Oleh: FX Wikan Indrarto*
Sejarah JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) diawali dari Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, saat Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang Pengembangan Konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sesuai dengan UUD 1945 dan perubahannya Tahun 2002.
Melalui proses yang panjang, akhirnya Presiden Megawati mensahkan UU No. 40/2004 tentang SJSN pada 19 Oktober 2004, sehingga Indonesia masuk dalam daftar ‘negara dengan jaminan sosial’. Dalam melaksanakan UU SJSN, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk pogram JKN yang berkualitas dan berkesinambungan bagi seluruh penduduk Indonesia, yang mulai berlaku pada 1 Januari 2014, dengan BPJS Kesehatan sebagai penjamin biaya.
Apa yang telah terjadi dalam 3 tahun pelaksanaan JKN?
Sistem pembiayaan kesehatan dalam era JKN disebut ‘kapitasi’ untuk layanan primer dan ‘case-mix’ untuk layanan sekunder atau tersier. Pada 27 Desember 2016 jumlah total faskes provider JKN baru sebanyak 26.220 buah, dan akan terus ditingkatkan sesuai amanat UU sampai semua faskes menjadi provider JKN. BPJS Kesehatan memiliki tugas untuk meningkatkan kualitas layanan yang berkeadilan kepada peserta, pemberi layanan kesehatan dan pemangku kepentingan lainnya melalui sistem kerja yang efektif dan efisien.
Selain itu, juga memperluas kepesertaan sampai mencakup seluruh penduduk Indonesia (universal couverage) paling lambat 1 Januari 2019. Mencermati 3 tahun pelaksanaan JKN tentu tidak mudah, tetapi paling tidak dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu *finansial dan klinis*.
Dalam aspek finansial, Sekretaris Jenderal Kemenkes Untung Suseno Sutarjo, di Jakarta Senin 26 September 2016 mengatakan bahwa *defisit BPJS Kesehatan ditaksir telah mencapai Rp 6,7 triliun*. Defisit keuangan ini meningkat dari tahun 2014 yang baru Rp 3,3 triliun dan tahun 2015 menningkat menjadi Rp 6 triliun.
Untuk menjaga kesinambungan program JKN-KIS, maka perlu mengoptimalkan kolektibiltas iuran, sistem pembayaran fasilitas kesehatan dan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel.
Selain itu, Staf Ahli Menkes Bidang Ekonomi Kesehatan Donald Pardede mengusulkan untuk menggandeng pemerintah daerah dalam mengatasi defisit dengan mempercepat pertumbuhan jumlah peserta BPJS. Juga Dr. Fachmi Idris, Dirut BPJS Kesehatan mengusulkan penerbitkan Peraturan Presiden untuk Pengendalian Defisit BPJS Kesehatan dengan pengendalian pemanfaatan atau utilisasi layanan kesehatan, dan pembagian peran pembiayaan antara pemerintah pusat dan daerah.
Koreksi defisit direncanakan juga meliputi tindakan pencegahan ‘moral hazard’ yang dilakukan sekelompok peserta mandiri, yang ingin mendapatkan keuntungan dari pelaksanaan program JKN. Pada hal, peserta program JKN pada 23 Desember 2016 telah mencapai 171.858.881, dengan PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) pekerja mandiri sebenarnya hanya 11% atau 19.254.463 orang, sehingga rasanya masih harus ditempuh berbagai cara lain.
Misalnya keengganan berbagai perusahaan untuk mendaftarkan karyawannya, harus dicarikan solusinya. Juga sistem rayonisasi dalam rujukan berjenjang ke RS, dapat menjadi penghambat akses masyarakat untuk berobat ke RS pilihannya, karena mereka secara mandiri iur biaya, tetapi akses rujukan ke RS tidaklah bebas.
Meskipun data finansial termasuk rahasia institusi dan tidak mudah diakses, namun perlu dicermati bahwa sistem ‘kapitasi’ di Puskesmas Moyudan, Sleman DIY dengan jumlah peserta 13 ribu, dana tersebut ‘menguntungkan’ dan dapat digunakan untuk pembelian sarpras, membangun garasi ambulance, perbaikan gedung, pembelian tambahan alkes dan bahkan untuk memberi gaji pegawai non PNS. Puskesmas tersebut adalah bagian dari 8.202 puskesmas provider JKN. Selain itu, praktek dokter perorangan di Godean, Sleman DIY, yang merupakan salah satu dari 4.616 dokter praktek perorangan provider JKN, dana kapitasi juga ‘menguntungkan’ dan bahkan dapat digunakan untuk membeli tanah dan rumah bagi Dr. Evita Setyaningrum, MKes.
