristiani yang menjadi korban dalam 29 peristiwa.
Sebagai catatan, secara kumulatif terjadi 1.867 peristiwa dengan 2.498 tindakan pelanggaran dalam 9 (sembilan) tahun terakhir. Terjadi 17 lebih peristiwa setiap bulan, atau hampir 6 (enam) tindakan pelanggaran per minggu! Sebagian besar peristiwa tersebut mengalami impunitas dan tidak diadili secara fair dan memenuhi rasa keadilan.
Selama 9 tahun, SETARA Institute mencatat 346 tempat ibadah mengalami gangguan dengan derajat yang beragam, dari pembakaran, pengrusakan, gagal didirikan dengan alasan perizinan, dll. Dari 346 tempat ibadah tersebut terdapat 22 tempat ibadah aliran keagamaan, 180 gereja, 3 klenteng, 121 masjid aliran keagamaan minoritas, 1 sinagog, 5 pura, dan 14 vihara.
Pada tahun 2015 tercatat 13 kebijakan/peraturan yang diskriminatif yang membatasi kebebasan beragama/berkeyakinan, diantaranya Surat Edaran Walikota Bogor tentang larangan peringatan Hari Asyura, Peraturan Kota Bitung tentang penghentian pembangunan Masjid Asy-Syuhada, dan sebagainya. Jumlah ini melengkapi data sebelumnya, dimana terdapat 40 kebijakan/peraturan yang diskriminatif atas dasar agama/kepercayaan. Hingga 2015, total jumlah peraturan diskriminatif adalah 53 kebijakan.
Patut Diapresiasi
Namun demikian, beberapa langkah awal Pemerintahan Baru patut diapresiasi secara objektif. Dalam persoalan kebebasan beragama/berkeyakinan, secara personal Presiden, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Kepala Polri, dalam catatan SETARA Institute, berada dalam sikap dasar dan pernyataan yang sejalan di depan publik. Ini modal yang cukup baik.
“Pemerintah telah melakukan penanganan sangat cepat dan lokalisasi potensi konflik pada Kasus Tolikara,” demikian Bonar Tigor Naipospos
Setara Institute juga mengapresiasi Surat Edaran (SE) No. 6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) merupakan kemajuan signifikan dari upaya Polri untuk menangani kasus-kasus penyebaran kebencian atas dasar etnisitas, baik suku, agama, ras, gender, dan orientasi seksual.
Keberanian Menteri Dalam Negeri untuk mempersoalkan kebijakan di tingkat daerah, terutama dalam bentuk peraturan daerah. Sebanyak23 Perda diskriminatif yang dihasilkan daerah sejak 2001 sampai 2013 telah dimintakan klarifikasi oleh Kementerian Dalam Negeri.
“Meskipun begitu, tuntutan maksimal masyarakat sipil atas perda-perda diskriminatif tersebut adalah pembatalan,” ujarnya.
Baik Kementerian Agama maupun Kementerian Dalam Negeri, sampai saat ini belum menunjukkan langkah progresif bagi pemajuan kebebasan beragama/berkeyakinan. Kemendagri belum merumuskan desain pembatalan perda dan/atau pencegahan perda yang potensial diskriminatif.
“Sementara Kementerian Agama belum menyikapi apapun atas peristiwa-peristiwa kekerasan dan diskriminasi agama yang menimpa kelompok-kelompok agama/keyakinan tertentu,” ujarnya
SETARA Institute meyakinkan Kementerian Agama RI dan Kementerian Dalam Negeri RI untuk mengambil prakarsa dengan menyusun suatu desain komprehensif penghapusan diskriminasi agama/kepercayaan, serta diskriminasi lainnya.
“Desain Penghapusan Diskriminasi akan menjadi pemandu penyusunan kebijakan yang berhubungan dengan isu itu termasuk menjadi pemandu tindakan para kepala daerah dan otoritas daerah lain dalam menangani kasus-kasus kekerasan atas nama agama termasuk perda-perda yang diskriminatif,” jelasnya. (Enrico N. Abdielli)