JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pihaknya tidak merilis angka pengeluaran per kapita per hari terkait dengan data garis kemiskinan di Indonesia.
Adapun angka garis kemiskinan September 2024 sebesar Rp595.242 per kapita per bulan yang dirilis oleh BPS, bukanlah standar hidup layak.
“Angka ini hanya menunjukkan batas minimum pengeluaran agar seseorang bisa memenuhi kebutuhan pokok paling dasar,” kata Plt. Kepala Biro Humas dan Hukum Melly Merlianasari dalam keterangan resminya yang diterima Bergelora.com di Jakarta, Jumat (11/4).
“Angka ini juga merupakan rata-rata per kapita, tanpa melihat usia, jenis kelamin, dan variabel lainnya,” tambahnya.
Pernyataan tersebut merupakan tanggapan BPS terkait artikel Kompas.tv yang berjudul Warga Indonesia Kaya kalau Belanja Rp20 Ribu Sehari yang tayang pada 17 Januari 2025 lalu.
Melly menerangkan, selain penduduk miskin, ada juga kelompok yang disebut rentan miskin. Yakni mereka yang pengeluarannya sedikit di atas garis kemiskinan.
Kemudian di atas kelompok rentan miskin, terdapat kategori menuju kelas menengah, kelas menengah, dan kelas atas.
Per September 2024, proporsi penduduk rentan miskin di Indonesia mencapai 24,42 persen. Sementara itu, penduduk yang tergolong menuju kelas menengah mencapai 49,92 persen.
“Karena itu, keliru jika ada anggapan bahwa penduduk dengan pengeluaran sedikit di atas garis kemiskinan otomatis tergolong sejahtera atau kaya,” ujarnya.
Ia melanjutkan, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2024 menunjukkan bahwa rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia terdiri dari 4,71 anggota rumah tangga.
Jika dikalikan dengan garis kemiskinan per kapita, maka garis kemiskinan rumah tangga miskin nasional pada September 2024 adalah sekitar Rp2.803.590 per bulan.
Angka ini juga berbeda antarwilayah. Di Nusa Tenggara Barat, garis kemiskinan rumah tangga tercatat sebesar Rp2.231.600 per bulan, sedangkan di DKI Jakarta mencapai Rp4.238.886 per bulan.
Angka-angka di atas mencerminkan perbedaan harga dan pola konsumsi antardaerah. Angka rumah tangga ini, kata dia, juga lebih representatif dalam menggambarkan kondisi di masyarakat.
“Dalam memahami kemiskinan, kami juga mengajak publik dan media untuk mempertimbangkan pendekatan konseptual yang lebih manusiawi, yakni dengan menggunakan perspektif 4L,” tutur Melly.
Ia menjelaskan, 4L terdiri dari The Last, The Least, The Lowest, dan The Loss.
The Last adalah mereka yang paling belakang dalam menerima layanan dan kesempatan pembangunan.
Lalu The Least, adalah mereka yang paling sedikit memiliki, baik dari segi harta, akses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
Sementara The Lowest, adalah mereka yang berada di posisi sosial ekonomi terbawah, yang kerap luput dari perhatian kebijakan.
Terakhir The Loss, adalah mereka yang mengalami kehilangan, bukan hanya materi, tetapi juga harapan, jaminan sosial, dan kesempatan untuk bangkit.
“Dengan memahami kemiskinan melalui lensa 4L, kita dapat melihat kemiskinan sebagai persoalan multidimensional yang tidak cukup dijelaskan oleh angka pengeluaran semata, apalagi disederhanakan menjadi narasi seperti kaya dengan Rp20 ribu per hari,” tuturnya.
“Narasi tersebut berpotensi menyederhanakan realitas hidup jutaan masyarakat Indonesia dan mengaburkan urgensi penanganan kemiskinan struktural,” pungkasnya. (Web Warouw)