Pada puskesmas lain yang rawat inap yang merupakan salah satu 1.611 puskesmas TT provider JKN dengan peserta 32 ribuan, dana kapitasi dapat mencapai lebih dari Rp. 140 juta per bulan. Untuk melakukan berbagai kegiatan preventif dan promotif, juga kuratif atas 144 jenis diagnosis pasien yang harus tuntas ditangani tanpa rujukan ke RS, bahkan juga menerima pasien rujukan balik dari RS, menurut Dr. Lucia Sri Rejeki di Puskesmas Pajangan, Bantul DIY, dana sebesar itu masih menimbulkan selisih bayar positif yang lumayan besar bagi sebuah puskesmas, yang bahkan belum pernah terjadi sebelumnya dan yang pasti dapat meningkatkan kesejahteraan karyawan puskesmas, karena 65% dana kapitasi digunakan untuk jasa pelayanan.
*Surplus finansial ternyata juga terjadi di berbagai RS*, salah satunya adalah RSUD di Kalimantan Tengah. Menurut Dr. Suyuti Samsul Direktur RS Pangkalan Bun, pendapatan RS yang sebelumnya hanya Rp. 450 juta per tahun, telah menjadi Rp. 75 M per tahun pada era JKN. Selain itu, Dr. Asri Priyani, MKes, Direktur RSU Rajawali Citra, Bantul DIY menjelaskan bahwa klaim rata2 per bulan telah mencapai Rp. 900 juta dengan ‘pending claim’ sekitar < 5% rata2 dlm setahun, tetapi dalam 3 bulan terakhir ini sudah tidak ada lagi ‘pending claim’, karena perbaikan verifikatior internal dan petugas koding. Keuntungan finansial bahkan telah dapat digunakan untuk pembelian tanah untuk perluasan areal RS. Dr. Ediansyah, MARS sebagai direktur RS An-Nisa Jl. Gatot Subroto No. 96, Cibodas Tangerang, Banten menegaskan bahwa efisiensi menjadi kunci utama jika RS ingin tetap ‘bertahan’ dengan menggunakan sistem casemix yang baru ini. Efisiensi utama yang dapat dilakukan oleh RS adalah penggunaan obat generik, bukan dengan mengurangi jumlahnya, sehingga mampu memperoleh keuntungan finansial sampai Rp 766 juta dalam dua bulan melaksanakan JKN. Kol. Dr. Bambang S. Gunadi, SpRad, MARS direktur RSAU Salamun di Jl. Ciumbuleuit No. 203 Bandung yang merupakan salah satu dari 1.938 RS provider JKN, menyatakan bahwa mampu meraih keuntungan yang telah diinvestasikan dengan membangun gedung 2 lantai untuk 63 TT dengan biaya sendiri, belanja ranmor dan membiayai akreditasi RS sendiri, sampai terakreditasi paripurna.
*Selain efisiensi, kunci keberhasilan RS lainnya adalah kendali mutu dan biaya*, termasuk penggunaan obat yang menjadi sangat dibatasi, dengan hanya obat yang ada di dalam daftar e-catalog dan Fornas. Sedangkan penggunaan obat di luar itu harus atas persetujuan komite medis dan direktur RS. Saat ini belanja perbekalan farmasi di berbagai RS rata-rata masih mencapai 40-63% dari total belanja RS, dan besaran ini seharusnya semakin diturunkan. Hal ini disebabkan karena obat dan alat kesehatan, termasuk alat penunjang medik digital seperti MRI, USG dan CT Scan yang berharga sangat mahal, pada sistem ’case-mix’ termasuk dalam pengeluaran atau ‘cost’, bukan ‘revenue’ lagi.
Kunjungan pasien JKN di hampir semua RS telah meningkat dan cukup banyak RS mengalami keuntungan. Namun demikian, masih terjadi ‘out of pocket’ (pasien diwajibkan untuk iur biaya) pada proses diagnosis (7-8%) dan pembelian obat (27%), agar RS tidak merugi. Kuncinya adalah pengendalian pemeriksaan penunjang medik dan obat oleh dokter secara rasional, sesuai dengan ‘Clinical Pathway’ (CP). Dengan menggunakan CP, maka kendali mutu dan kendali biaya pelayanan pasien di RS dapat tercapai, selisih bayar negatif dan ‘out of pocket’ dapat ditekan. Contoh data selisih bayar negatif atau kerugian faskes rasanya ‘tabu’ dibicarakan secara formal, tidak ada data faskes yang tutup karena bangkrut, juga keluhan para dokter akan terbatasnya tarif INA-CBGs masih belum berupa data kuantitatif, yang mudah dianalisis.
