KUNINGAN- Pembangunan proyek panas bumi (geothermal) di Kuningan, Jawa Barat, diminta agar ditinjau ulang karena ada penolakan kuat dari masyarakat setempat. Hal ini disampaikan Wakil Ketua DPD RI, GKR Hemas saat memberi sambutan dalam puncak Upacara Adat Seren Taun di Cagar Budaya Nasional Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Minggu (25/9) siang.
Hemas menyatakan, penolakan warga terhadap proyek panas bumi sudah berlangsung lama, sejak proyek ini dilelang pertama kali beberapa tahun lalu.
“Ketika lelang itu akhirnya batal, masyarakat menyambut gembira,” kata Hemas.
Namun kepada Bergelora.com dilaporkan, mulai awal tahun ini, masyarakat kembali dibuat resah oleh kabar proyek di kaki Gunung Ciremai itu akan dilanjutkan. Proyek dipandang merusak lingkungan karena mengakibatkan krisis dan pencemaran air, tanah amblas, dan berbagai dampak negatif lainnya di seluruh Kuningan.
“Dampak perusakan lingkungannya tinggi. Padahal, mata pencaharian utama penduduk adalah pertanian yang bertumpu pada kualitas lingkungan,” tutur Hemas.
Saat ini, kata Hemas, DPD RI telah menerima pengaduan masyarakat yang menuding proses perencanaan proyek panas bumi tersebut tidak transparan.
“Saya juga minta Pak Bupati kalau mau merencanakan proyek yang berdampak pada masyarakat, harus melalui tahapan yang terencana matang. Sosialisasi ke masyarakat sangat penting. Tapi, prinsipnya, masyarakat Kuningan menolak proyek panas bumi di wilayahnya,” kata Hemas disambut tepuk tangan ratusan warga yang mengikuti upacara.
Chevron Sudah Mundur
Sebelumnya pada tahun lalu Pemerintah Kabupaten Kuningan meminta Kementerian ESDM tidak lagi memasukan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Ciremai dalam lelang ulang.
Wakil Bupati Kuningan Acep Purnama pihaknya sejak awal menyambut gembira hengkangnya PT Chevron dari Ciremai mengingat selama ini keberadaan proyek tersebut dikeluhkan oleh masyarakat Kuningan terkait kekhawatiran dampak negative proyek.
“Kami senang Chevron mundur,” katanya di Kuningan, Senin (2/3) tahun lalu.
Pihaknya menilai alasan Chevron keluar dari Ciremai karena kapasitas panas yang dihasilkan dari kawasan Gunung Ciremai, hanya berkisar antara 180 hingga 2000 derajat celcius sedangkan yang dibutuhkan hingga 2500 derajat celcius.
“Jika proyek tersebut benar berjalan menurut saya nilai ekonomis yang dihasilkan tidak seimbang dengan dampak sosial yang akan dialami masyarakat,” katanya.
Terkait rencana Kementerian ESDM melelang ulang WKP Ciremai, pihaknya meminta hal itu lebih baik tidak dilakukan. Pihaknya menyarankan eksplorasi geothermal untuk antisipasi krisis listrik di Indonesia pada 2020 mendatang sebaiknya dilakukan di daerah lain yang memiliki potensi panas bumi yang memadai.
“Silakan menggali potensi geothermal di daerah lain, jangan di Kuningan. Jika Majalengka berminat silakan,” katanya.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jabar Sumarwan HS mengatakan keputusan Chevron mundur dari Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Gunung Ciremai, Kuningan sudah diterima pihaknya sejak bulan lalu.
“Chevron resmi mengajukan pengunduran diri. Alasannya teknis lebih ke skema manajemen mereka,” katanya pada media di Bandung, Senin (2/3) tahun lalu.
Menurutnya, dari skema bisnis perusahaan asal Amerika Serikat tersebut memilih melepas Ciremai untuk berkonsentrasi pengembangan bisnis di daerah lain. Sumarwan memastikan manajemen sudah memutuskan tidak akan melanjutkan Ciremai berdasarkan rencana bisnis yang mereka miliki.
“Kami tidak kecewa, tidak apa-apa Chevron mundur,” ujarnya.
Pihaknya sendiri sudah menyusun laporan ke Kementerian ESDM terkait mundurnya Chevron dan menunggu tindak lanjut berupa pengumuman tender ulang WKP dari kementerian. Saat ini di lapangan, WKP Ciremai sudah dikosongkan dan tidak ada bentuk pekerjaan apapun.
Chevron sendiri meski sudah mengantongi kepastian sebagai pemenang sejak tahun lalu, masih menjajaki kebijakan Pemda Kuningan. Sumarwan memastikan, perusahaan tersebut ingin menggarap Ciremai tanpa ada persoalan di lapangan. “Tapi mungkin di sisi lain secara kultur dan rencana bisnisnya mereka memutuskan mundur. Kami tidak bisa menghalangi mereka,” katanya.
Sumarwan membantah Chevron keluar karena potensi panas bumi Ciremai yang kecil dan tidak feasible. Namun pihaknya menduga, kapasitas Ciremai tidak sesuai dengan harapan Chevron yang biasa mengelola panas bumi dengan potensi kandungan besar. “Kalau dilihat mungkin ini misalnya, status kandungannya tidak seperti di Kamojang, Garut,” katanya.
Pihaknya juga menampik jika keputusan mundurnya Chevron didasari penolakan warga Kuningan atas proyek tersebut. Menurutnya opini tersebut muncul padahal di lapangan Chevron belum melakukan pekerjaan teknis sama sekali.
“Nggak ada tekanan, ini murni keputusan internal mereka,” katanya.
General Manager Policy, Government and Public Affair Chevron Geothermal Indonesia Paul Mustakim mengatakan keputusan pihaknya mundur dari Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Gunung Ciremai, Kuningan, semata-mata didasarkan pada pertimbangan bisnis bukan karena adanya intimidasi ataupun penolakan yang dilakukan warga setempat. (Tar)