Oleh: Dr. Maruly H. Utama *
BE (Bambang Ekalaya) adalah teman yang saya kenal di medan juang era 95-96. Dia menjabat sebagai Ketua SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi) Lampung. Organ gerakan mahasiswa yang berwatak progresif dan revolusioner.
Dia melakukan kerja-kerja politik membangun gerakan di Lampung, sementara saya di Bandung.
Berasal dari daerah yang sama dengan latar belakang keluarga tentara membuat kami cepat menjadi dekat. Apalagi dia sering berkelakar khas anak asrama, untuk menyebut barak militer. Sebelum menjadi bagian dari perjuangan revolusioner, BE adalah anggota Resimen Mahasiswa.
Anak Tentara yang tinggal di barak, anggota Menwa lalu bergabung dengan gerakan revolusioner. Hanya BE satu-satunya orang dalam gerakan yang latar belakangnya kontradiktif. Selain itu postur tubuhnya masa itu masih gemoy dan sedikit cadel. Joget dan kelakarnya mirip-mirip Prabowo Subianto, Capres yang akan dilantik tanggal 20 Oktober tahun depan.
Kritik keras SMID Lampung menghiasi berbagai terbitan saat itu. Tidak ada istilah santun dalam berpolitik. Politik itu keras, penuh resiko dan membahayakan. Tapi cita-cita dan tujuan aktivis SMID jelas: Satu Perlawanan Satu Perubahan Rebut Demokrasi.
Gambaran berpolitik terbaca dari koran dan arsip-arsip sejarah pergerakan pada masa itu. Pernyataan, tulisan, dan corat-coret aktivis SMID begitu lugas dan bernas. Seringkali dibumbui kemarahan.
Salah satu aksi legendaris yang dilakukan BE adalah melakukan mogok makan saat menjadi tahanan di markas Korem 143 di Bandar Lampung. BE menolak bicara saat interogasi, karenanya dia disiksa. Dalam keadaan tertekan dia tetap melawan dengan melakukan mogok makan.
Penjara tidak membuat jera! Dalam setiap penangkapan, BE dan kawan-kawan juga paham konsekuensi pasca penangkapan. Teman yang ditangkap menjadi demoralisasi atau menjadi lebih radikal. BE adalah contoh elemen maju yang dimiliki SMID.
Memilih menjadi aktivis gerakan harus siap dengan konsekuensi 3B – Bui, Buang, Bunuh. Berpolitik itu harus dengan ideologi agar sikap dan tindakan kita tetap konsisten digaris massa.
Bukan hanya BE, semua kawan-kawan memahami betul konsekuensi logis dari perjuangan revolusioner. 3B adalah keniscayaan. Bahkan dalam beberapa kasus, banyak kawan yang ditangkap karena setting sebagai uji kekuatan ideologi politik.
Perjuangan Bawah Tanah
Pasca crackdown 27 Juli, Budiman Sudjatmiko dkk ditangkap. Bulan September-Oktober 1996 Lampung, Jakarta, Bandung dan beberapa kota lain berhasil dikoordinasikan kembali untuk terus melawan kediktatoran.
Rapat-rapat rahasia dilakukan di daerah Bekasi seputaran kampus Untag. Pimpinan Rapat saat itu Nezar Patria yang merekomendasikan daerah-daerah harus tetap melakukan aksi sebagai bentuk perlawanan terhadap rejim.
Menjelang dini hari kami keluar satu persatu dari ruang rapat menuju terminal yang sudah ditentukan untuk kembali ke daerah. Sejak itu organisasi sekawan PRD seperti SMID, PPBI, STN, Jakker dan Serikat Rakyat tidak pernah muncul keluar karena setiap pernyataan resmi yang keluar di media sudah menggunakan nama KPP PRD.
Melakukan pengorganisiran dan sesekali melakukan aksi di Bandung ditengah perburuan aktivis PRD merupakan uji ketangkasan, uji kecerdasan dan uji keterampilan dalam berpolitik.
Menjelang 1 Maret 1997, aku dkk Bandung membentuk Komando – Komite Anti Diktator Soeharto. Kami memproduksi puluhan ribu selebaran untuk didistribusikan ke pesantren dan kampus-kampus di wilayah Jawa Barat.