Sekedar sebagai contoh adalah data dari Dr. Hendra Hadiyanta, direktur RS PTPN XIII Parindu yang adalah rumah sakit negeri kelas D di Tayan Hulu, Sanggau Kalbar dan merupakan salah satu dari 14 RS Pratama kelas D provider JKN, dengan nilai klaim rata-rata perbulan Rp. 513.775.500, ternyata hanya cukup untuk biaya operasional, karena tidak ada lagi subsidi dari pemerintah. Bahkan untuk pasien rawat jalan masih rugi rata-rata Rp. 16.148 per pasien. Namun demikian, *wajah-wajah bahagia para pasien yang sembuh* dan pembiayaannya ditanggung penuh BPJS karena dirawat sesui kelas, adalah data kualitatif yang tidak pernah terjadi pada era sebelumnya.
Dalam aspek klinis, perlu dilakukan perbandingan indikator kasar keberhasilan pembangunan kesehatan nasional, khususnya untuk *bidang kesehatan ibu dan anak, juga pengendalian penyakit menular (TB dan Dengue)*. Perbandingan paling baik dan terjangkau adalah data antara tahun 2013, sebelum era JKN menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dengan tahun 2015, saat 2 tahun pelaksanaan JKN menurut Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) layak kita cermati. Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi penerus yang sehat, cerdas, dan berkualitas dengan menurunkan angka kematian bayi dan anak. Angka Kematian Ibu dan Anak merupakan dua indikator yang paling peka akan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk aksesibilitasnya.
Angka Kematian Neonatus (AKN) sebesar 19 meningkat menjadi 22,23 per 1.000 kelahiran hidup. Namun demikian, Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 32 menurun menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup, Angka Kematian Balita (AKABA) 29 menurun menjadi 26,29 per 1.000 kelahiran hidup, dan Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 359 menurun menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
Pengendalian penyakit menular, dalam hal ini dibatasi pada penyakit TB dan Dengue, adalah upaya penurunan insidens, prevalens, morbiditas atau mortalitas dari suatu penyakit, hingga level yang dapat diterima secara lokal. Angka kesakitan dan kematian penyakit merupakan indikator dalam menilai derajat kesehatan suatu masyarakat. Terlihat penurunan angka keberhasilan pengobatan TB dari 90,5% menjadi hanya sebesar 85,0%. Jumlah penderita dengue di Indonesia sebanyak 112.511 orang meningkat menjadi 129.650 kasus dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 meningkat menjadi 1.071 orang penderita, dengan CFR/angka kematian 0,77% meningkat menjadi 0,83%. Kematian akibat DBD dikategorikan tinggi jika CFR >1%. Memang masih diperlukan berbagai penelitian lain, untuk membandingkan *kualitas hidup pasien dengan penyakit kronis, degeneratif dan katastropik,* yang merupakan kelompok pasien paling terimbas oleh kebijakan sistem case-mix di RS.
Dalam 3 tahun pelaksanaan JKN, secara finansial perlu dicarikan solusi komprehensif secara nasional untuk mengatasi defisit anggaran BPJS Kesehatan. Selain itu, seperti pepatah lama yang menyebutkan ‘lebih baik menyalakan lilin dibandingkan mengutuk kegelapan’, para pimpinan faskes provider JKN perlu belajar dari beberapa dokter yang namanya disebut di atas, untuk studi banding atau *menimba ‘tips and trick’*, meskipun hanya secara virtual, untuk meniru yang baik dan menghindari yang buruk. Sebaliknya, secara klinis pemberlakukan JKN dengan pembatasan pembiayaan untuk layanan kesehatan melalui sistem kapitasi dan casemix, terbukti *tidak mutlak memperburuk keberhasilan pembangunan nasional dalam bidang kesehatan*, sehingga layak diteruskan. Kita semua wajib berkontribusi dalam perbaikan sistem JKN dengan bergotong royong, agar semua tertolong. Sudahkah kita terlibat membantu?
*) dokter spesialis anak di RS Panti Rapih, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, pengurus ARSSI Cabang DIY Seksi JKN. Bergelora memuat tulisan yang berasal dari akun facebook penulis