Beberapa kawan ditangkap, sekretariat, rumah kos dan safe house diobrak-abrik aparat Bakorstanasda.
“Segera tinggalkan Bandung, kau jangan sampai tertangkap!” Bunyi pesan pager seorang kawan yang entah siapa pengirimnya karena menggunakan nama sandi.
“Masuk Jakarta jangan melalui bandara, terminal dan stasiun,” bunyi pesan berikutnya.
Dalam situasi cemas, panik dan takut aku mengikuti petunjuk yang disampaikan melalui pager. Dalam bis yang aku tumpangi dari Bogor arah Bekasi pesan pager masuk kembali.
“Magrib di wartel Kampung Melayu,” bunyinya.
Sore hari tiba di Kampung Melayu. Kali ini aku tidak menuruti intruksi dari pager. Aku langsung masuk ke Warteg yang jaraknya 500 meter dari wartel yang disepakati. Karena bukan jam makan maka Warteg cukup sepi dan hanya satu orang pengunjung yang sedang makan. Orang itu adalah BE.
Sambil tertawa dia memesan makanan untukku. Dia masih gemoy dan bicara sedikit cadel.
“Jika kau tidak tiba disini mungkin jempol kaki mu sudah hancur diduduki kursi tentara,” candanya.
Tak kuhiraukan candaannya, hanya berpikir untuk cepat menghabiskan makanan agar memiliki tenaga jika harus berlari.
Selesai makan, sambil ngopi BE bercerita jika dia sekarang menetap di Jakarta untuk bekerja dalam United Front – sebuah unit dibawah KPP PRD untuk membangun Front Persatuan. Selain BE di unit ini ada Herman Hendrawan yang hilang diculik, Arnold “Ucok” Purba 5 Agustus dan Raharja Waluya Djati, salah seorang korban penculikan aktivis.
Selesai ngopi segera BE mengajak ke sebuah safe house dengan menyusuri gang sempit dan berliku di wilayah Dewi Sartika. Dari safe house itulah aku membuat kronologi penangkapan kawan-kawan di Bandung sementara BE masih terus tertawa dan meledek hingga malam hari.
Kerja-kerja dalam United Front memungkinkan BE berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai kalangan dan profesi. Tidaklah mengherankan jika jaringan yang terbentuk meluas yang dimaintain untuk pembangunan ekonomi politik hingga Jumat kemarin 22 Desember 2023
Pola makan dan pekerjaan yang tidak teratur membuatnya mengidap penyakit diabetes. Dia tidak pernah mau bercerita jika tidak ditanya. Walau sakit semangatnya tetap menyala. Bulan lalu dia mengajak ke Banten untuk bertemu dengan beberapa elit lokal yang menurutnya aku bisa membantu untuk melakukan negoisasi beberapa pekerjaan.
“Gua sekarang dengan Budiman, pahami posisi ku Beng. Gak mungkin aku bekerja dengan elit yang berseberangan dengan Budiman,” kata ku. BE memaksa, berulangkali telepon bahkan ingin menjemput di sekretariat DPP Prabu. Aku tetap menolak, ada nada kecewa saat BE memutus telepon.
Saat menonton Debat Cawapres kemarin, sebuah pesan WA masuk. BE meninggal, pesan diiringi alamat rumah di Sawangan. Setelah Herman, Ucok, Jati, BE menyusul. Selesai sudah perjuangan United Front.
BE pergi setelah memastikan Prabowo Gibran memenangkan Pilpres satu putaran. BE yakin Budiman bersama Prabowo – Gibran bisa mengkongkritkan Persatuan Nasional. Berulangkali dikatakannya saat membujukku pergi ke Banten, “Pilpres sudah selesai. Prioritas kerja sekarang adalah bagaimana program politik Prabowo Gibran bisa berjalan setelah pelantikan, pastikan itu!”
Selamat jalan Beng! Kami lanjutkan pesan perjuanganmu!
*Penulis Dr. Maruly H. Utama, kawan seperjuangan, sekarang di DPP Prabu (Prabowo – Budiman)